OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Media mainstream menjauh. Kinerja, prestasi dan serah terima penghargaan tak menarik bagi televisi. Baru ramai jika dibully. Itulah sosok Anies Rasyid Baswedan.
Kali ini obyeknya lem aibon. Anggarannya 28,8 miliar. Masak satu kaleng lem Aibon harganya 184 ribu? Mahal amat! Gak salah tuh? Salah! Kata Susi Suhati, sekretaris Disdik DKI. Salah input, jelasnya. Salah nge-klik, kata Saefullah Hidayat, plt Kepala Disdik DKI. Itu dana BOS, bukan lem aibon, kata Susi lagi. Karena memang tak ada anggaran untuk lem aibon.
Salah “klik” aja lu bully. Sedang raibnya ratusan miliar di Rumah Sakit Sumber Waras, tanah BMW dan ratusan mobil Trans Jakarta yang mangkrak, lu diem. Gimana sih? Protes mereka yang kesel dengan ulah orang-orang yang belum move on.
Kesalahan input data dan “klik” biasa terjadi ketika dalam proses penyusunan anggaran. Baru masalah jika sudah final. Final itu artinya sudah diusulkan ke DPRD. Nah, kesalahan menjadi tanggung jawab dinas dan gubernur DKI. Jika sudah ketuk palu, maka DPRD ikut bertanggungjawab. Kalau masih dalam proses, berarti itu data sementara. Kesalahan input dan klik disana-sini itu biasa.
Seperti anda menulis skripsi, tesis atau disertasi, pasti banyak salah ketik, salah input data, dan salah referensi. Itu biasa. Sebelum diajukan ke pembimbing, terutama mau diujikan, harus diteliti lebih dulu. Habis ujian harus direvisi sebelum dicetak dan ditaruh di perpustakaan. Orang-orang akademik tahu betul proses ini. Kira-kira begitu analoginya.
Sebagai pembimbing, pengambil keputusan dan penanggung jawab anggaran di DKI, Anies Baswedan sedang melakukan proses itu. Meneliti satu persatu pagu anggaran secara manual. Alumnus fakultas ekonomi UGM yang pernah jadi asisten statistik seorang profesor di universitas USA ini terbiasa mengoreksi angka-angka. Dan ini bisa ditonton di video yang lagi viral.
Video itu semula untuk dokumen internal Pemprov. Bukan untuk disebar keluar. SOP yang rutin untuk semua pendokumentasian setiap kegiatan gubernur. Ternyata ada manfaatnya. Ketika kasus lem aibon merebak, video ini menjadi penting keberadaannya.
Tapi, gak usah terlalu kaget. Sampai kapanpun, kesalahan Pemprov DKI akan terus dicari. Anies jadi sasarannya. Satu kesalahan, geger bumi Indonesia ini. Apakah ada yang belum move on? Mungkin. Tapi lebih serius dari sekedar urusan move on.
Ada pihak yang suka membanding-bandingkan Anies dengan Ahok. Anies payah dan Ahok hebat, katanya. Narasi ini yang selalu dibangun untuk menjatuhkan Anies. Dan ada media yang suka narasi ini. Ikut menggoreng dan meramaikannya.
Tapi, saat Anies menerima tiga penghargaan sekaligus dari KPK, sepi berita. Begitu juga ketika mendapat WTP dari BPK dua tahun berturut-turut. Prestasi yang tak pernah ada di era Jokowi, Ahok dan Djarot. Belum lagi penghargaan-penghargaan lainnya dari sejumlah institusi dan lembaga, baik dalam maupun luar negeri. Ini bisa jadi ukuran kalau mau secara fair membandingkan satu dengan yang lain. Tanpa mengurangi kontribusi masing-masing gubernur kepada bangsa ini yang harus tetap diapresiasi.
Kita seringkali membuat ukuran perbandingan satu pemimpin dengan pemimpin yang lain dari tingkat popularitasnya, sesering apa televisi meliput dan seberapa banyak dibicarakan orang. Kalau ini ukurannya, maka seorang pemimpin yang maniak kamera, suka marah-marah dan memaki anak buah, serta gemar blusukan, pasti akan dianggap hebat. Kendati minim prestasi dan punya banyak kasus. Tentu, ini standar penilaian yang menyesatkan. Heroisme seharusnya tidak dibangun dengan skema kamera dan pencitraan, tapi prestasi.
Lebih baik dikira salah, tapi benar. Dari pada dikira benar, tapi banyak kasus, sindir Anies. Artinya, Anies sadar akan posisinya di tengah kekacauan cara berpikir sebagian masyarakat yang masih mengelu-elukan ” acting” dan “hasil jepretan kamera”.
Kalau standarnya kamera dan media, Anies memang kurang beruntung. Di banyak event, Anies tak diliput media. Tepatnya, tak boleh banyak diliput oleh media. Kenapa begitu? Apa salah Anies? Salah satu kesalahan Anies terbesar adalah karena di Pilgub DKI Anies mengalahkan Ahok. Begitu kata Jaya Suprana. Kesalahan kedua, Anies menutup reklamasi dan sejumlah proyek besar di DKI. Itu sama saja menutup aliran rizki bagi banyak pihak, termasuk sejumlah partai dan elit politik. Ketiga, Anies berpeluang besar jadi presiden 2024. Jika ini terjadi, berapa banyak lagi proyek-proyek “gelap” (melanggar hukum) itu tersumbat. Karena itu, laju Anies ke 2024 harus dihentikan.
Lihat peristiwa pelantikan presiden-wakil presiden. Sebagai gubernur Ibu Kota, Anies ditaruh di kursi paling belakang. Nyaris tak terlihat oleh tamu lain, apalagi media. Kasus seperti ini juga pernah terjadi sebelumnya saat penyerahan piala presiden untuk Persija di GBK. Ketika dikonfirmasi, Anies dengan senyum menjawab: ah, biasa saja, katanya.
Terkait liputan media, bisa dibandingkan dengan Jokowi. Lipat lengan baju, masuk gorong-gorong dan momong cucu ramai diliput media. Begitu juga dengan Ahok. Marahnya aja media demen, apalagi makiannya. Inilah bedanya antara prestise dengan prestasi.
Beruntung ada media sosial (medsos). Inilah jalur dimana Anies tetap mendapatkan ruang untuk dikenali program kerja dan capaian prestasinya. Tokoh yang dipanggil dengan sebutan “Gubernur Indonesia” ini tetap ramai terpantau dan dibicarakan di media sosial. Sesekali di media online. Terutama ketika sedang ada bullyan.
Intinya, Anies akan selalu dilihat sebagai ancaman. Karena itu, pertama, gubernur DKI ini akan selalu dicari kesalahannya. Kedua, ada upaya terus menerus untuk melakukan black campaign terhadap Anies. Tujuannya? Untuk mengganggu kebijakan Anies terutama terkait dengan proyek-proyek oligarki. Ketiga, Anies akan selalu dihambat popularitas dan prestasinya. Ini penting dilakukan untuk menghadang Anies melaju ke 2024.
Situasi seperti ini akan dikembalikan kepada rakyat. Apakah anak bangsa yang potensial seperti Anies ini akan dibiarkan sendirian menghadapi komplotan orang-orang yang selama ini merampok kekayaan tanah air? Tentu tidak! Harus dibela. Ini tidak hanya berlaku buat Anies. Tapi mesti berlaku untuk semua anak bangsa yang berintegritas, berkapasitas dan berpeluang memimpin dan memperbaiki nagara barnama Indonesia ini.
Yang pasti, bullyan seperti apapun jika rakyat tetap waras dan selalu melihat fakta secara obyektif, maka orang-orang seperti Anies Baswedan akan mendapatkan ruang untuk berkontribusi lebih besar lagi buat negara dan bangsa di masa depan.
Jakarta, 31/10/2019