MEMBACA ISU NATUNA DAN TEWASNYA PANGLIMA QASSEM SOLOEMANI (BAG II)
Geopolitik memberi isyarat, bahwa peperangan apapun itu hanya agenda atau sekedar tema semata, sedang inti tujuan adalah geoekonomi. Jadi, sebenarnya tidak ada itu perang agama, tidak ada konflik antarsuku, ras, golongan, atau pertikaian antara mazhab dalam agama, tidak ada perang ideologi dll. Semua itu BOHONG. Penyesatan. All warfare is deception, kata Sun Tzu.
Sekali lagi, dari kacamata geopolitik, perang apapun hanya geostrategi untuk meraih apa yang disebut dengan GEOEKONOMI. Jangankan di level global, konflik lokal semacam kerusuhan Ambon, misalnya, atau konflik Sampit yang digebyarkan merupakan konflik agama dan perang suku, ternyata faktor utamanya (geo) ekonomi. Perhatikan urutan: Geopolitik – Geostrategi – Geoekonomi. Jangan dibolak – balik. Ya. Geopolitik dilangkahkan guna meraih geoekonomi melalui apa yang disebut geostrategi. Itu singkat narasinya.
Dan urgensi Cina menebar isu sengketa perbatasan di Laut Natuna —secara asymmetric war— mungkin isu tadi di antara dua pola yang tengah ditebar, antara lain:
Pola pertama, itu test the water. Memancing reaksi publik sekaligus melihat aksi militer Indonesia; atau memancing kemunculan stakeholders baik orang, kelompok dan/atau negara tertentu yang selama ini menikmati “aliran gas” di Natuna; dan tidak kalah penting bahwa melalui isu sengketa Natuna, Cina bisa mempeta kembali siapa yang pro dan siapa kontra atas tindakannya; dan/atau
Pola kedua, isu tersebut sengaja dilempar sebagai pintu pembuka mencaplok Natuna karena faktor (geoekonomi) perairan Natuna sangat strategis bagi jalur “energy security”-nya, selain sumber daya alam dan ikan yang berlimpah. Ini merupakan keniscayaan kebijakan sebab tercermin dari Nine Dash Line (sembilan garis putus-putus) yang sudah ada sejak 1947.
Tak boleh dipungkiri, kepentingan nasional Cina ialah lintasan pelayaran baik itu jalur energy security maupun akses ekspor – impornya melintas dari Lautan Hindia – Selat Malaka – Laut Cina Selatan, dimana Laut Natuna berada pada jalur lintasan tersebut. Bahwa ada 80% atau sekitar 7 juta barel minyak melintas di Selat Malaka terus berlanjut ke Laut Natuna. Inilah geopolitical flashpoint di satu sisi, barangsiapa menguasai jalur ini akan mengendalikan Cina, sedang di sisi lain, Cina pasti meradang jika jalur tersebut diganggu atau terganggu karena akses “energy security”-nya akan terhambat, dan bisa menyebabkannya kolaps.
Kegelisahan Cina kemarin —di era Obama— selain bercokol Armada ke-7 Amerika di Singapura (Selat Malaka), juga ancaman AS hendak memblokade Laut Cina Selatan.
Pada gilirannya, kekhawatiran Cina agak reda ketika Xi Jinping menerbitkan String of Pearl —ini benih dari program OBOR atau Belt and Road Initiative (BRI) yang kini tengah mengglobal— sebuah strategi pengamanan jalur energy security dari Lautan Hindia hingga Laut Cina Selatan, sehingga dalam peta terlihat seperti Untaian Kalung/String of Pearl.
Dan melalui String of Pearl pula, ia mampu mengakuisisi hampir semua pelabuhan di pesisir Lautan Hindia dan seaport negara pesisir di Laut Cina, termasuk penguasaan ilegal terhadap Spartly dan Paracel, kepulauan sengketa di Laut Cina.
Sekarang balik ke Negeri Para Mullah. Secara fisik, hal yang mustahil jika Iran berani menyerang AS secara terbuka kecuali ia diserang terlebih dulu. Tetapi agaknya, “Bendera Merah” telah dikibarkan di masjid Qum, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Artinya apa, bahwa Iran akan siap berperang di medan apapun, dimanapun, kapanpun!
Niscaya Iran akan memainkan jaringan dan memberdayakan proxinya di luar secara optimal guna melakukan aksi balasan terhadap semua kepentingan AS. Hezbullah, misalnya, milisi Irak pro-Iran akan meningkatkan aksi-aksinya, atau Houti di Yaman akan meningkatkan intensitas gerakan, kemudian milisi di Syria, Hizbullah di Libanon dan lain-lain. Tanpa disadari, tewasnya Panglima Qassem telah menyatukan gerakan para milisi yang selama ini sporadis dan terpecah-belah. Dan sialnya, AS justru menjadi musuh bersama!
Wilayak Teluk dan sekitarnya bakal menjadi “neraka” bagi AS dan sekutu. Ini yang akan terjadi.
Nah, hal-hal di atas, itulah yang kelak disebut dengan istilah “kekuatan tersembunyi” di setiap negara sebagaimana frasa pada prolog tulisan ini (paragraf ke-9 di Bag I). Mengapa?
Ya. Kekuatan tersembunyi di setiap bangsa itu ada, nyata dan berada. Bukan hoax, bukan fiksi belaka. Cöntoh, pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya tempo doeloe. Betapa cuma berbekal senjata rampasan dan semangat juang pantang menyerah, pemenang Perang Dunia II pun harus merasakan serta mengakui “neraka” di Surabaya. Dua jenderal sekutu pun tewas. Dan mereka harus angkat kaki jika tidak ingin menanggung besar malu. Pertempuran 10 Nopember di Surabaya tercatat dalam sejarah dunia sebagai peperangan super dahsyat.
Secara teori, arek-arek Surabaya harusnya takluk dalam hitungan hari karena secara jumlah, peralatan dan mesin perang serba kalah, kalah canggih dibanding tentara sekutu. Itulah dahsyatnya kekuatan tersembunyi yang dimiliki Indonesia. Belum di Vietnam ketika mengusir Paman Sam. Yang paling aktual ialah perang Israel – Palestina. Beberapa kali Israel mengumumkan perang, tetapi selalu Israel meminta gencatan senjata terlebih dahulu meski secara peralatan, Palestina kalah canggih. Ada apa sesungguhnya?
Atau kekuatan tersembunyi di Afghanistan ketika Taliban dikeroyok secara militer oleh NATO dan ISAF (41-an negara) pimpinan AS selama 10 tahun (2001 – 2011) hingga akhirnya AS mengalami krisis ekonomi karena dana perang belum kembali, lalu angkat kaki dari Afghanistan. Taliban toh masih eksis hingga kini.
Berbasis realita dan eksistensi kekuatan tersembunyi di beberapa negara di atas, maka jika melihat perbandingan kekuatan militer serta memanasnya suhu politik antara Cina – Indonesia, dan AS versus Iran, jawabannya adalah: “Jangan tertawa dahulu Paman Sam! Jangan berdendang dulu, Cina! | RED/JAKSAT