OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Beberapa hari lalu, ibu kandung di kampung telpon saya dan kasih kabar kalau adikku yang tinggal di Tangerang mudik. Gawat! Semua tahu, Tangerang masuk wilayah merah penyebaran covid-19. Kenapa mudik? Tanyaku dalam hati.
Apakah adikku ODP atau PDP? Tidak! Apakah dia, suami dan anaknya positif Covid-19? Gak tahu. Bisa iya, bisa tidak. Sebab, positif Covid-19 tidak selalu ada gejala. Apalagi untuk orang yang usia muda.
Khawatir, pasti! Ibu saya di kampung sudah tua. Usia di atas 70 tahun. Ayah saya bahkan lebih tua lagi usianya. Ayah juga punya diabet. Sekali tertular, bahaya! Semoga tidak. Itu harapan dan doaku.
Kupesan kepada dua adikku yang lain: jaga ayah dan ibu, jangan sampai tertular. Berikan vitamin C dan E setiap hari. Pantau ayah-ibu dalam interaksi sosialnya. Begitu aku dengan serius meminta kepada kedua adikku itu.
Yang mudik bukan hanya keluarga adikku. Ada 876 bus telah membawa lebih dari 14 ribu penumpang dari Jakarta. Khususnya ke wilayah Jawa. Belum lagi yang menggunakan kendaraan pribadi, naik pesawat dan kereta. Atas kejadian ini, presiden Jokowi dan gubernur Anies Baswedan sangat menyayangkan.
Diantara para pemudik, ada yang terbukti positif Covid-19. Itu yang sempat masuk rumah sakit. Ketahuan! Yang gak ketahuan gejalanya, diprediksi lebih banyak jumlahnya. Mereka inilah yang sesungguhnya menjadi agen dan duta penyebaran covid-19 di daerah. Tanpa mereka sadari.
Bukankah ada nasehat kenabian: “Saat anda dengar ada wabah di suatu wilayah, jangan kesana. Saat anda berada di wilayah yang sedang dilanda wabah, ya jangan keluar.” Inilah teori “lockdown”.
Untuk menghambat penyebaran covid-19 agar tak semakin meluas, Anies selaku Gubernur DKI mengimbau kepada orang-orang yang tinggal di DKI agar gak mudik. Ternyata, imbauan ini kurang efektif. Arus mudik tetap padat.
Di Jakarta nganggur. Anak-anak pada sekolah di rumah. Suami libur kerja. Pedagang keliling, gak ada yang beli. Hidup di Jabodetabek, mahal biayanya. Mending pulang, ketemu keluarga dan teman di kampung. Biaya hidup pun lebih murah. Begitu kira-kira jalan pikiran para pemudik.
Secara psikologis, dan terutama ekonomi, hidup untuk sementara waktu di kampung tentu lebih nyaman dan pasti hemat. Tapi para pemudik ini lupa, apakah mereka bebas dari covid-19? Jika satu orang saja diantara mereka ada yang positif Covid-19 (meski tanpa gejala), maka akan menular ke keluarga dan tetangga di kampung. Bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan orang.
Di kampung ada anggota keluarga yang usianya gak muda lagi. Orang tua, paman, kakek-nenek dan tetangga. Sekali mereka tertular, risiko sangat besar. Alih-alih hemat pengeluaran, anggota keluarga atau tetangga malah jadi korban. Matek!
Sementara, fasilitas medis di daerah tak selengkap di Jakarta. Belum lagi minimnya anggaran daerah dan jarak tempuh rumah sakit yang umumnya cukup jauh dari desa dan perkampungan. Inilah yang membuat sejumlah kepala daerah saat ini galau, panik dan akhirnya memutuskan untuk Lockdown. Provinsi Papua dan Kota Tegal sudah melakukannya. Sejumlah desa di Purbalingga dan Bali juga ada yang ikut lockdown.
Melihat fakta penyebaran covid-19 yang semakin meluas di berbagi daerah, Anies berencana menutup bus Akap yang menjadi alat transportasi keluar masuk Jakarta. Tujuannya? Memotong jalur dan sirkulasi penyebaran covid-19. Dijadualkan jam 18.00 malam ini.
Belum sempat dilaksanakan, lagi-lagi Anies dapat teguran. Kali ini dari Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Mungkin faktor ekonomi jadi alasan. Kalau menteri urusan laut sudah ke darat, berarti negara sedang dalam keadaan genting.
Anies pun urungkan rencananya. Sebagai gubernur, Anies tak ingin kebijakannya berbenturan dengan pemerintah pusat. Ora elok! Gak boleh ada dua kebijakan yang berbeda dalam satu negara.
Lalu, bagaimana dengan penyebaran covid-19 yang semakin meluas ke daerah-daerah? Bahkan sudah ke 31 provinsi. Dan bagaimana cara menahan angka kematian yang terus meningkat? Simple jawabnya: tanyakan LBP. Pasti “menteri segala urusan” ini punya jawabannya.***