foto Istimewa

JAKARTASATU.COM – Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyoroti target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi. Menurutnya sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi, pertumbuhan tertinggi hanya mencapai 5,27 persen.

“Rakyat menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dengan kualitas yang semakin membaik. Bukan seperti yang sekarang terjadi, tumbuh rendah dengan kualitas menurun. Rakyat akan tua sebelum kaya karena terjebak dalam middle income,” ungkap Anis, dalam rapat dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Ruang Rapat Komisi XI DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Selasa (4/2/2020).

Anis menilai, Indonesia memiliki kapasitas besar dari sektor sumber daya alam dan manusia. Namun, itu semua sangat bergantung pada kemampuan pemerintah sebagai pihak penggelola dan penggerak roda perekonomian.

“Gebrakan-gebrakan dari pemerintah untuk mendorong pertumbuhan tinggi sangat minim, sehingga ekonomi terus bertopang pada konsumsi rumah tangga sebesar 60 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto),” ungkap Anis.

Menurut Anis, berbanding terbalik dengan target pertumbuhan ekonomi, target Indeks Pembangunan Manusia (IPM) justru masih terlalu rendah. Target IPM pada tahun 2024 sebesar 75,54, yang perbedaannya sangat tipis jika dibandingkan dengan target pemerintah pada tahun 75,54, walaupun realisasinya hanya 70,18.

“Pemerintah harus lebih serius dalam mengevaluasi dan memperbaiki kegagalan pencapaian tersebut,” ucap Anis.

Anis juga turut menyoroti pendanaan proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang ditanggung oleh APBN sebesar 19,2 persen atau senilai Rp 89,472 triliun dari total Anggaran sekitar Rp 466 triliun. Selain APBN, skema pendanaan akan banyak melibatkan sektor swasta dan BUMN, melalui kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) atau public private partnership (PPP), skema tertentu seperti Build-Operate-Transfer (BOT) atau skema lainnya.

Dalam hal itu Anis mempertanyakan kebijakan pembiayaan yang akan dipakai oleh pemerintah. Skema KPBU, umumnya badan usaha akan melakukan pembangunan, pengoperasian dan perawatan, dengan timbal balik berupa kuntungan yang didapatkan ketika mengoperasikan proyek.

“Sangat mengkhawatirkan dana yang berasal dari APBN hanya 19,2 persen, sementara sisanya akan menggunakan skema KPBU dan swasta” jelas Anis.

Anis mengingatkan bahwa skema KPBU sudah lama diterapkan di Indonesia, dulu disebut sebagai skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Semenjak diterapkan pada tahun 2005, baru sekitar Rp 25 triliun proyek infrastruktur yang memakai skema ini.

“Tingginya resiko, minimnya partisipasi swasta dan proses tender yang sulit membuat skema ini butuh waktu lama untuk berkembang. Oleh karena itu, pembangunan proyek pemindahan Ibu Kota Negara dengan menggunakan skema KBPU dan nilai pembiayaan yang mencapai 250 triliun rupiah, perlu dipertanyakan” tegas Anis.* l HER-JAKSAT