Oleh: Taufan S. Chandranegara
Adakalanya pertimbangan keadilan, norma-norma hukum bagai cuaca merubah awan-awan di musim kemarau menuju musim penghujan atau sebaliknya. Barangkali, hakikat wajib mencapai makrifat, mufakat, total, bahwa langit di negeri ini milik kami, bukan langit di negeri alien itu.
Natural. Bagus dan indah. Baik dan benar. Kadang bagai cermin air bergerak alamiah menjadi blur dan fokus, berulang kali bersama kewajaran harmoni iklim di usia musim. Gerakan cuaca tanpa terasa memindahkan waktu siang menjadi sore lalu berlalu menuju malam, gelap-gulita bersama bintang kecil gemerlap penerang nurani.
Nurani. Ada di antara cuaca gelap dan terang, kadang setitik cercah cahaya bermanfaat filsafat tertulis di teks buku-buku norma hukum-hukum. Berguna bagi semua iklim di musim-musim.
Ada harapan di cahaya. Di berbagai sudut pandang dan sikap kehidupan. Berlaku bagi personal maupun kelompok bening untuk kebijaksanaan negeri tercinta. Tapi tidak untuk gerombolan rayap pemangsa segala kisah tentang sejarah, liurnya mencoba menyulap menjadi daur ulang sejarah, seakan-akan mampu merubah kebenaran sejarah menjadi wajah baru hipokrisi strategis.
Alam telah menetapkan norma hukum hujan dan petir, kemarau dan air, asal tanah menjadi benih dan tanaman. Bukan fosil batu akik, lantas mencoba membiaskan seakan-akan indah, namun tak sampai menjadi cermin keteladanan. Sekadar amsal arogan, ambiguitas strategis tak boleh memberi hujan api merah padam.
Realitas sejarah, Kiai Modjo (1792-1849) dan Sentot Prawirodirdjo (1807-1855), dua Panglima Perang Diponegoro. Perlawanan gigih pada hegemoni kolonial, satu sikap mengambil kembali hak keadilan milik kemanusiaan leluhur bangsanya.
Pangeran Diponegoro, marah kepada kolonial Belanda, hak leluhurnya di alihkan tanpa keadilan yang beradab di atas kebenaran. Maka berkobar lah! The Java War (De Java Oorlog). Perang Diponegoro 1825-1830, demi hak-hak keadilan. Perang membakar hutan belantara kolonialisme-imperialisme. Perang demi kesetiaan pada tanah leluhur, kini menjadi negeri nan elok. Terima kasih pahlawan.
Meski barangkali masih ada momok wajah baru neo-kolonialisme, neo-imperialisme atau mungkin di antara keduanya ‘komunisme’, masih mengintip kesempatan di planet bumi ini, lewat tekno-sains, bahkan mungkin menyenelinap dalam sistem dagang oligarki kapital-berkedok, sembunyi di laci-laci modern demokrasi dunia.
Itu sebabnya pula norma hukum wajib selalu menolak politisasi badai mengayun lautan agar keadilan menjadi kesejahteraan keimanan, tidak sekadar menjadi buih gelombang menyalak melukai negeri tercinta ini, oleh karena itu, mewaspadai komunisme wajib terus dikobarkan. Anak-anak bangsa wajib tetap setia menjaga negeri tercinta.
Kewajiban menjaga Sang Dwiwarna, tetap utuh dalam ‘Iman Kesatuan Nasionalisme Pancasila’, adiluhung negeri berdaulat kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan kepada dogma materialisme-pupuk penyubur gerakan korupsi-wajib pula dibasmi. Kewajiban menjaga-Keutuhan Bangsa dan Pancasila. Salam Indonesia Bersatu.
Jakarta Indonesia, 2020.