JAKARTASATU.COM – Setelah Kongres Pemuda Sunda I yang di gelar 4-7 November 1956, belum ada lagi pertemuan besar yang secara bersama-sama membahas persoalan penting dan genting di tengah masyarakat Sunda, yang hasilnya diterima dan dirasakan secara luas. Kongres Pemuda Sunda I membahas tiga hal penting saat itu, yaitu; keamanan, sosial ekonomi, dan kebudayaan. Sebagaimana diketahui, salah satu rekomendasi Kongres Pemuda Sunda I adalah pendirian perguruan tinggi, dan pada 11 September 1957 berdirilah Universitas Padjajaran.
Ketua Setering Commite Kongres Sunda 2020 Andri Perkasa Kantaprawira memaparkan, dari tiga persoalan yang dibahas pada tahun 1956 itu, mungkin hanya bidang keamanan yang relatif teratasi dengan baik oleh penyelenggara negara. Sementara masalah sosial-ekonomi dan budaya, saat ini masih menjadi keprihatinan bersama orang Sunda.
“Artinya, orang Sunda terus menerus berkutat pada persoalan yang sama sejak tahun 1956 dan belum menemukan formulasi bersama untuk mengatasinya. Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika keinginan untuk melanjutkan agenda Kongres Pemuda Sunda I, terus bergulir dan menjadi pembicaraan umum,” ujar Andri saat ditemui pada kegiatan sosialisasi Kongres Sunda 2020 di Holel Horison Bandung, Sabtu (28/12/2019).
Menurut Andri, ada tiga persoalan penting yang dianggap dapat mempertemukan berbagai komponen orang Sunda untuk duduk bersama, yakni; Pertama, percepatan pengembalian nama provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Sunda, Pasundan atau Tatar Sunda. Hal ini sudah menjadi salah satu keputusan dalam Kongres 1956, maka agenda sekarang adalah mempercepat prosesnya.
“Secara administratif, pengajuan penggantian nama ini dimungkinkan oleh aturan yang ada dan jauh lebih mudah dibandingkan dengan pendirian Daerah Otonomi Baru. Pengembalian nama ini dimaksudkan untuk mempertahankan entitas Sunda agar tidak hilang seiring perkembangan zaman yang sangat cepat,” harap Andri.
Lanjut Andri, penggunaan nama Provinsi Sunda ini dalam kerangka memperkokoh fondasi NKRI, bahwa masyarakat Sunda menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia, sejak masa pergerakan nasional, pra kemerdekaan, masa revolusi, dan saat mengisi kemerdekaan sampai saat ini. Menghadapi era digital yang telah menghilangkan batas negara dan budaya, pengabadian “Sunda” sebagai nama provinsi, menjadi peneguh bahwa manusia dan budaya Sunda akan tetap ada.
Poin kedua, persoalan sosial-ekonomi yang bermuara pada pengelolaan tata ruang dan agraria yang lebih memihak hajat hidup orang Sunda, tegasnya dengan menghentikan alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan menjadi area industri atau infrastruktur yang tidak mendesak. Karena posisi geografis Tatar Sunda yang menjadi penyangga ibukota Jakarta, maka banyak kebijakan pembangunan pemerintah pusat yang dipaksakan di kawasan Bogor, Depok, Bekasi, Karawang, bahkan kini melebar ke Bandung, membuat aktivitas pembangunan industri di kawasan ini sangat tinggi sementara kawasan lain masih berkutat dengan ketersediaan infrastruktur dasar. Industrialisasi yang lebih memihak para pemilik kapital besar dan tidak merata ini tentu saja mengganggu lingkungan hidup dan ekosistem, yang mengakibatkan sejumlah titik di Tatar Sunda semakin rawan bencana alam. Kawasan industri yang sudah ada memang perlu dipertahankan, tetapi pembangunan area industri baru perlu lebih merata dan ditempatkan di lokasi yang lebih tepat.
“Ketidakseimbangan ini ditunjang pula oleh masih kurangnya jumlah kabupaten/kota. Bandingkan dengan Jawa Tengah yang memiliki 35 kab/kota dengan penduduk 34,26 juta jiwa, dan Jawa Timur yang mempunyai 38 kab/kota dengan penduduk 39,29 juta jiwa. Sementara Jawa Barat hanya 27 kab/kota tetapi memiliki jumlah penduduk jauh lebih besar, yaitu 48,68 juta jiwa. Jika tidak segera dilakukan pengelolaan tata ruang yang lebih berpihak pada hajat hidup masyarakat dan alam Sunda, maka ancaman sosial dapat meledak sewaktu-waktu,” jelas Andri.
Poin ketiga menerut Andri, merumuskan Tangtungan Sunda, sebagai tindak lanjut dari kongres Bahasa dan Budaya Sunda yang sudah dilaksanakan selama ini. Konsep Tangtungan Sunda ini sangat diperlukan untuk merespons kebijakan pemerintah daerah tentang bahasa Sunda seperti keharusan menjadikannya sebagai muatan lokal di sekolah, dan kebijakan budaya seperti Rebo Nyunda. Kebijakan yang baik ini harus ditopang oleh sebuah rumusan adeg-adeg yang akan mewarnai karakter nonoman Sunda dalam menyongsong masa depan.
“Untuk membahas secara mendalam hal-hal di atas, penyelenggaraan sebuah Kongres Sunda menjadi sebuah keniscayaan untuk menyamakan persepsi di antara orang-orang Sunda agar dapat memberikan sumbangsih terbaiknya bagi kehidupan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kongres ini merupakan upaya untuk mewujudkan cita-cita terwujudnya Sunda Mulia, yakni sebuah suku bangsa yang dihargai karena prestasinya oleh bangsa-bangsa lain di dunia,” tegas Andri.
Tambah Andrim sebagaimana Kongres Pemuda Sunda I yang dilaksanakan oleh dua pihak, para sesepuh yang tergabung dalam Badan Musyawarah Sunda (BMS) dan para pemuda yang tergabung dalam Front Pemuda Sunda (FPS), maka Kongres Sunda juga dilaksanakan oleh kepanitiaan yang merupakan perwakilan dari berbagai Ormas Sunda, Paguron Silat, dan Kawargian Sunda.
“Kongres Sunda 2020 ini sebagai tanggung jawab moral seluruh komponen Sunda saat ini, untuk memberikan solusi terbaik atas tiga persoalan penting di atas, yang akan menjadi landasan kuat dalam kerangka ngaronjatkan harkat martabat urang Sunda (tingkatkan harkat martabat orang Sunda) di masa depan,” pungas Andri.l HER – BIRO BANDUNG