JAKARTASATU – Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia menegaskan perlu ada koordinasi antara pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PLN serta pelaku usaha produsen panas bumi untuk bisa menyelesaikan masalah yang selama ini menghambat pengembangan panas bumi.

“Jadi walaupun sudah beberapa kali konvensi, ini pengembangannya lambat. Hasilnya baru 2.000 Megawatt (MW) untuk 30 tahun pengalaman,” kata Jusuf Kalla dalam pembukaan The 7th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2019 di Jakarta, Selasa (13/8).

Sampai saat ini, kapasitas terpasang panas bumi Indonesia baru mencapai 1.948,5 MW. Padahal target pengembangan panas bumi sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) adalah sebesar 7.241,5 MW.

Pengembangan panas bumi untuk energi listrik atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dinilai lambat. Padahal panas bumi sudah dikenal sejak lebih dari 30 tahun lalu melalui pengembangan PLTP Kamojang.

Menurut Kalla, percepatan harus segera dilakukan karena jika kondisi seperti sekarang bertahan maka dipastikan target yang sudah dicanangkan RUEN tidak akan tecapai. Alhasil pemerintah juga akan melanggar regulasi yang tertuang dalam RUEN. Apalagi waktu untuk pengembangan PLTP lebih lama dibanding pembangkit lain.

“Kelambatan ini harus sama-sama diperbaiki, Menteri ESDM, PLN asosiasi harus duduk untuk percepat ini karena 2025 sisa 5-6 tahun. Kalau 30 tahun baru 8 ribu, tapi ini harus dua kali lipat dalam enam tahun kalau tidak dicapai melanggar UU. Ini harus cepat dilaksanakan, apalagi bangun PLTP lebih lama dari PLTU atau diesel,” ungkap Wapres.

Kalla bahkan meminta para stakeholders panas bumi untuk mengurangi kegiatan dalam ruangan dan turun ke lapangan. “Kalau bisa kurangi saja kegiatan-kegiatan pameran dan konvensi,” tukasnya.

Prijandaru Effendi, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi, mengatakan salah satu masalah utama dalam pengembangan panas bumi adalah terkait disparitas harga antara kemampuan membeli listrik PLN dengan harga listrik dari produsen.

“Disparitas ini yang harus dijembatani  harus campur tangan pemerintah,” kata Prijandaru. |JST/E