repro KompasTV

Oleh: Radhar Tribaskoro

Sungguh aneh. Dalam peristiwa yang sangat penting, yaitu pengesahan persetujuan suatu rancangan undang-undang, anggota Baleg DPR dan anggota Panitia Kerjanya sendiri tidak tahu dan tidak memiliki final draft RUU terkait.

Alhasil, pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR ibarat membeli kucing dalam karung. Apakah kucing itu berwarna hitam, putih atau abu-abu, tidak ada yang tahu.

Tetapi dengan berbekal pengetahuan selama ini publik memiliki dugaan keras bahwa niat penguasa dalam pembuatan undang2 sudah tidak lagi tulus. Sejak pengesahan UU KPK, Minerba dan Corona, publik mengetahui bahwa ada kepentingan2 khusus yang menyelinap di dalam proses legislasi.

Tidak terkecuali dalam proses pengesahan UU Cipta Kerja. Publik mencium aroma kuat persekongkolan antara pengusaha (oligarki) dengan penguasa dengan merugikan kepentingan pekerja dan rakyat biasa. Dalam masa sebelum 6 Oktober 2020 wacana ttg UUCK diisi oleh kecurigaan atas kecenderungan pemerintah mendahulukan kepentingan pengusaha ketimbang pekerja, diabaikannya perijinan lingkungan hidup, komersialisasi pendidikan, perampasan hak tanah dst.

Pemerintah tidak berusaha menurunkan kecurigaan itu. Sebaliknya pemerintah malah semakin tertutup. Aparat misalnya menangkap aktivis LBH yang kebetulan memperoleh salinan RUU. Mengapa harus menghukum orang hanya karena memiliki sebuah salinan RUU?

Masyarakat berspekulasi hal itu hanya bisa terjadi bila isi RUU itu busuk semua, sehingga publik tidak boleh tahu.

Di bawah ini saya mencoba menguraikan proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang miskin keterbukaan. Proses yg buruk itu berakibat panjang yaitu meledaknya konflik antara penguasa vs rakyat dalam beberaoa hari terakhir.

Konflik itu saya kira sudah menyentuh basis kepercayaan rakyat terhadap penguasanya, seperti disimbolkan oleh dilayangkannya pernyataan mahasiswa Mosi Tidak Percaya kepada DPR. Bagaimana cara pemerintah membenahi konflik? Masih ampuhkah pendekatan represif ala Orde Baru?

Berdasarkan informasi yang disampaikan sejumlah teman anggota DPRRI proses pembahasan RUU Cipta Kerja dapat digambarkan sbb:

1. Pembahasan dilakukan di hotel yg berpindah2 Dokumen disediakan dalam rapat, tetapi segera diambil lagi ketika rapat berakhir. Anggota Panja tidak memiliki salinan untuk dipelajari di rumah.

2. Rapat melakukan pembahasan tetapi tidak mengambil putusan. Ketua rapat hanya mencatat pendapat2 yg muncul.

3. Putusan diambil oleh orang yg tidak jelas bahkan anggota panja dan baleg tidak mengetahui.

4. Rapat paripurna RUU Cipta Kerja diselenggarakan secara dadakan bahkan anggota Baleg hanya tahu beberapa jam sebelumnya.

5. Dalam rapat paripurna RUU bisa langsung disahkan, tanpa mendengarkan pendapat fraksi2 secara tuntas.

6. Persetujuan partai2 diberikan melalui pimpinan fraksi. Persetujuan itu diputuskan oleh pimpinan partai dan fraksi saja. Anggota dewan tidak dilibatkan.

7. Proses tersebut membuka pintu bagi politik uang. Para sponsor UU bisa membeli persetujuan pimpinan partai/fraksi bila tarif sesuai.

8. Akibatnya anggota panja dan baleg tidak tahu persis apa aspirasi yg diterima dan ditolak.

9. Sampai H+4 setelah rapat paripurna, dokumen UUCK masih raib.

10. Di tengah ketiadaan dokumen itu muncul pernyataan bahwa Aksi rakyat didasarkan kepada berita hoax, pandangan masyarakat diracuni oleh pakar yang belum baca UU secara lengkap, dlsb. Pernyataan di atas diantaranya disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD.

11. Beberapa berita yang disanggah pemerintah diantaranya adalah Upah Minimum Kabupaten masih ada, cuti hamil masih ada, AMDAL masih ada.

12. Sanggahan2 di atas justru memberi penjelasan mengapa dokumen UUCK itu harus hilang dari mata publik, yaitu agar bisa diubah-ubah sesuai dengan respon masyarakat dan sponsor.

13. Bila reaksi masyarakat tidak pmaka kepentingan sponsor (oligarki) akan didulukan. Sebaliknya bila reaksi masyarakat sangat keras maka untuk meredam beberapa substansi disesuaikan.

14. Sesuai konperensi pers Mahfud MD tadi malam, penguasa sekarang ada dalam modus “menyesuaikan dengan kepentingan rakyat”. Beberapa substansi, seperti dikutip di atas, telah berubah.

Lantas, apakah dengan demikian penguasa bisa meredam kemarahan rakyat? Saya tidak yakin. Sebab cara2 misterius dan tertutup yang dijalankan oleh penguasa telah menghancurkan kepercayaan rakyat.

Permasalahannya bukan lagi terletak pada substansi UUCK itu sendiri, tetapi pada substansi kepercaan rakyat kepada pemerintah. Mahasiswa misalnya, tidak bicara perihal UU. Mereka sekarang bicara tentang “Mosi Tidak Percaya”.

Penguasa sekarang harus menimbang di antara dua pilihan: menindas aksi dengan kekerasan atau membubarkan DPR.***