JAKARTASATU.COM – Moh Hatta Taliwang dalam sebuah diskusi tentang penijauan kebali ke UUD 1945 (24/12/2019) di Hotel Horison di Bandung mengatakan, masalah kita bukan pada pemimpin atau kepemimpinanan, masalah kita pada system. Ibarat mobil, bukan semata masalah supir yang tidak trampil tapi system kelistrikan, system rem, system aliran bensin, system ACnya dan lain-lain bermasalah, itulah analog dari situasi bangsa kita.
“Indikasinya banyak orang yang pintar tidak terserap oleh system rekrutmen negara, tapi orang yang paspasan malah dapat tempat terhormat. Masalah ini ada kaitan dengan system rekrutmen di partai. System partai sendiri bermasalah. Masalah pendanaan yang penguasaannya oleh pemodal. Pemodal yang mengusai partai maka kaderisasi selera dia. Promosi untuk menjadi menteri dan jadi apanya milik selera para tuan-tuan pemilik partai, orang baik dan benar belum tentu bisa,” ujar Hatta.
Ungkap Hatta, masalah lain sejak UUD 145 diamandemen, DPD RI tidak jelas peran dan fungsinya. Sehingga ada yang bilang ini sebenarnya LSM plat merah, yang menghabiskan miliaran duit tidak jelas. Bukan salah mereka tapi salah konstitusi.
Lalu demokraksi dari rakyat oleh rakyat ujungnya untuk konglomerat. Tidak seperti kita bayangkan yang indah-indah itu. Pemilu rutin tidak menghasilkan DPR yang pro rakyat. Waktu kapanye pro rakyat, tapi ujungnya pro pemodal, pro penguasa.
“Sekarang ada soal 900 ribu ton beras mau dibuang, mana ada pansus yang mepersoalkan. Artinya DPR tertidur. Ada masalah Jiwasraya harusnya jadi pansus. Di era lalu, era SBY sejelek-jeleknya soal senturi bisa dipansuskan, hari ini mungki tidak bisa. Semua masalah diredam. Kelemahannya adalah sudah diakuisisinya partai-partai oleh pemilik modal,” tegas Hatta.
Lanjut Hata, sejak MPR kita menjadi lembaga tertinggi negara, lembaga tinggi negara menjadi kerajaan masing masing. MA suka-suka, KPK dan Polri rebut tidak ada yang menengahi. Kenapa demikian, karena MPR tidak menjadi pemutus tidak menjadi pemegang kata akhir negara ini, semua ngambang. DPR rebut dengan KPK ngambang tidak selesai. Selera saja yang jalan. Tidak ada pemberi kata akhir. Di negara disebut liberal pun ada kata ahir. Misalnya Ingris kalua mau perang amau apa kata akhirnya adalah ratu. MPR kita sebenarnya ratu kita.
“Berakhirnya jabatan presiden tidak ada penilaian kritis dari MPR, yang seharusnya melakukan itu seperti halnya dilakukan di masa lalu. Pengkritasannya diserahkan ke rakyat. Instrumen untuk memilih pimimpin dikendalikan pemilik modal, semuanya diatur oleh pemilik modal, semua direkayasa atas nama duit,” ujar Hatta.
Papar Hatta, dengan system ekonomi yang sangat liberal ini negara tidak berdaulat karena ekonomi diatur langsung oleh IMF, bank dunia, ADB, WTO. Sejak kapan IMF, bank Dunia, ADB, WTO dapat mandat dari rakyat Indonesia. Pernah tidak mereka datang ke DPR mempersentasikan pemikirannya lalu DPR mempersoalkan. Ini kami tidak setuju soal hutang piutang seperti ini, bunga yang seperti ini kami tidak setuju karena ini menjerat kami. Pernah ada tidak seperti itu? Tidak ada.
“Kementeri Keuangan dan lain-lain cuma sebagai SPG daripada banK dunia, merangkap depkolektor. Ini kita sedang didepkolektor, diperas kita. Naikan harga listrik tanpa kita tahu, naikan pajak tanpa kita diajak bicara. Renungkan, apa bigini mimpi pendiri negara kita ini,” Pungkas Hatta.*I HER – Biro Bandung