JAKARTASATU.COM – Setiap hari mereka larut melakukan pengujian pada sampel Covid-19 yang datang bergelombang. Mereka adalah tenaga medis yang bekerja di laboratorium-laboratorium, para ahli virus atau virolog, dosen mikrobiologi dan mahasiswanya yang menjadi relawan, analis biologi, peneliti, dan lain-lain.
Mereka berperan besar dalam menentukan sebuah sampel positif atau negatif Covid-19. Mereka bekerja dalam sunyi di ruang-ruang laboratorium, lengkap dengan alat perlindungan diri (APD) mengingat pekerjaan mereka penuh resiko penularan.
Aktivitas tersebut misalnya terjadi di Balai Pengembangan Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Provinsi Jawa Barat (Jabar), Bandung. Ribuan sampel dikirimkan ke lab milik Provinsi Jabar ini.
Aulia Saraswati Wicaksono, S.Si, analis/ahli biologi dari Laboratorium Mikrobiologi Labkesda Jabar, mengaku, jantungnya kerap berdegup lebih cepat jika sampel yang masuk ke Labkesda bertambah. Artinya, semakin banyak orang terduga COVID-19 di luar sana yang menanti nasib dari hasil pemeriksaan.
Karena itu, ia sangat berharap warga agar memahami pentingnya tinggal di rumah untuk mengurangi paparan virus SARS CoV 2, penyebab penyakit Covid-19. “Warga di rumah saja juga membantu kami agar semakin sedikit sampel yang masuk, artinya semakin berkurang orang-orang terduga COVID-19. Kita berdoa saja semoga (pandemi) cepat turun,” ucap Aulia.
Di usia tergolong muda yakni 24 tahun, Aulia kini menambah jam terbangnya dengan memeriksa sampel COVID-19. Meski begitu, Aulia berujar, dirinya sudah terbiasa menangani TB dan HIV. “Malah lebih berbahaya TB karena dikultur dan itu (partikel) aerosol (menular lewat udara),” kata Aulia.
Kerja di laboratorium yang memiliki resiko tinggi membuat para analis harus menjaga kesehatan dan melakukan pencegahan penularan. Aulia melakukannya dengan mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang, menerapkan gaya hidup sehat higienis.
“Pulang ganti baju dan mandi, karena selain melindungi diri sendiri saya juga harus melindungi keluarga,” ucapnya.
Keluarganya sudah paham bahwa Aulia kerja di tempat resiko tinggi. Mereka sudah terbiasa menerapkan prosedur pencegahan penularan. “Keluarga sudah tahu (risiko pekerjaan), sebelum sampel COVID-19 juga saya mengerjakan TB dan HIV jadi mereka tahu safety precaution saya di kantor dan menerima (pekerjaannya),” ucapnya.
Hasil tes diagnostic dari laboratorium menentukan pasien Covid-19 tetap menjalani perawatan di rumah sakit atau sudah bisa pulang. Jika pasien sudah boleh pulang, artinya hasil tes laboratoriumnya menyatakan negatif.
“Tes diagnostic itu membantu manajemen pasien, apakah pasien itu bisa pulang atau dirawat lagi? Apakah orang ini harus masuk rumah sakit atau bisa isolasi di rumah?” ucap virolog yang juga Kepala Laboratorium Genetika dan Bioteknologi Molekular Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, Azzania Fibriani S.Si.,M.Si.,Ph.D.
Perempuan yang akrab disapa Nia tersebut juga bekerja di Labkesda Jabar. Ia bekerja bersama 17 orang yang merupakan tim gabungan dari Labkesda Jabar, ITB, RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung/FK Unpad. Siang dan malam tim gabungan ini berkutat dengan RNA, reagen PCR, tabung-tabung berisi sampel, dan juga komputer.
Sebagai ilustrasi dari pekerjaan mereka, sebuah sampel swab masuk ke lab tersebut. Sebut saja sampel tersebut milik pasien berinisial ‘D’. Status sampel ini hanya bisa dipastikan melalui metode Real Time Polymerase Chain Reaction (PCR). Sampel ini akan melalui berbagai tahapan, mulai ekstraksi, Real Time PCR, interpretasi, verifikasi dan validasi. Sampel ‘D’ kemudian dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Jabar dengan hasil positif atau negatif.
“Kami berupaya menghasilkan hasil yang valid supaya bisa digunakan rumah sakit atau Dinas Kesehatan untuk menangani pasien tersebut,” tambah Nia.
Rutinitas pemeriksaan sampel yang memerlukan kesabaran dan ketelitian menjadi ‘makanan’ sehari-hari para ahli biologi. Laboratorium bisa dibilang rumah kedua mereka. Nia tidak menampik pekerjaannya menguras fisik dan mental.
Ketika orang-orang melakukan work from home, Nia dan kawan-kawan harus kerja di laboratorium. Nia tentu punya keluarga yang terkena dampak physical distancing. “Apalagi sekarang anak kelas online, jadi kami (yang di lab) tidak bisa mengurus (anak yang belajar dari rumah),” tuturnya.
Nia dan kawan-kawan tidak mengetahui sampai kapan pekerjaan pengecekan sampel itu dilakukan. Di tengah gelombang pengiriman sampel yang harus diuji, mereka tidak tahu kapan puncak pandemi terjadi. “Jadi memang endurance (ketahanan) itu sangat diperlukan untuk kerja di lab, karena kami tidak tahu kerja sampai kapan,” ujarnya.
Di tengah ketidakpastian dari akhir pandemi, mereka paham bahwa pekerjaan mereka menjadi fondasi sekaligus kunci dalam percepatan penanggulangan penyakit COVID-19, penyakit yang hingga kini belum ditemukan vaksinnya.
Sebuah hasil pemeriksaan harus melewati kontrol yang ketat. “Kita tidak bisa mengeluarkan hasil negatif, jika internal control-nya tidak keluar,” kata Nia.
Mereka juga dituntut bekerja objektif tanpa melihat identitas sampel yang diperiksa. Bahkan Nia memilih lebih lebih baik tidak tahu identitas pemilik sampel dalam pekerjaan yang digelutinya. Dia harus menutup mata apakah sampel tersebut milik orang terkenal atau tidak. Semua harus dikerjakan dengan objektif demi menghasilkan kesimpulan valid. Tidak ada perlakuan khusus untuk setiap sampel.
Di lab tersebut, Nia dibantu delapan orang mahasiswa dan asisten penelitian dari ITB. Mereka bekerja secara sukarela. Sebelum menjadi relawan, mereka sebenarnya ditawari bekerja di rumah atau tetap menjadi relawan. Namun mereka memilih menjadi relawan yang terjun langsung ke lab. Selain itu, ada enam orang lain dari Tim Unpad di Gedung Eyckman. Mereka membantu mengerjakan Real Time PCR. |IH-BIRO Jabar
Setiap hari mereka larut melakukan pengujian pada sampel Covid-19 yang datang bergelombang. Mereka adalah tenaga medis yang bekerja di laboratorium-laboratorium, para ahli virus atau virolog, dosen mikrobiologi dan mahasiswanya yang menjadi relawan, analis biologi, peneliti, dan lain-lain.
Mereka berperan besar dalam menentukan sebuah sampel positif atau negatif Covid-19. Mereka bekerja dalam sunyi di ruang-ruang laboratorium, lengkap dengan alat perlindungan diri (APD) mengingat pekerjaan mereka penuh resiko penularan.
Aktivitas tersebut misalnya terjadi di Balai Pengembangan Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Provinsi Jawa Barat (Jabar), Bandung. Ribuan sampel dikirimkan ke lab milik Provinsi Jabar ini.
Aulia Saraswati Wicaksono, S.Si, analis/ahli biologi dari Laboratorium Mikrobiologi Labkesda Jabar, mengaku, jantungnya kerap berdegup lebih cepat jika sampel yang masuk ke Labkesda bertambah. Artinya, semakin banyak orang terduga COVID-19 di luar sana yang menanti nasib dari hasil pemeriksaan.
Karena itu, ia sangat berharap warga agar memahami pentingnya tinggal di rumah untuk mengurangi paparan virus SARS CoV 2, penyebab penyakit Covid-19. “Warga di rumah saja juga membantu kami agar semakin sedikit sampel yang masuk, artinya semakin berkurang orang-orang terduga COVID-19. Kita berdoa saja semoga (pandemi) cepat turun,” ucap Aulia.
Di usia tergolong muda yakni 24 tahun, Aulia kini menambah jam terbangnya dengan memeriksa sampel COVID-19. Meski begitu, Aulia berujar, dirinya sudah terbiasa menangani TB dan HIV. “Malah lebih berbahaya TB karena dikultur dan itu (partikel) aerosol (menular lewat udara),” kata Aulia.
Kerja di laboratorium yang memiliki resiko tinggi membuat para analis harus menjaga kesehatan dan melakukan pencegahan penularan. Aulia melakukannya dengan mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang, menerapkan gaya hidup sehat higienis.
“Pulang ganti baju dan mandi, karena selain melindungi diri sendiri saya juga harus melindungi keluarga,” ucapnya.
Keluarganya sudah paham bahwa Aulia kerja di tempat resiko tinggi. Mereka sudah terbiasa menerapkan prosedur pencegahan penularan. “Keluarga sudah tahu (risiko pekerjaan), sebelum sampel COVID-19 juga saya mengerjakan TB dan HIV jadi mereka tahu safety precaution saya di kantor dan menerima (pekerjaannya),” ucapnya.
Hasil tes diagnostic dari laboratorium menentukan pasien Covid-19 tetap menjalani perawatan di rumah sakit atau sudah bisa pulang. Jika pasien sudah boleh pulang, artinya hasil tes laboratoriumnya menyatakan negatif.
“Tes diagnostic itu membantu manajemen pasien, apakah pasien itu bisa pulang atau dirawat lagi? Apakah orang ini harus masuk rumah sakit atau bisa isolasi di rumah?” ucap virolog yang juga Kepala Laboratorium Genetika dan Bioteknologi Molekular Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, Azzania Fibriani S.Si.,M.Si.,Ph.D.
Perempuan yang akrab disapa Nia tersebut juga bekerja di Labkesda Jabar. Ia bekerja bersama 17 orang yang merupakan tim gabungan dari Labkesda Jabar, ITB, RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung/FK Unpad. Siang dan malam tim gabungan ini berkutat dengan RNA, reagen PCR, tabung-tabung berisi sampel, dan juga komputer.
Sebagai ilustrasi dari pekerjaan mereka, sebuah sampel swab masuk ke lab tersebut. Sebut saja sampel tersebut milik pasien berinisial ‘D’. Status sampel ini hanya bisa dipastikan melalui metode Real Time Polymerase Chain Reaction (PCR). Sampel ini akan melalui berbagai tahapan, mulai ekstraksi, Real Time PCR, interpretasi, verifikasi dan validasi. Sampel ‘D’ kemudian dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Jabar dengan hasil positif atau negatif.
“Kami berupaya menghasilkan hasil yang valid supaya bisa digunakan rumah sakit atau Dinas Kesehatan untuk menangani pasien tersebut,” tambah Nia.
Rutinitas pemeriksaan sampel yang memerlukan kesabaran dan ketelitian menjadi ‘makanan’ sehari-hari para ahli biologi. Laboratorium bisa dibilang rumah kedua mereka. Nia tidak menampik pekerjaannya menguras fisik dan mental.
Ketika orang-orang melakukan work from home, Nia dan kawan-kawan harus kerja di laboratorium. Nia tentu punya keluarga yang terkena dampak physical distancing. “Apalagi sekarang anak kelas online, jadi kami (yang di lab) tidak bisa mengurus (anak yang belajar dari rumah),” tuturnya.
Nia dan kawan-kawan tidak mengetahui sampai kapan pekerjaan pengecekan sampel itu dilakukan. Di tengah gelombang pengiriman sampel yang harus diuji, mereka tidak tahu kapan puncak pandemi terjadi. “Jadi memang endurance (ketahanan) itu sangat diperlukan untuk kerja di lab, karena kami tidak tahu kerja sampai kapan,” ujarnya.
Di tengah ketidakpastian dari akhir pandemi, mereka paham bahwa pekerjaan mereka menjadi fondasi sekaligus kunci dalam percepatan penanggulangan penyakit COVID-19, penyakit yang hingga kini belum ditemukan vaksinnya.
Sebuah hasil pemeriksaan harus melewati kontrol yang ketat. “Kita tidak bisa mengeluarkan hasil negatif, jika internal control-nya tidak keluar,” kata Nia.
Mereka juga dituntut bekerja objektif tanpa melihat identitas sampel yang diperiksa. Bahkan Nia memilih lebih lebih baik tidak tahu identitas pemilik sampel dalam pekerjaan yang digelutinya. Dia harus menutup mata apakah sampel tersebut milik orang terkenal atau tidak. Semua harus dikerjakan dengan objektif demi menghasilkan kesimpulan valid. Tidak ada perlakuan khusus untuk setiap sampel.
Di lab tersebut, Nia dibantu delapan orang mahasiswa dan asisten penelitian dari ITB. Mereka bekerja secara sukarela. Sebelum menjadi relawan, mereka sebenarnya ditawari bekerja di rumah atau tetap menjadi relawan. Namun mereka memilih menjadi relawan yang terjun langsung ke lab. Selain itu, ada enam orang lain dari Tim Unpad di Gedung Eyckman. Mereka membantu mengerjakan Real Time PCR. |IH-BIRO Jabar