JAKARTASATU.COM – Menunggu Godot sebuah penantian yang tak kunjung usai. Gambaran tentang manusia yang tak bias menentukan hidupnya dan hanya bergantung pada Godot itu sendiri. Sebuah kisah tentang eksistensi manusia yang kerdil. Godot tidak pernah muncul, tak pernah menjadi penyelamat.  Godot sang penyelamat ada dalam diri tiap pribadi dan bukan berada diluar dirinya.

Teater Payung Hitam salah satu teater garda depan Indonesia asuhan sutradara kondang Rachman Sabur kali kedua kembali pentaskan Menunggu Godot dalam bentuk yang berbeda. Dalam event 4 Tahun Invitation to The Teatre 2019 yang digelar Jurusan Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung 29-30 November 2019, Rachman Sabut yang tahun 1991 menampilkan karya sangat bagus dalam wujud verbal, pada kesempatan ini mencoba hal yang berbeda, yakni dengan membalikan jundul menjadi Godot Menunggu dan dalam bentuk teater tubuh.

Lewat teater tubuh yang ditawarkan Rachman Sabur, Godot yang sarat dengan bahasa verbal dan menjelimet, seutuhnya dirubah ke dalam bahasa tubuh. Godot pun diungkapkan menjadi tokoh nyanta bukan halusinasi. Godot tidak lagi ditunggu tapi Godotlah yang menunggu. Godot nyata adanya, 4 orang tokoh dan diperankan 4 aktor (Wail, Dablo, Chandra, dan Chris) adalah mereka yang sedang dinantinya. Absurditas tidak ada, semua kehidupan benar-benar ada dan pasti menemukan titik akhirnya.

Menerut Rachman sebanarnya kita bukan sedang menunggu, tapi kita sedang ditunggu. Waktulah menunggu kita, Tuhanlah yang menunggu kita. Dalam hidup kita ditugaskan untuk menanam, jika menanam kebaikan akan menghasilkan kebaikan dan hasil dari yang ditanam kita itu yang ditunggu dipenghujung kehidupan dunia.

Realitas hidup itu tidak di atas tapi ada di bawah. Maka orang yang baik itu adalah orang yang semakin banyak pengalaman hidupnya dan semakin merundukan dirinya. Hal itu disimbolkan Rachman dalam pertunjukan Gogot Menunggu dengan penempatan pohon yang dibalik mengarah ke bawah dan tiga buah pintu yang dibuka ke atas dan melihat ke bawah.

Kansep Barat oleh Rachman diputar balik. Ceritra Godot ia pinjam alurnya saja dan selebihnya ceritra mengalir dalam konsep hidup dimana ia berpijak. Kata-kata diwujudkan dalam gerak tubuh. Sebuah kolaborasi yang saling mengisi dan tidak saling menyisihkan antara budaya orang lain dengan budaya yang telah menyatu dengan dirinya.

Bicara tentang teater bagi Rachman, teater adalah kehidupannya sendiri. Sekian lama ia mencoba memberikan energi positif buat teater walaupun pilihannya berbeda dengan teman yang lain termasuk dengan instutusi tempat dirinya mengabdi sebagai pendidik seni teater. Baginya perbedaan itu merupakan buah dari proses yang cukup panjang.

“Saya melakukan pencarian teater kemudian konsisten menjatuhkan pilihan pada teater tubuh bukan sekedar teater tubuh yang ansih, karena teater kata-kata pun sama pentingnya mempelajari ketubuhan. Mempelajari ketubuhan kita sendiri sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi, agar kita tidak terasing dengan tubuh kita sendiri,” ujar Rachman.

Ungkap Rachman, kita terlampau asik mengagungkan teater dari Barat yang berkutat dengan segala teknik dan terkadang melupakan kedalamannya, tidak menemukan ruh karena kulturnya jauh berbeda. Untuk memahami kedalaman ruh teater kita tentunya harus memahami lebih dalam lagi kontruksi tubuh kita. Dalam kontruksi tubuh ada latar belakang yang menyertai nyaitu kelokalan budaya kita.

Jika teater kita terus menjauhi tradisi, budaya sendiri, kita seperti hidut jauh diawang-awang terasing dari realita. Wacana Teater modern Indonesia pasti tidak berkembang dan sepi dibicarakan dipercaturan teater dunia.

Untuk mengenal teater kita, kita pelajari yang dekat dulu dengan diri kita yaitu tubuh. Mempelajari tubuh sendiri bukan semata untuk berkesenian tapi juga mengenal fisofi hidup. Menjadikan hidup lebih baik, bermakna dan bermanfaat.

“Ketika kita mempalajari tubuh orang lain yang dirasa hanya bergulat dalam teknis dan indentitas diri kita serasa menjadi hilang. Bahkan penomena sekarang begitu banyak orang ingin tahu tubuh orang lain dikejar sampai lubang paling sempit,” pikir Rachman.

Super sibuh hanya ingin tahu diri orang lain dan tidak tahu diri sendiri, menjadi ironi dalam penomena kehudupan kita sekarang. Pernahkah kita sadar sebulum melihat ketubuhan orang lain kita melihat tubuh sendiri. Kasadaran untuk intropeksi melihat jati diri kita sendiri itu lebih penting.

“Saya optimis dengan cara pendekatan tidak formal teater tubuh bisa diterima dimasyarakat. Memahami teater tubuh bukan hanya dalam bentuk pisik. Teater yang doniman menggunakan kata-kata juga harus mengenal ketubuhan sendiri sebelum membawakan tubuh orang lain. Kita senantiasa dikepung oleh metode-metode teater orang lain dan metode itulah yang menjauhkan diri dari diri kita sendiri. Tubuh kita menjadi Jepang, mejadi Amerika, mejadi Eropa, dan menjadi bangsa-bangsa lain” jelas Rachman.

Tambahnya, kita wajib mencontoh para empu teater kita seperti Arifin C. Noor, Suyatna Anirun, WS. Rendra, Putu Wijaya, Nano Riantiarno  dan lainnya. Mereka belajar teater barat tapi ketika berkarya sangat Indonesia sekali, sangat Cirebonan, sangan Bali. Masing-masing etnis muncul, mereka tidak menjadi orang asing tapi menjadi diri sendiri.

“Saya bisa berkomunikasi dengan pelaku teater  diberbagai belahan penjuru dunia karena teater tubuh. Bahasa tubuh adalah bahasa universal, mudah dimengerti dan itulah yang menyambungkan kolaborasi kami dengan pelaku teater di Amerika, Belanda, Jepang, Cina, Taiwan, Australia, Jerman dan beberapa negara lainnya. Maka penting sekali kita kembali pada kesadaran tubuh sendiri, terutama dalam menjelaskan budaya kita sendiri pada orang lain. Saya berpikir teater tubuh di Amerika berkembang lebih jauh, ternyata tidak. Justru starting teater tubuh lebih dulu kita daripada mereka,” ungkap Racman dengan rasa optimis.

Pungkasnya, sebagai upaya mengenalkan teater tubuh pada dunia pendidikan, tahun 2020 Teater Payung Hitam bersama Rachman Sabur berencana keliling membawakan Universitas Kaspar dan Menunggu Godot ke kampus-kampus di Indonesia. Selain itu tahun depan mereka pun bersiap-siap kolaborasi lagi dengan kelompok teater dari Australia dengan diawali seniman Australia melakukan residensi di Indonesia (di Teater Payung Hitam) yang dilanjatkan dengan program sebaliknya dan mereka membuat karya bersama dengan seluruh biaya ditanggung oleh tim produksi Australia.*(HER)