Poster Silaturahmi dengan Prof. Dr. KH. M Din Syamsudin, MA /IST

JAKARTASATU.COM – Ketua Umum PIM/Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 Prof. Dr. Din Syamsuddin menjadi pembicara pada Konferensi Pembaruan Pemikiran Islam Al-Azhar, Kairo, Mesir 27-29 Januari 2020.

Mengangkat pidato dengan tajuk “Peran Ormas Islam dalam Pembaruan Islam untuk Pembangunan Nasional di Indonesia” beliau menyampaikan nilai-nilai Islam berkemajuan di Indonesia.

Berikut rangkuman dari pidatonya yang kita kutip secara lengkap seperti dibawah ini:

Konferensi ini penting dan tepat waktu, karena diselenggarakan di tengah “kerusakan global akumulatif” yang melanda dunia dan merusak peradaban umat manusia. Kerusakan akumulatif tersebut bersumber pada sistem dunia yang berpangkal pada paham sekuler-liberal. Sekularisme-liberalisme ini telah mendorong liberalisasi ekonomi, politik, dan budaya.

Sebagai penganut agama kemajuan dan jalan tengah, umat Islam memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan perubahan dan perbaikan, yakni dengan mengajukan “peradaban alternatif”. Umat Islam di Indonesia telah mengambil porsi tanggungjawab dengan partisiapasi aktif dalam pembangunan nasional. Hal ini dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pihak, baik masayarakat madani maupun pemerintah, atas dasar kebaikan dan perbaikan.

Di Indonesia terdapat tidak kurang dari 100 organisasi Islam yang bersifat organisasi massa dengan jumlah pendukung jutaan. Mereka sejatinya merupakan gerakan kebudayaan yaitu bertujuan menguatkan landasan budaya dalam kehidupan masyarakat. Maka organisasi-organisasi itu melakukan pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial, hingga ke pemberdayaan ekonomi.

 

Arsitektur Indonesia

Sebagian dari organisasi-organisasi itu sudah berdiri pada awal abad keduapuluh Indonesia dan karenannya lebih tua dari Negara Indonesia. Bahkan, kemerdekaan Indonesia sangat ditentukan dan diwarnai oleh pemikiran dan gerakan organisasi-organisasi tersebut.

Banyak tokoh Indonesia berasal dari organisasi-organisasi ini, seperti Sang Proklamator Sukarno dan Jenderal Sudirman, Pendiri TNI, berasal dari Muhammadiyah. Salah seorang perumus Konstitusi Indonesia KH. A. Wahid Hasyim dari Nahdhatul Ulama dan guru dari banyak tokoh Indonesia, Cokroaminoto, dari Syarikat Islam. Itulah yang mempengaruhi arsitektur Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sangat memiliki celupan (shibghah) Islamiyah dan bersifat wasathiyah.

Pancasila mengandung nilai-nilai keislaman. Bahkan Grand Syaikh Al-Azhar dalam pidato kunci-nya pada Pembukaan Pertemuan Puncak Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia tentang Wasathiyat Islam, di Bogor, 2018 menyatakan bahwa Pancasila adalah Islami. Memang kalau dibedah, sila demi sila dari Pancasila merupakan nilai-nilai Islam.

Begitu pula Konstitusi Negara Indonesia, UUD 1945, merupakan kristalisasi dari nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem Pemerintahan yang bersifat presidensiil dengan lembaga-lembaga negara seperti MPR dan DPR dapat dikatakan sebagai manifestasi pemikiran politik Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam konteks Indonesia.

Paradigma politik Sunni menekankan sentralitas ahlul imamah (kepala negara), pentingnya ahlul ikhtiyar (para pemilih), dan ahlul halli wal ‘aqdi (para wakil rakyat) serta perlu adanya bay’ah wal-mubaya’ah (pemberian mandat kepada yang terpilih). Selain itu, sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia, yang bukan kapitalisme dan bukan sosialisme, tapi adalah sistem ekonomi dengan prinsip kekeluargaan, mencerminkan prinsip jalan tengah. Mengedepankan prinsip kegotongroyongan (ta’awun) yang diajarkan dalam Islam.

Begitu pula sumber daya alam harus dikuasai negara (tidak diserahkan kepada mekanisme pasar bebas) merupakan pengamalan dari hadits bahwa air, api, dan rumput tidak diserahkan kepada orang banyak. Masih banyak hal lain yang bisa diangkat sebagai refleksi ajaran Islam. Termasuk, dalam hal ini, motto Bangsa “Bhineka Tunggal Ika”, satu walau berbeda, beragama tapi satu adanya, merupakan ajaran Islam tentang perlunya persaudaraan kebangsaan dan persaudaraan kemanusiaan.

 

Negara Pancasila

Inilah Islam dan Umat Islam di Indonesia. Sebagai bagian terbesar dari rakyat Indonesia (88% dari sekitar 260 juta penduduk), Umat Islam telah berperan besar dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Maka umat Islam memiliki tanggung jawab yang besar pula akan kemajuan Indonesia. Walaupun demikian, para pendiri Negara Indonesia tidak memilih status negara teokratis tapi tidak pula memilih bentuk negara sekuler. Relasi antara agama dan negara dalam Negara Pancasila bersifat simbiotik mutualistik.

Walaupun bukan negara agama, tapi negara menghormati agama dan memberi kebebasan kepada warga negara untuk beragama dan beribadat menurut agamanya.

Formula demikian dapat dibandingkan dengan formula ulama Sunni, seperti Al-Ghazali, yang mengatakan bahwa agama dan negara adalah bersaudara kembar. Inilah prinsip wasathiyat Islam yang ada dalam rancang-bangun negara di Indonesia. Maka bagi organisasi Islam, seperti Nahdhatul Ulama, negara Negara Pancasila adalah bentuk ideal dan final bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Organisasi Islam lain, yaitu Muhammadiyah, menilai Negara Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi was Syahadah.

Dalam perspestif demikian, organisasi-organisasi Islam di Indonesia terus berjuang untuk mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita pembentukannya, yaitu Indonesia yang bersatu, adil dan makmur, serta berdaulat. Oleh sementara organisasi Islam, negara demikian adalah “baldatun thoyyibatun wa Robbun ghafur”. Ada pula yang membandingkannya dengan “al-madinat al-fadhilah” seperti yang digagas oleh Al-Farabi.

 

Nilai-nilai Islam Berkemajuan

Memang organisasi-organisasi Islam di Indonesia adalah bentuk dari masyarakat madani yang bergerak dan berorientasi pada penguatan landasan budaya dalam kehidupan masuarakat. Mereka membangun sekolah, universitas, rumah sakit, panti asuhan, baitul mal wat tamwil, sampai kepada perusahaan dan lembaga informasi.

Muhammadiyah yang lahir pada 1912, umpamanya, memiliki 14 ribu sekolah dari ibtidaiyah sampai aliyah, 170 universitas dan perguruan tinggi, 480 rumah sakit dan klinik, 300 panti asuhan, 350 baitut tamwil, dan beberapa unit usaha. Dengan dukungan 35 juta anggota, Muhammadiyah menjadi kekuatan masyarakat madani yang efektif dan berpengaruh. Tanpa harus menjadi partai politik Muhammadiyah memiliki political leverage tinggi.

Politik yang dilakukan bukan politik kekuasaan (power politics) tapi politik moral (moral politics). Maka secara relatif tidak ada ketegangan antara Muhammadiyah dengan pemerintah, karena keduanya saling membutuhkan. Muhammadiyah, sebagai organisasi masyarakat madani, menerapkan sikap loyal kritis terhadap negara. Loyal dalam arti menerima pemerintahan yang sah, namun terhadap kritis untuk perbaikan.

Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah mengembangkan paham keagamaan yang menyandarkan diri pada Al-Qur’an was Sunnah al-Maqbulah yang dapat disebut adanya at-Tawazun baynat tajrid wat tajdid (Keseimbangan antara Pemurnian dan Pembaruan). Namun Muhammadiyah meletakkan masing-masing pada proporsinya, yakni at-tajrid fil ‘aqidah wal ‘ibadatil mahdhah wat tajdid fil mu’amalat wal umurid dunyawiyah.

Selain itu, seperti pengajaran pertama pendirinya, Ahmad Dahlan, dua surat pendek dalam al-Qur’an yaitu al-Maun dan al-‘Ashr, Muhammadiyah mengembangkan diri menjadi gerakan praksis (yang memadukan antara ide dan aksi). Kedua surat tadi membawa nilai2 keutamaan, seperti pembelaan terhadap fakir-miskin dan yatim piatu, ibadat yang fungsional, penghargaan akan waktu, produktifitas, dan kemajuan.

Nilai-nilai inilah yang mengkristal pada Wawasan Muhammadiyah tentang Islam Berkemajuan. Bagi Muhammadiyah wawasan inilah yang akan dapat membawa umat Islam sebagai umat utama (khaira ummah).

 

Dakwah Pencerahan

Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah memilih pendekatan dakwah pencerahan (tanwiriyah), yang dipahaminya mempunyai tiga gradasi: Pembebasan (tahrir), Pemberdayaan (taqdir), dan pemajuan (tathwir). Dakwah pencerahan ini dilakukan Muhammadiyah dengan mementingkang perencanaan strategis dan pengelolaan yang baik (husnu al-tadbir).

Bagi Muhammadiyah, Islam adalah agama kemajuan, maka perlu ada pemikiran baru dan maju yang sesuai dengan dinamika dimensi ruang dan waktu. Ini semua dapat terjadi jika keberagamaan dapat mengambil bentuk etikal, yakni mengkristalkan nilai-nilai etika keagamaan dalam diri.

Untuk itu Muhammadiyah mengedepankan etika keislaman utama antara lain: 1. Berorientasi pada kerja (action oriented), 2. Berorientasi pada kualitas kerja (quality oriented), 3. Berorientasi pada tujuan (future oriented), dan 4. Berorientasi pada kemajuan dan keunggulan.

Pendiri Muhammadiyah, Syaikh Ahmad Dahlan, dalam pengajaran pertamanya menekankan pentingnya pesan dua surat pendek dalam Al-Qur’an yaitu Al-Ma’un dan Al-‘Ashr. Keduanya membawa nilai-nilai kemajuan yaitu: Solidaritas terhadap dhuafa dan mustadh’afin, menebar maslahat bagi kemanusiaan, penghargaan akan waktu, produktifitas, dan kedisiplinan. Hanya dengan etika demikian umat Islam akan dapat menampilkan kemajuan peradaban Islam.

 

Aktualisasi Washatiyat Islam

Apa yang dilakukan oleh organisasi Islam di Indonesia, pada sisi lain, adalah aktualisasi dari prinsip-prinsip Wasathiyat Islam, yakni I’tidal, Tawazun, Tasamuh, Syura, Islah, Qudwah, dan Muwathanah (Pesan Bogor, hasil dari Pertemuan Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia ttg Wasathiyat Islam, di Bogor, 1-3 Mei 2018, dihadiri oleh Syaikh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thoyyib bin Thoyyib yang menyampaikan Pidato Kunci).

Secara khusus, muwathanah sebagai elemen penting dari wasathiyat Islam adalah bentuk penunaian kewajiban dan tanggungjawab untuk memajukan bangsa dan negara. Peran demikian diselenggarakan atas prinsip hubbul wathan minal iman. Dengan organisasi Islam di Indonesia memiliki watak sejati sebagai khadimul ummah wa shadiqul hukumah.

Wawasan Kebangsaan dan Kenegaraan Indonesia merupakan ijtihad para pendiri bangsa termasuk para tokoh Islam yang sangat kuat dipengaruhi oleh pemikiran politik Islam. Ijtihad itu mengambil posisi jalan tengah yang menekankan adanya simbiosisme mutualistik antara agama dan negara.

Paradigma ini berbeda dengan paradigma integralisme yang memandang agama dan negara menyatu, atau paradigma sekularisme yang memisahkan agama dan negara. Ijtihad Indonesiawi demikian dipandang sesuai latar masyarakat majemuk. Namun Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas merupakan warna dominan dari kebudayaan nasional. |WAW- Grup WA Islam Berkemajuan.