Hendrajit Direktur Eksekutif GFI / F0T0 Medita

OLEH Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute.

Mentalitas snob bangsa kita, bermuara pada serba tiruan, serba bikinan, serba pura-pura, dan serba dangkal. Nggak ada yang khas kreasi sendiri.

Maka bahayanya menyerap pengaruh asing pun, juga karena mentalitas snob penyebabnya. Bukan karena pengaruh asingnya itu sendiri.

Waktu pak Sutan Takdir Alisyahbana, budayawan dan belakangan rektor saya di Unas waktu itu, sejak 1930 sudah memproklamasikan pentingnya Indonesia menguasai ilmu pengetahuan barat, kalau ingin maju.

Sontak pandangan STA dihajar habis habisan oleh para pendukung falsafah ketimuran seperti Sanusi Pane, Dr Sutomo dan Ki Hajar Dewantara.

Mereka berpolemik dan perang pena pada 1930an di era pujangga baru. Kalau saya kenang kembali polemik kebudayaan era itu, STA maupun Ki Hajar Cs sama sama otentik sebagai pribadi manusia Indonesia.

Kenapa? Baik STA cs yang terkesan kebarat baratan dan pemuja serba barat, ternyata konsisten mempelajari lapis dalam dan lapis luar peradaban barat. Sehingga menghayati betul kekuatan kebudayaan orang orang barat sehingga mampu ekspansif menguasai kawasan di luar eropa. Bukan meniru gaya barat berikut pesimisme dan kegalauan orang orang eropa pada abad 19.

Begitu pula Sanusi Pane, Dr Sutomo, dan Ki Hajar Dewantara, juga mendalami dan menyelami lapis dalam peradaban India seperti bhagawad gita, upanishad maupun pikiran Rabindranath Tagore, Begawan Yasa dengan kitab Bharata Yoedha nya, dan sebagainya.

Jadi para budayawan kita yang pro peradaban Timur pun merupakan pribadi yang otentik. Bukan bermental snobisme. Asal meniru atau memuja muja peradaban timur sekadar dalam gaya atau lapis luar kulit.

Lantas bagaimana membaca gejala westernisasi dan modernisasi, arabisasi Islam yang kemudian mengerucut ke konsep Khilafah, atau gagasan menghidupkan kembalu Majapahit Raya, atau Republik Jawa Raya?

Gejala macam itu, persoalan pokok bukan karena pengaruh asing di balik konsepsi westernisasi dan modernisasi, juga persoalan pokok bukan pada Islam di balik wacana negara Khilafah. Juga bukan soal pokok pada peradaban India atau Hindu-Budha di balik wacana negaran Majapahit atau Pan Jawanisme.

Ketiga wacana tadi jadi runyam di negri kita, bukan karena peradaban barat, Islam dan nilai nilai ketimuran. Melainkan karena ketiga ide ide dan wacana tadi diserap dan diolah oleh orang orang yang bermental snobisme tadi.

Serba tiruan, serba bikinan, serba pura2 dan serba dangkal.

Padahal nasehat dari budayawan Jepang Fukuzawa Yukichi di era restorasi Meiji pada 1867an menarik disimak: “Orang Jepang kalau mau maju, pelajarilah peradaban barat sampai ke tulang sumsumnya, ke lapis kulit terdalam. Maka dengan cara itu, bangsa Jepang akan menemukan kembali jatidirinya.”