JAKARTASATU.COM – Salah satu alasan Pertamina belum bisa menurunkan harga BBM nya sesuai kondisi pasar saat ini adalah karena diwajibkan membeli minyak mentah hak KKKS, selain itu Pertamina adalah bukan trading company seperti diucapkan Dirut Pertamina Nicke Widyawati bisa dianggap terlalu mengada ada.
Apalagi katanya harga minyak mentahnya milik KKKS telah dibeli Pertamina jauh lebih mahal daripada harga dari pemasok luar negeri, bahkan katanya harga belinya bisa mencapai ICP ( Indonesian Crude Price) Plus USD 7 hingga USD 13 untuk minyak Banyu Urip, Duri dan Minas adalah sebuah keanehan dan tidak masuk akal sehat.
Meskipun rumornya penetapan harga ICP oleh KESDM setiap bulan nya diduga sarat kepentingan banyak pihak, termasuk kepentingan operator KKKS, karena sangat berpengaruh terhadap bagi hasil dari setiap barel produksi minyak, sehingga salah menetapkan nilai ICP yang benar bisa berpotensi negara dirugikan.
Semenjak tidak ada koordinasi antara pengelola usaha hulu migas (KESDM dan SKKMIGAS) dengan Pertamina yang mengelola kilang dan penyediaan BBM telah terjadi hal yang menyedihkan dan “merugikan” negara dan rakyat Indonesia. Harga minyak atau ICP yang digunakan untuk menghitung kontrak bagi hasil atau PSC cenderung Under Value, sehingga malapetakanya minyak Indonesia yang digunakan untuk membayar investasi Kontraktor atau cost recovery volume atau jumlahnya akan semakin besar. Tentu saja minyak bagian atau entitlement Kontraktor menjadi sangat besar jumlah minyaknya berasal dari Cost Recovery ditambah minyak dari Bagi Hasil.
Celakanya lagi, minyak bagian KKKS (sekitar 40 – 50 % dari total produksi sumur minyak) apabila dibeli oleh Pertamina harganya TIDAK ICP atau tidak sama dengan harga minyak yang digunakan untuk kontrak hulu migas. Dikarenakan ICP cenderung “under value”, maka Pertamina membeli minyak bagian KKS dengan harga ICP plus premium atau ICP +++. Berdasarkan info dari beberapa sumber, diperoleh data bahwa Pertamina membeli minyak KKKS hingga ICP plus diatas 10 usd per barel yaitu Minyak Duri. Sangat berat bagi Pertamina apabila membeli crude dalam negeri untuk feedstock kilang, ini bukti bahwa ada masalah dalam pricing ICP, dan diketahui juga bahwa di kawasan regional asia tenggara mutu minyak mentah Indonesia setara atau bahkan lebih tinggi dibanding Malaysia, Brunei,Thailand, Vietnam namun nilai ICP jauh dibawah harga minyak di Negara Negara tersebut. Alhasil BBM atau produk kilang yang dihasilkan Kilang Pertamina dengan membeli crude domestic milik KKS telah menaiikkan ongkos produksi.
Padahal menurut Permen ESDM nomor 42 tahun 2018 sudah diatur bahwa kesepakatan harga beli minyak mentah oleh Pertamina terhadap KKKS itu berbasiskan bussines to business, dan tidak boleh memberatkan sepihak, artinya kalau harga minyak mentah import dari hitungan bisnisnya Pertamina jauh lebih murah daripada harga KKKS, maka tidak ada kewajiban bagi Pertamina untuk tetap membeli minyak dari KKKS.
Sehingga sangat keliru ketika ada pendapat kalau Pertamina tidak beli minyak KKKS, maka KKKS itu akan mati. Karena KKKS seperti Chevron, Exxon, Petrochina, Petronas, ENI, Total, Conoco yang produksinya mencakup hampir 60% produksi nasional di Indonesia adalah perusahaan minyak kelas dunia raksasa yang jauh lebih besar daripada Pertamina. Perihal pembelian minyak mentah ex KKKS ini yang penting sejak awal Pertamina harus informasikan, kalau Pertamina tidak berminat dengan pertimbangan yang logis, maka KKKS bisa lebih awal bisa menawarkan kepihak pembeli lainnya dan bisa mengurus rekomendasi ekspor, supaya tidak terjadi kekacauan inventory di terminal muat milik KKKS.
Malah seharusnya Pertamina sebagai BUMN strategis yang telah ditugaskan oleh negara untuk menjamin tersedianya BBM dengan kualitas baik, takaran yang benar dan harga jual sesuai keekonomiannya untuk bisa dibeli oleh rakyat, maka seharusnya Pertamina lebih peduli kalau rakyat yang akan mati akibat harga BBM dijual mahal daripada memikirkan KKKS akan mati, itulah bagian penting dari pesan konstitusi.
Harusnya Pertamina bisa lebih jujur sama rakyat bahwa sampai hari ini belum diturunkan harga BBM lebih disebabkan inefisiensi dalam tubuh Pertamina, banyaknya proses bisnis yang terlanjur tidak efisien dari hulu kehilir, termasuk struktur organisasi sudah terlalu gemuk dengan menempatkan 11 direksi sudah kami protes sejak awal ditetapkan KBUMN.
Kondisi saat ini tentu sangat berbeda dengan kondisi pernah terjadi pada awal tahun 2015 hingga juni 2016, ketika harga minyak dunia sempat menyentuh kelevel USD 30 perbarel hanya dalam beberapa bulan, akan tetapi tidak melampaui batas keekonomian rata rata biaya produksi sumur di hulu, dan konsumsi BBM nasional tidak ada penurunan, dengan langkah inovatif dari Direksi saat itu muncul produk Pertalite dan Dexlite telah membuat sektor hilir telah memberikan kontribusi laba besar terhadap Pertamina pada akhir tahun 2015 dan 2016.
Kalau ditelisik lebih mendalam, ternyata Pertamina terlanjur telah dibebani penyakit lama dari hulu sampai hilir, sehingga dia sangat ringkih koceknya ketika harga minyak dunia sudah menyetuh level sekitar USD 35 hingga USD 40 perbarrel, karena rata rata biaya pokok produksi sumurnya sekitar USD 30 perbarel. Artinya ketika harga minyak mentah menyetuh level USD 30 perbarel saja, maka bisa jadi hasil jual minyak mentah Pertamina bisa dianggap impas alias hanya cukup menutup cost recovery. Maka ketika ketika harga minyak menyentuh USD 20 perbarel Pertamina dalam posisi maju kena mundur kena, tentu malapetaka besar akan menimpa Pertamina apabila harga BBM ditetapkan sesuai ketentuan Kepmen ESDM nmr 62 K tahun 2020.
Pada saat harga minyak rendah Sektor hulu merupakan beban terberat bagi korporasi dalam kondisi seperti ini, hal tersebut diperparah oleh hasil produksi blok migas Pertamina diluar negeri terbukti sangat mengecewakan dan jauh dari target yang di iming imingkan saat pembelian lading minyak tsb. dengan jumlah uang yang telah digelontorkan oleh Pertamina selama ini, karena proses akuisisinya sarat dengan dugaan praktek mark up, contohnya kasus akusisi partipacing interest blok migas Aljazair, blok migas Murpy di Malaysia dan terakhir termasuk paling fatal adalah akusisi saham Maurel at Prom , Perancis yang asetnya ada ditiga negara Afrika sampai saat ini belum setetespun dinikmati Pertamina.
Semua biaya akuisisi itu diperoleh dari pinjaman dalam bentuk global bond, maka tentu sangat memberatkan keuangan Pertamina sampai saat ini, tak kurang total global bond itu sudah mencapai USD 10 miliar.
Juga adanya beberapa kontrak jangka panjang LNG selama 20 tahun yang dinilai kental dugaan hengki pengki telah ikut berkontribusi memberikan beban keuangan tersendiri bagi Pertamina.
Demikian juga sistem pengadaan Crude, BBm dan dan LPG di ISC ( Integrated Supply Chain) selama 5 tahun terkahir ini masih belum transparan juga , tak seindah seperti diucapkan Ahok di akun twitternya, karena HW sebagai SVP bukanlah pejabat yang tepat untuk menduduki posisi tersebut, hal itu berbasiskan dokumen temuan BPK RI 18 Mei 2018, bahwa BPK RI telah merekomendasikan Direksi Pertamina agar mengenakan sanksi sesuai kententuan kepada VP Crude & Product Trading and Comercial yang tidak cermat melakukan monitoring yang telah mengakibatkan negara dirugikan kira kira sebesar 34 juta USD diantaranya beberapa supplier telah gagal menyerahkan minyak sesuai kontrak, pembayaran kontrak kemahalan pada supplier yang merugikan Pertamina, anehnya malah yang bersangkutan telah dipromosikan oleh Direksi menjadi SVP ISC sampai saat ini. Menurut catatan kami HW selaku SVP ISC telah bertindak melanggar GCG, ketika menjelang masuk libur panjang lebaran 31 Mei 2019 pada tengah malam telah mengeluarkan undangan tak lazim dari sisi tata waktu untuk pengadaan kontrak paket LPG untuk kebutuhan jangka waktu 5 tahun, dan pada saat itu dari konfirmasi kami kepada yang bersangkutan dengan tembusan Dewan Direksi sudah menduga aktifitas tender itu hanya untuk memenangkan perusahaan Vtl Singapore dan Byg dari Turki, sesuai surat konfirmasi kami kepada SVP ISC pada 7 Juni 2019.
Kondisi ini semakin kelam, ketika Direksi Pertamina dalam pemaparan didepan Presiden dalam ratas khusus membahas ” Kebijakan harga BBM dalam situasi pandemi covid 19″ pada 28 April 2020 telah menampilkan data simulasi harga BBM secara keliru berdasarkan Kepmen ESDM nomor 62K/12/MEN / 2020, karena pada bagian kiri data simulasi telah menggunakan basis perhitungan menggunakan rata rata nilai tukar dollar Singapore ( SGD) pada sebelah kiri dan sebelah kanan menggunakan nilai tukar dollar Amerika, padahal tidak ada satu aturan yang dikeluarkan KESDM bahwa perhitungan dan penetapan harga BBM berbasis dollar Singapore.
Selain itu, ternyata untuk perhitungan harga BBM Umum yang akan diberlakukan 1 Mei 2020, Pertamina menetapkan semua parameter berbasiskan periode 60 hari sebelumnya, padahal menurut *Kepmen ESDM nomor 62 K tahun 2020 adalah rata rata MOPS/Argus Gasoline 92 dan nilai tukar rupiah terhadap USD adalah 1 bulan sebelumnya yaitu mulai 25 Maret hingga 24 April 2020, tentu akan berbeda hasilnya ketika salah menggunakan periode pengambilan datanya.
Meskipun demikian, ternyata simulasi tersebut memberikan hasil sebagai berikut;
harga BBM Gasoline 92 setara Pertamax Ron 92 adalah Rp 6.125,47/ltr
harga Pertalite Ron 90 adalah Rp 6.092,88/ltr
harga Pertamax Turbo Ron 98 adalah Rp 6.388,944/ltr*.
Faktanya sampai hari ini harga jual BBM Pertamina di SPBU adalah
Pertamax Ron 92, Rp 9.000/ltr,
Pertalite Ron 90 Rp. 7.7650/liter dan
Pertamax Turbo Ron 98 seharga Rp 9.850 perliter.
Berbasiskan data simulasi yang diduga keliru saja sudah memperlihatkan bahwa Badan Usaha Pertamina, Shell, Vivo, AKR dan Total telah menjual harga BBM dengan melanggar aturan perundang undang, ironisnya KESDM malah terkesan membiarkan nya.
Semua data data simulasi itu telah kami konfirmasikan dengan media whatsapps (mengikuti protokol kesehatan covid 19) kepada Dewan Direksi dan komisaris Pertamina, sebagian besar sudah dibaca oleh Dewan Direksi dan Dewan komisaris antara lain Ir Ego Syahrial dan Ir Budi Sadikin, tidak ada bantahan apapun, sehingga kami berkesimpulan bahwa benar data data dalam simulasi itu telah disajikan kepada Presiden.
Oleh karena itu, kami sementara berkesimpulan bahwa Dewan Direksi dan Dewan Komisaris diduga keras telah berbohong kepada Presiden.
Mengingat pada acara itu tentu dihadiri oleh Menteri ESDM sebagai regulator dan Meneg BUMN sebagai pembina korporasi, seharusnya sebagai pembantu Presiden harus menegor dan memberikan sanksi kepada Dewan Direksi dan Dewan Komisaris sebagai tanggung jawab renteng atas kesalahan itu.
Maka tak salah kalau saya mengutip kalimat yang pernah disuarakan oleh Eric Tohir bahwa BUMN itu bukan badan usaha milik nenek lo.
Jakarta 9 Mei 2020
Direktur Eksekutif CERI
Yusri Usman.