PT Timah Tbk (TINS) habis digebukin sejumlah lonjakan biaya sepanjang 2019. Alhasil, pemain timah olahan ini merugi bersih Rp 611 miliar tahun lalu, dibandingkan untung Rp 132 miliar pada 2018.
Danareksa mencatat, perseroan merugi bersih Rp 435 miliar kuartal IV tahun ini, naik dari kuartal sebelumnya Rp 381 miliar. Ini tak lepas dari jebloknya harga timah.
Kuartal IV tahun lalu, Danareksa menulis, harga timah di MLE turun 2,6% menjadi sekitar US$ 16.700 per ton. Ini diperparah oleh kenaikan beban bunga sebesar 33% menjadi Rp 257 miliar.
Perseroan mencetak kenaikan pendapatan sebesar 75,2% menjadi Rp 19,3 triliun, seiring kenaikan volume penjualan. Tetapi itu tadi, perseroan rugi besar, Rp 611 miliar.
Pemicunya, tulis Danareksa, turunnya harga timah sebesar 7,5% di LME, kemudian kenaikan biaya produksi, terutama dari pembelian bijih timah sebesar 88,4% dan biaya pihak ketiga naik hampir sembilan kali lipat. Ini lantaran perseroan menggunakan beberapa smelter swasta untuk mengekspor timah olahan, sesuai ketentuan di Indonesia.
“Adapun biaya operasional melonjak 29% dan beban bunga meroket 121,6%,” tulis Danareksa dalam laporan riset, belum lama ini.
Memasuki 2020, Danareksa menilai, Timah bakal lebih menderita, terutama di sisi pendapatan. Alasannya, harga timah olahan diprediksi ambruk lantaran pandemi Covid-19, yang menekan industri pengguna timah, seperti elektronik. Imbasnya, konsumsi timah dunia ditaksir turun.
“Harga timah diprediksi tetap rendah tahun ini, berkisar US$ 16-17 ribu per ton. Namun, tahun depan, harga diprediksi bangkit ke level US$ 18 ribu per ton,” tulis Danareksa.
Danareksa mempertahankan rekomendasi beli saham TINS dengan target harga Rp 700, karena berharap terjadi pemulihan harga timah tahun depan. Target harga itu merefleksikan PER 2020 59,9 kali dan PBV 0,8 kali.
Pendapatan dan laba bersih Timah tahun ini ditaksir Rp 13,9 triliun dan Rp 87 miliar. Ada laba bersih karena EBITDA diproyeksikan naik menjadi Rp 1,2 triliun. Kemarin, saham TINS ambles 4,6% menjadi Rp 456. (mm2)