JAKARTASATU.COM– Menyambut Hari Pers Nasional, alih-alih bicara peran jurnalis muslim, untuk saat ini justru menjadi urgen bicarakan masa depan jurnalis muslim itu sendiri. Kenapa? Untuk peran, mungkin tak perlu dibicarakan lagi. Teramat banyak kiprah yang telah dilakukan. Kini saatnya, perlu kita renungkan bagaimana nasib jurnalis muslim, terutama, tentu saja dalam persoalan kesejahteraan.
Jurnalis muslim dalam hal ini saya bagi dua. Pertama, mereka seorang jurnalis muslim yang bekerja pada media umum, kedua, jurnalis muslim yang bekerja pada media Islam. Bagaimana tingkat kesejahteraan mereka? Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta merilis hasil survei upah layak jurnalis 2020. Hasilnya, jurnalis pemula di Jakarta seharusnya mendapatkan gaji sebesar Rp8.793.081.
Sementara, upah yang layak bagi jurnalis (muslim) pemula adalah Rp6.900.000. Ini salah satu hasil dan rekomendasi Musyawarah Nasional (Munas) Forjim I yang telah digelar di Wisma PKK, Kebagusan Jakarta Selatan, 5 sampai 6 Januari 2018 lalu. Pertanyaanya, apakah upak layak itu sudah terpenuhi? Sepertinya belum.
Ini adalah masalah yang sampai saat ini belum teratasi. Khusus untuk para jurnalis muslim, sebenarnya obrolan soal bisnis media pernah dilakukan. Dalam sebuah kamar di Hotel Salak, sekian tahun lalu, pernah ada sedikit tawaran solusi dalam upaya meningkatan kesejahteraan wartawan sekaligus menjaga nafas bisnis media. Usulan yang pernah terlontar, bagaimana wartawan fokus saja membuat konten-konten yang bermutu, baik berita maupun karya jurnalistik lain tanpa harus diganggu soal iklan.
Sementara, pekerjaan ini dilakukan oleh semacam “konsultan”. Konkritnya, ada satu “agency” yang membawahi sekian media Islam. “Agency” inilah yang mencarikan iklan untuk menghidupi media bersangkutan. Sayangnya, tawaran ini masih sebatas ide yang belum pernah terlaksana. Padahal, sebuah ide yang sangat bisa untuk dilakukan.
Di kalangan jurnalis muslim sendiri, khususnya yang bekerja pada media Islam, saya kira mengalami problem eksistensialis yang cukup mengusik. Saya perhatikan, memang ada rasa kebanggaan tersendiri menjadi jurnalis muslim. Benar adanya, rasa bangga ini adalah wujud setidaknya kehidupan mereka berguna dengan beritakan fakta-fakta seputar aktivitas umat Islam, baik politik, sosial maupun kebudayaan. Ini yang menjadikan mereka bertahan. Menjadi jurnalis muslim adalah alternatif kiprah dakwah mereka. Walau, dengan upah yang belum mencukupi.
Lantas, apa tawaran solusi lain? Tak ada cara paling gagah selain kolaborasi. Saya melihat, di kalangan media Islam, sudah ada kolaborasi misalnya dengan lembaga-lembaga kemanusiaan, begitu juga dengan pengusaha-pengusaha sektor kuliner. Ini kerjasamanya yang bagus. Walau, tentu harus ada peningkatan. Dulu, eramuslim.com berhasil menggaet dunia perbankkan dan lembaga keuangan lain dalam kolaborasinya. Yang dengannya, roda bisnis media ini cukup bisa diandalkan. Sayangnya, pasang surut terjadi. Eramuslim.com merosot. Kolaborasi demikian mesti terus diusahakan lagi, termasuk misalnya dengan sektor property. Dan sekali lagi, ini bisa dilakukan.
Inlah PR besar industri media (Islam) yang secara otomatis juga berpengaruh terhadap bagaimana nasib jurnalis muslim ke depan. Untuk melakukan kerjasama, sinergitas peran media Islam dengan institusi lain, maka tak ada jalan selain terus menjalin komunikasi, diskusi dan silaturahmi. Tidak sendiri-sendiri, tapi “berjamaah”. Itu kuncinya.
*Kolumnis, Yons Achmad