Rizal Bawazier/AEM-JAKSAT

OLEH: Rizal Bawazier

Jakarta sebagai pusat ibukota telah dihuni oleh berbagai macam suku dan etnis,menjadikan Jakarta kota yang sangat besar, atau bisa dibilang terlalu besar menurut elit politik sehingga diusulkan untuk pindah ibu kota.

Berbagai kepentingan selalu muncul setiap hari bahkan setiap detiknya karena beragamnya sociality yang ada di Jakarta, kritik,  kecaman, pujian, sanjungan tidak ada habis-habisnya kita lihat di media sosial, twitter, instagram, facebook dan media lainnya  yang semuanya dibuat dengan berbagai tujuan masing-masing kepentingan.

Sadarlah Jakarta !!!, kita tidak lebih dari manusia ciptaan Tuhan yang seharusnya bisa damai diberi kehidupan dan tinggal di Jakarta.

Keserakahan, keangkuhan, kekayaan, lagi-lagi ujung-unjungnya masalah uang yang mendalangi dan menghalangi kedamaian di Jakarta.

Sesungguhnya penguasa yang adil itu adalah bayangan Tuhan di bumi yang menjadi tempat berlindungnya setiap orang yang terzalimi. Jika pemimpin bersikap tidak adil, rakyatnya akan selalu berseteru, selalu bertengkar, rakyatnya akan tidak beraturan, adanya persaingan satu sama lain, rakyat akan menentang pemimpin, akan memberi hinaan kepada pemimpin karena sikapnya yang tidak adil.

Bagaimana adil, telah dinasehatkan oleh Buya Hamka kepada bangsa ini. “Adil ialah menimbang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak yang empunya dan jangan berlaku zalim di atasnya.”

Ketidakadilan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan, dimana orang yang salah diberi amanah, sedangkan orang yang benar dituduh sebagai pembuat onar. Ketidakadilan akan semakin mempercepat terjadinya kericuhan, kegaduhan bahkan kehancuran.

Seperti pepatah: Agama adalah fondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Segala yang tidak berfondasi, niscaya akan hancur, dan segala yang tidak mempunyai penjaga, pasti akan mudah hilang.

Dalam hal yang sangat terkecil, saat kita berinteraksi di  media sosial, jangan sampai asal share beragam informasi yang diterima, cek dahulu, dipertimbangkan dengan nalar, ini penting atau tidak, ini bermanfaat atau tidak; bagi diri sendiri ataupun orang lain.

Banyak dalam pikiran saya saat sedang berjalan di jalan-jalan raya di Jakarta, berpikir dan berpikir, melihat sekeliling, mengapa tidak ada perubahan pembangunan yang mendasar dalam beberapa tahun ini di Jakarta, tetap macet, tetap banjir, tetap pada ribut-ribut masalah kepentingan masing-masing etnis dan suku, tetap adanya daerah kumuh, tetap jalanan raya pada rusak-rusak setelah ada proyek. Stop ketidakadilan, maju bersama dan bangun bersama kota Jakarta, ulama, umaro (para pemimpin-pemimpin), aparat, dan seluruh warga Jakarta dari segala etnis dan suku. Damailah Jakartaku!