OLEH Marwan Batubara, KMPK
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR 12 Mei 2020. Perppu ditandatangani Presiden Jokowi menjadi UU No.2/2020 pada 16 Mei 2020.
Menurut pemerintah UU No.2/2020 bertujuan merelaksasi sejumlah peraturan guna menghadapi Covid-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan UU No.2/2020 menjadi landasan hukum agar pemerintah dan otoritas terkait dapat mengambil langkah–langkah luar biasa secara cepat dan akuntabel guna menangani pandemi korona. Ditambahkan, upaya tersebut diperlukan mengingat pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah kemanusiaan yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional (14/4/2020).
Saat menyerahkan Perppu No.1/2020 kepada Pimpinan DPR 2 April 2020 Menkeu Sri Mulyani mengatakan: “Pemerintah dalam hal ini KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) bekerja sama dengan Kejaksaan, Kepolisian, dan bahkan KPK agar potensi moral hazard bisa dihindari. Dikatakan pula, moral hazard dapat dicegah karena kebijakan keuangan dan pelaksanaannya tetap memperhatikan tata kelola yang baik sesuai Pasal 12 (1) UU No.2/2020.
Moral hazard berujung korupsi diyakini tidak dapat dihindari dan dihilangkan hanya melalui kerja sama antar lembaga dan tata kelola yang baik, terutama karena menyangkut masalah subjek pelaku, sistem peraturan perundangan dan penegakan hukum. Di samping subjek pejabat pelaksana harus professional, amanah dan bertanggungjawab, sistem peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan juga yang perlu dipersiapkan, harus dijalankan secara menyeluruh dan konsisten.
Jika dicermati, moral hazard dalam pelaksanaan UU No.2/2020 justru potensial terjadi karena UU tersebut berisi banyak ketentuan yang melanggar konstitusi dan melanggar ketentuan dalam sejumlah UU yang berlaku saat ini. Hal yang paling mendasar adalah pelanggaran terhadap konstitusi terkait eliminasi hak DPR dalam penetapan defisit dan APBN (Pasal 2 dan Pasal 12), status kebal hukum bagi para pejabat pemerintah pelaksana kebijakan (Pasal 27), dan eliminasi fungsi pengawasan oleh DPR dan BPK (Pasal 27).
Moral hazard pun dapat terjadi dalam program pemulihan ekonomi melalui pembiayaan investasi pemerintah berupa modal negara (PMN), penempatan dana investasi dan penjaminan, jika tidak diatur rinci (Pasal 11). Dalam hal ini antara lain diperlukan kejelasan objek, sektor, parameter, mekanisme, lembaga pelaksana, penjaminan dan sasaran strategisnya. Model pemulihan yang tidak jelas dan terbuka seperti ini membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan justru potensial dinikmati sejumlah pihak bagian dari oligarki.
Peluang moral hazard juga terbuka karena UU No.2/2020 memuat ketentuan (Pasal 22) di mana guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat membuat program penjaminan di luar program penjaminan simpanan seperti diatur UU LPS. Karena kriteria tak jelas, yang akan dibantu LPS secara full garanteee justru bisa saja bank dan para pengusaha yang kesulitan likuiditas bukan karena pandemi korona. Hal ini akan membuka peluang moral hazard yang kelak akan menjadi beban keuangan negara.
Moral hazard pun potensial terjadi karena dihapusnya berbagai ketentuan dalam 12 UU yang berlaku saat ini (Pasal 28). Dengan begitu, banyak peraturan perundangan yang disusun puluhan tahun oleh sejumlah pemerintahan dan DPR sebelumnya, termasuk yang menjadi amanat reformasi, dinyatakan tidak berlaku! Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter. Kondisi ini menjadikan kewenangan Presiden sangat besar dan berpotensi menimbulkan abuse of power.
Ringkasnya, langkah-langkah sistemik bernuansa moral hazard pro-oligarki yang diatur dalam UU No.2/2020 adalah sebagai berikut. Pertama, nyatakan kondisi kegentingan memaksa, meskipun secara faktual kondisi tidak genting, karena bahaya krisis ekonomi umumnya terjadi secara gradual. Kedua, eliminasi fungsi budget DPR yang dijamin konstitusi. Ketiga, raih dan tetapkan status kebal hukum bagi para pelaksana kebijakan dan program. Keempat, batalkan seluruh ketentuan dalam 12 UU yang menghalangi pelaksanaan kebijakan dan program. Kelima, kendalikan dan paksa BI untuk bekerja dan menjadi bagian dari pemerintah. Keenam, batalkan prinsip transparansi berkeadilan berdasar skema bail-in dalam mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, demi melindungi kepentingan para oligarki.
Dengan berbagai ketentuan inkonstitusional dan menyimpang seperti diuraikan di atas, maka bukannya terhindar atau bebas moral hazard, UU No.2/2020 justru membuka peluang terjadinya moral hazard dalam pelaksanaan berbagai kebijakan dan program yang berpangkal pada UU tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan pemerintah telah mengawali penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap permasalahan sosial, keuangan dan perekonomian nasional dengan membuat peraturan yang justru sarat moral hazard!
Padahal, belajar dari krisis keuangan 1997-1998 dan krisis ekonomi 2008, Pemerintah dan DPR telah melakukan perbaikan dan membangun sistem keuangan yang siap menghadapi krisis sistem keuangan. Upaya perbaikan meliputi penataan kelembagaan, pembentukan dan amendemen UU No.23/1999 tentang BI, pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai UU No.24/2004 dan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai UU No.21/2011. Dibentuk pula UU No.9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). UU ini dipersiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan payung hukum untuk mengatur upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
Jika dicermati, UU BI dibentuk dan dirubah agar BI dapat menjadi lembaga otonom, independen, dan bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-pihak lain, sehingga pengendalian moneter dapat dilakukan efektif dan efisien. Begitu juga dengan UU-UU tentang LPS, OJK dan PPKSK yang dibentuk dalam upaya mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kuat mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, termasuk mencegah moral hazard.
UU PPKSK No.9/2016 secara spesifik mengatur prinsip-prinsip dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang tidak diatur sebelumnya. UU PPKSK mengatur skema bail-in dalam penanganan bank sistemik dengan mengoptimalkan kemampuan bank baik melalui penambahan modal maupun pengubahan utang atau investasi menjadi penyertaan. Saling keterkaitan sektor jasa keuangan menuntut kebijakan makroprudensial yang bersifat melengkapi kebijakan mikroprudensial dan pengawasan sektor keuangan terintegrasi.
Ternyata, meskipun berbagai perangkat dan peraturan mengantisipasi dan menangani krisis ekonomi dan keuangan telah tersedia, pemerintahan Jokowi tidak menggubris dan justru dengan sengaja mengeliminasinya! Secara khusus, pemerintah sengaja mengeliminasi peran UU PPKSK dalam Pasal 28 (poin 11) UU No.2/2020. Padahal, berbagai perangkat tersebut disusun setelah belajar dari dampak negatif penanganan krisis eknomi dan keuangan masa lalu. Saat itu penanganan krisis sangat merugikan keuangan negara, dan penyebab utamanya adalah prilaku moral hazard penyelenggara negara dan para pengusaha.
Prilaku pemerintah seperti di atas jelas menunjukkan sikap yang lebih berpihak kepada pengusaha yang menjadi bagian oligarki kekuasaan. Karena itu, tak heran jika UU No.2/2020 lebih banyak memuat ketentuan menangani kepentingan pengusaha dan penyelamatan sistem keuangan dan perbankan. Segelintir pengusaha memperoleh bagian yang besar, termasuk insentif fiskal dan pemotongan pajak, sedang ratusan juta rakyat justru tidak mendapat bagian dan penanganan memadai serta berkeadilan dalam hal keselamatan dan jaring pengaman sosial.
Salah satu implementasi UU No.2/2020 pro-oligarki kekuasaan adalah terbitnya Perpres No.54/2020 dan Perpres No.72/2020. Kedua Perpres ini berfungsi sebagai APBN-P yang berubah hanya dalam waktu 2 bulan dan telah ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi DPR sebagai pemegang hak konstitusional budgeting dan sebagai wakil rakyat untuk memperoleh keadilan dalam pemanfaatan uang negara di APBN.
Mengingat peran DPR dihilangkan dan pembentukan dan pelaksanaan UU No.2/2020 berada di tangan segelintir orang dalam oligarki kekukasaan yang cenderung pro-pengusaha dan pro-kapitalis, maka ke depan ekonomi dan kehidupan ratusan juta rakyat berada dalam kondisi ketidakadilan dan jauh dari rasa kebersamaan. Indonesia akan berada dalam cengkeraman segelinitr orang dalam oligarki kekuasaan dan para pemilik modal. Pada gilrannya, hal ini akan mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.
Kita telah melihat dan merasakan prilaku moral hazard telah mewaranai dan sangat menentukan kehidupan rakyat di masa lalu dengan perekonomian dan beban utang yang sangat besar. Megaskandal BLBI telah meninggalkan utang negara Rp 640,9 triliun dan akan menjadi beban APBN dan beban rakyat hingga tahun 2033, itu pun jika pokok utang dilunasi. Megaskandal ini tidak dapat dituntaskan meskipun telah ditangani oleh 4 periode pemerintahan, terutama karena kuatnya pengaruh oligarki pengidap moral hazard.
Ternyata saat ini peran oligarki penguasa-pengusaha tetap ada, dan bahkan semakin exist dibanding masa lalu. Atas nama Covid-19, APBN ditetapkan dengan jumlah belanja yang semakin besar karena kebutuhan mengamankan kepentingan para pengusaha. Belanja APBN yang besar ditutup dengan utang yang semakin besar dan tanpa kendali. Dalam hal ini, peran pengusaha dalam oligarki kekuasaan bernuansa moral hazard terasa cukup dominan.
Ke depan pola kekuasaan bernauansa moral hazard ini akan berdampak pada kehidupan rakyat yang semakin jauh dari rasa keadilan dan kebersamaan yang diamanatkan Pancasila. Namun ironi dan nestapa tersebut dapat dicegah jika Mahakamah Konstitusi bisa bekerja bebas “intervensi” memutus gugatan judicial review sejumlah elemen publik terhadap UU No.2/2020, fungsi budget DPR dipulihkan, peran BI dan LPS dijalankan sesuai UU, dan krisis diatasi secara berkeadilan sesuai perintah UU PPKSK, serta pengaruh moral hazard dan dominasi pengusaha/konglomerat dalam oligarki kekuasaan dihilangkan.
Dalam kondisi bencana dan krisis, sanksi hukum bagi koruptor adalah pidana mati seperti diatur dalam Pasal 2 UU Tipikor No.20/2001. Namun hukuman tersebut hanya dapat diterapkan jika tersedia landasan hukum yang komprehensif, adil, bebas moral hazard dan bebas status kebal hukum yang diskriminatif. Bagaimana sanksi hukum bisa dijalankan jika semua prasyarat tersebut telah dieliminasi seperti direkayasa dalam UU No.2/2020? Dengan demikian, agenda penguasaan APBN secara tidak adil akan berlangsung mulus. Apakah itu artinya UU No.2/2020 memang sengaja dibentuk sarat prilaku moral hazard agar tersedia cara sistemik bernuansa moral hazard untuk mengamankan bisnis oligarki? Wallahu a’lam. []
Jakarta, 15 Juli 2020.