by Imam Wahyudi (iW)
Judul di atas, rasanya tak berlebihan disandangkan terhadap keberadaan Bandara Kertajati di Kab. Majalengka. Ya, merana! Betapa tidak, bandara bertaraf internasional yang boleh disebut sebagai “kebanggaan” warga Jawa Barat itu — terkendala operasionalnya.
Diresmikan paruh tahun lalu, bandara dengan konsep “aero city” ini tak kunjung “running well”. Harapan untuk secara bertahap menggantikan peran bandara Husein Sastranegara di Bandung, tak pula kunjung terealisasi.
Berbagai upaya dilakukan, merayu calon penumpang untuk mau memanfaatkan terminal pemberangkatan dari bandara Kertajati — nyaris gagal. Sejumlah penerbangan di “ujicoba” pun miskin peminat.
PER 01 JULI 2019 KEMARIN, BAK “SEPARUH DIPAKSAKAN” — SEJUMLAH 56 PENERBANGAN DI “TAKE-OFF” DARI BANDARA DI KAWASAN TIMUR JABAR ITU. ALIH-ALIH SUKARELA SEPERTI UMUMNYA CALON PENUMPANG — DAYA PIKAT BANDARA BAK TERKAPAR DI AWAL, SEBELUM UNJUK MEKAR.
Pengelola “putar otak” dengan menggratiskan biaya transportasi ke dan dari bandara masa depan itu. Dimaklumi, dengan merujuk lokasi bandara Husein Sastranegara di Bandung — maka untuk bergeser ke terminal di Bandara Kertajati — harus lebih dulu melintas jarak tempuh 150 km lewat jalan tol Purbaleunyi dan Cipali alias melambung.
BUTUH WAKTU TEMPUH TAK KURANG 3,5 – 4 JAM. ITU PUN, BILA KONDISI LALULINTAS LANCAR. BELUM LAGI SPASI WAKTU “CHECK IN” DAN “BOARDING” YANG BUTUH SEKITAR DUA JAM. ARTINYA PENUMPANG BUTUH WAKTU (RELATIF) AWAL SELAMA ENAM JAM, SEBLM BENAR2 “TAKE OFF” PESAWAT.
Solusi “akal2an” hari ini, cenderung dalam “keterpaksaan” yang tak lazim. Pun tak mencerahkan aspek profesional bertransportasi (modern). Alih2 bicara fasilitas terpadu dan terintegrasi. Entah seperti apa evaluasi soal ini, setelah “ujicoba” sebulan mendatang. Fakta lain, okupensi penumpang masih di bawah 30% dg 11 penerbangan reguler yang dipasarkan. Padahal kapasitas mencapai 5 jt penumpang per tahun, dengan obsesi bisa ditingkatkan 29,3 jt orang.
*
Ambisi membangun infrastruktur bandara berskala internasional dengan kapasitas luas, patut diapresiasi sebagai prestasi Jawa Barat. Hadirlah Bandara Internasional Jawa Barat atau West Java International Airport, yg lbh dikenal dg sebutan Bandara Kertajati.
Sayangnya, proyek ambisius yang sudah rampung itu tak sertamerta bisa dioperasionalkan dg baik dan lancar. Jauh dari ekspektasi awal pemangku kepentingan di Jawa Barat. Seolah berulang, mengingatkan kembali akan model pembangunan infrastruktur yang mengabaikan pentingnya infrastruktur pendukung, sekali gus aksesibilitasnya. Tak kurang dlm pembangunan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) yg bagai “teronggok” di tengah persawahan, kawasan Perguruan Tinggi di Jatinangor yg menyisakan sejumlah “bottle neck”, dan lainnya. Tentu, ada sederet argumen thd itu semua.
Tak kecuali keberadaan Bandara Kertajati hari ini, yg memprasyaratkan infrastruktur pendukung berupa jalan bebas hambatan (tol) Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) yang kelak terkoneksi dengan tol Purbaleunyi, Jakarta-Cikampek hingga Cipali (Cikampek-Palimanan). Apa dan mengapa Cisumdawu dlm tinjauan awam? (bersambung).