Oleh: Taufan S. Chandranegara

Cinta saja tidak cukup bagimu. Ketika kasih sayang itu pergi menuju surgawi. Ada rentan pada jiwa kini, mungkin, tengah terpuruk pada sudut sunyi.

Stigma, langsung melekat pada detik dini waktu ini. Siapa merebut cinta ketika musim bunga tak lagi hadir di hari-hari berlari. Ketika puisi tak lagi menulis apapun tentang cantiknya senandung pernah membuai semua mimpi melekat pada waktu, curtain call masih mengenang berjuta tepuk tangan mengangkasa riuh menggema bak berdendang.

Siapa kejahatan. Ketika kau ingin menjadi bunga tercantik di antara kesucian dua Mawar Putih di kebun milikmu?

Apakah kesadaran jiwa membawamu ke ruang pekat itu? Apakah sebuah kisah telah dititipkan malaikat semesta, pada waktu, untuk memberi kabar padamu, tentang kehati-hatian, mengisyaratkan tanda-tanda hidupmu akan terperangkap kekejian dalam samar pewarna kristal?

Ketika ruh di badan tak menjadi jiwa irama-irama simfoni, mazmur tentang cinta membawamu kembali kepada entah, kau tetap dinanti dua Mawar Putih, telah, kau lahirkan. Cepatlah pulang…

Kesedihan menjaga dua Mawar Putih menjadi kekuatan, setelah menyadari peristiwa kini akan tertulis di manapun. Ketika kepergian itu membuatmu bersama dua Mawar Putih seakan-akan mimpi tak kau kehendaki, mungkin, telah kembali terulang. Menangiskah irama-irama tertulis di manuskrip notasi-notasi, ketika tahu kau kini kembali terperosok di lembah sunyi, kau, buat sendiri, kekasih…

Penyesalan… Kata klise-isme itu hadir, selalu setelah peristiwa. Adakah penyesalan itu kini? Pada sunyimu sesungguhnya, dua Mawar Putih, kemudian kehilangan pangkuanmu, meski untuk sementara waktu. Tak pernah cukup bagimu untuk memeluk dua Mawar Putih, dulu, sekalipun kini, mungkin.

Sesalkah ada pada makna hari-hari milikmu. Meski hanya bersit tersirat, kini stigma menyayat tajam, dalam bilah luka lama kembali tersayat. Tetes air mata tak lagi ada, mungkin. Namun doa dua Mawar Putih, senantiasa ada, selalu, untukmu…

Waktu tetap tak mau menyetip dirimu, meski sedikit demi sedikit, di antara panorama, menjadi imajiner di pelupuk syahdu, satu tak bisa lepas, meski akhirnya kau tak bisa lepas dari jeratan itu… Kini, dulu, hingga entah… Urine-mu pilihanmu, semoga kau segera pulih, dua Mawar Putih tercantikmu senantiasa menuggu kepulanganmu. Bunda, berharap kau masih mau melantunkan puisi kisah-kisah melodi dalam deret notasi lagu rindu…

Dua Mawar Putih, ingin kau pangku seperti dulu lagi, Bunda… Meski, kisah telah menjadi realitas. Pengampunan menunggu waktu putusan peradilan. Cepatlah pulang, bunda…

Indonesia, sebuah harapan, tetap teguh, membasmi mafia bandar narkoba, semoga, Indonesia tetap teguh pula, merehabilitasi, memberi penyembuhan korban-korban narkoba, di lini generasi, sebagaimana seharusnya, mungkin, tanpa pandang bulu. Salam Indonesia Keren-Negeri, para sahabat.

Jakarta Indonesia, September 15, 2020.