JAKARTASATU.COM– Bismillah.

Rp75 triliun dianggarkan untuk bidang kesehatan dari total 405 triliun untuk penanganan Covid-19. Bidang kesehatan dapat porsi lebih kecil dibanding sektor lain khususnya ekonomi. Tidak salah jika prioritas pemerintah dalam menangani Covid-19 dipertanyakan, kesehatan atau ekonomi?

Jika dirinci, dana kesehatan tersebut diarahkan untuk menyediakan APD, ventilator, upgrade RS rujukan, insentif dokter dan santunan kematian tenaga medis. Angka 75 triliun amat kecil untuk menghadapi kondisi yang sudah masuk skala pandemi. 

Saya memahami kondisi ekonomi jg perlu mendapat prioritas. Namun di tengah pandemi dan darurat kesehatan, keselamatan masyarakat harus jadi yang utama. Analoginya jika ada kebakaran, fokus untuk padamkan api yakni laju penyebaran Covid-19, bukan membersihkan puing-puing. 

Imbasnya dapat kita lihat APD sempat langka dimana-mana, padahal ini sangat krusial untuk tenaga medis kita. Kemudian tingkat tes Covid-19 juga mengkhawatirkan. Sampai tanggal 10 Mei, rasio test hanya 0.41 orang per 1000 penduduk. Jauh tertinggal dari negara Asia lainnya. 

Sebut saja Malaysia yang rasio tes hampir 8 orang per 1000 orang, lalu Thailand 1.39 per 1000 orang, dan India 1.17 orang per 1000 orang. Untuk mendapat gambaran medan yang akurat, kita harus tingkatkan kapasitas tes. Setidaknya 20 kali lipat untuk sejajar dengan Malaysia. 

Masalah kapasitas tes jaga dibayangi masalah akurasi. Metode rapid test yg dipilih pemerintah sejak awal memiliki tingkat akurasi yang rendah bahkan untuk orang yang punya gejala. Sementara pemerintah telah membeli 1 juta dan mengedarkan hampir 500 ribu rapid test ke daerah. 

Mubadzir jika melihat kondisi dana yang terbatas. 

Belakangan pemerintah pun mengakui rapid test ini tdk efektif. Seharusnya mulai perbanyak tes PCR yang jauh lebih akurat dan perkuat fasilitas pendukung lainnya. Perkuat Balitbangkes dan tingkatkan kapasitas tes secepat mungkin. 

Idealnya 20 kali ipat dari kapasitas hari ini agar kita memiliki data yang akurat. 

Hal lain, jangan ragu untuk investasi mengembangkan industri alat kesehatan dan bahan baku obat dalam negeri. BPKM sudah menyebut porsi impor kedua aspek tersebut mencapai 90 persen. Pemerintah seharusnya malu melihat fenomena ini karena telah terjadi selama bertahun-tahun. 

Terakhir, anggaran 75 triliun harus benar-benar dialokasikan untuk kesehatan. Karena kita dibayangi potensi jebolnya anggaran tersebut jika melihat penerapan PSBB yang tidak efektif dan bahkan ingin dilonggarkan. 

Mengingat Indonesia diperkirakan belum memasuki puncak kasus Covid-19, ada peluang pasien positif yang kian bertambah. #AwasiDanaCovid19

*Politisi PKS, Mardani Ali Sera