OLEH Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Entah sudah berapa mayat yang dikubur akibat demo. Pelajar, mahasiswa, anak remaja, ada juga yang usia dewasa. Di era Jokowi, jumlah orang mati akibat demo termasuk paling banyak diantara presiden di era reformasi.
Setiap kematian menyisakan duka mendalam. Duka bagi keluarganya, duka bagi koleganya, dan duka bagi bangsa ini. Ini urusan nyawa, tak boleh dianggap murah di negeri yang berasas pancasila ini.
Terakhir, ada enam pemuda mati. Kali ini bukan karena demo, tapi mengawal dan menjadi pengaman pimpinannya. Dor! Enam-enamnya mati. Peluru tepat ke arah jantung. Tempat yang mematikan ketika seseorang ditembak. Bukan satu tembakan, tapi beberapa kali tembakan. Satu tembakan ke arah jantung itu mematikan, apalagi beberapa tembakan.
Mereka melawan petugas? Kalau benar, kenapa tidak ditembak kakinya, tapi kenapa di dada kirinya? Kalau benar, kenapa beberapa kali tembakan, bukan satu tembakan? Kalau benar, kenapa penembakannya seragam, di dada sebelah kiri? Kalau benar, kenapa penembakan dari jarak dekat? Kalau benar, kenapa harus enam-enamnya mati? Kalau benar, kenapa di tubuh janazah ada lebam-lebam? Publik berhak mendapatkan penjelasan secara rinci dan sistematis sehingga tidak terus muncul pertanyaan. Ini penting!
Mereka menyerang mobil petugas? Baik kalau sekiranya mobil itu ditunjukkan ke publik. Rusak karena benda tajam atau peluru? Bagaimana dengan mobil yang ditumpangi enam orang yang mati itu? Dimana keberadaan mobil itu? Mesti semua perlu dibuka. Sejak hari itu juga, media mestinya dibolehkan dan diberi akses untuk memotret mobil-mobil itu. Termasuk darah enam pemuda yang berceceran. Dimana netesnya darah itu.
Rekaman CCTV di tol yang dimiliki PT. Jasa Marga menjadi bukti penting. Ada yang bilang rusak. Dirut PT. Jasa Marga, Subakti Syukur bilang, 277 CCTV yang terpasang di jalur tol Jakarta-Cikampek tidak rusak. Hanya saja, tidak bisa mengirimkan data. Keterangan ini muncul setelah sekitar sepekan Sang Dirut diam saat ditanya wartawan. Tanya ke polisi saja, kata Sang Dirut saat itu, seperti ada yang disembunyikan.
Benarkah 277 CCTV di jalur Jakarta-Cikampek seluruhnya tidak bisa mengirim gambar sebagaimana keterangan dan kesaksian Dirut PT. Jasa Marga di depan Komnas HAM? Jika suatu saat ternyata diperoleh fakta bahwa CCTV tersebut bisa mengirimkan rekamannya, maka Dirut PT. Jasa Marga juga harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas kesaksiannya itu. Tidak bisa lepas begitu saja.
Semua potret, bukti dan dokumentasi ini penting agar tak ada ruang untuk curiga dan tercipta stigma seperti kejanggalan dan sejenisnya.
Negeri ini menjadi semakin gaduh, dan pada akhirnya massa menggeruduk Polsek, Polres dan bahkan istana, karena mereka menganggap ada banyak kejanggalan di kasus KM 50. Curiga adanya keadilan yang sulit diungkap, massa bahkan hari ini datang ke istana dan menuntut presiden menuntaskan kasus KM 50 ini secara adil. Satu-satunya cara adalah menyerahkan kasus ini pada Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Independen.
Untuk mengamankan gelombang demonstrasi hari ini, jumat 18 Desember 2020 di depan istana presiden, pihak kepolisian kabarnya telah menyiapkan ribuan pasukan brimob.
Jika massa yang hadir dalam jumlah jutaan, ini akan membuat cemas. Sekali provokator bermain, brimob akan dihadap-hadapkan dengan massa, lalu dor dor dor, ada yang mati, berabe! Ini yang harus dicegah. Gak boleh terjadi lagi.
Brimob itu pasukan lapangan. Bawahan yang para anggotanya adalah anak-anak muda. Mereka akan sangat bergantung pada instruksi atasan. Persuasif atau bertindak keras, semua atas instruksi atasan.
Massa saat ini sedang terluka akibat kematian enam anak muda yang kebetulan adalah anggota FPI. Juga kematian sejumlah orang di demo-demo sebelumnya. Jangan ada lagi luka dan duka yang bisa memancing emosi mereka. Ini bisa tak terkontrol. Disini, brimob yang dilengkapi dengan senjata harus menahan diri untuk menjaga situasi tetap kondusif. Bersikap persuasif dan jauh dari tindakan provokatif akan menjadi upaya preventif yang efektif.
Tak boleh ada yang melanggar aturan. Terutama aparat keamanan, meski itu atas perintah atasan. Dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, tentang Kode Etik Profesi Polri pasal 7 ayat 3 poin c dijelaskan bahwa bawahan wajib menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama dan norma kesusilaan. Jelas, bahwa bawahan tidak boleh melaksanakan instruksi atasan jika itu melanggar aturan. Jadi, atasan bukan Tuhan yang semua instruksinya benar. Benar ikuti, jika salah, bawahan wajib menolaknya. Bawahan tak boleh jadi korban oknum atasan yang bermain-main dengan jabatan.
Kematian demonstran sudah terlalu banyak. Cukup! Jangan ada lagi pembunuhan terhadap rakyat. Jangan ada lagi nyawa yang melayang sia-sia. Enam orang yang tertembak sudah cukup membuat nyeri bengsa ini, dan merusak nama baik Indonesia di mata dunia internasional. Gak boleh ada lagi! Jangan jadikan hari ini sebagai jumat keramat dengan sama-sama menahan diri agar tak ada lagi nyawa melayang sia-sia. Ini berbahaya bagi stabilitas sosial-politik, keamanan dan masa depan negara bernama Indonesia.
Jakarta, 18 Desember 2020