OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Muktamar PPP sudah selesai digelar. Suharso Monoarfa terpilih menjadi ketua umum, menggantikan Romahurmuziy. Semula dalam muktamar PPP IX tanggal 19 Desember 2020 di Makassar Sulawesi Selatan tersebut Suharso Monoarfa akan ditantang oleh Taj Yasin, putra Kiai Maemoen Zubair yang sekarang menjadi wakil gubernur Jawa Tengah. Gus Yasin, panggilan akrab Taj Yasin, gagal maju dalam pencalonan karena dalam tatib mewajibkan syarat pernah menjadi pengurus pusat selama satu periode. Gus Yasin pernah jadi pengurus pusat, namun tidak sampai satu periode, karena diberi tugas khusus untuk menyelesaikan konflik internal PPP di Jepara. Disamping harus mengurus masyarakat Jawa Tengah mendampingi Ganjar Prabowo.

Meski mendapat banyak dorongan dari para ulama dan dukungan dari pengurus cabang PPP, Gus Yasin tidak dapat mencalonkan diri. Terganjal oleh tatib yang memang seperti disengaja dibuat untuk menutup ruang bagi Gus Yasin nyalon ketua umum.

Akhirnya, Suharso Monoarfa jadi calon tunggal. Di tangan Suharso, kini PPP sedang berbenah diri setelah terpuruk perolehan suaranya di pemilu 2019 kemarin. PPP hanya mendapatkan suara 4,52% dengan junlah kursi di DPR 19. Ini terburuk dan nyaris tereliminasi. Ditangkapnya ketua umum PPP yang lama yaitu Romahurmuzy oleh KPK berakibat PPP dihukum rakyat. Disamping faktor perseteruannya dengan sekelompok Umat Islam yang protes terhadap penistaan agama oleh Ahok pada saat itu. Dua faktor di atas telah membuat PPP terkapar di pemilu 2019.

Tak mudah bagi PPP saat ini untuk recovery. Harapan warga PPP terhadap Gus Yasin untuk menjadi ketua umum kemarin masuk akal. Karena tokoh muda ini, selain punya basis NU yang kuat di Jawa, juga bisa menjadi icon pemimpin bersih. Ini akan dapat menghapus kesan koruptif PPP yang distigmakan publik setelah ketua umum yang lama ditangkap KPK.

Menahkodai PPP saat ini bukan perkara mudah. Ini tugas yang butuh kecerdasan, kepiawaian dan kematangan strategi di tengah PPP yang semakin kehilangan legitimasi dari para pemilihnya. Basis massa PPP adalah umat Islam, terutama masyarakat Nahdhiyin. Maka, langkah yang harus dilakukan oleh Suharso Monoarfa adalah melakukan konsolidasi dengan semua tokoh yang memiliki basis massa umat. Termasuk keluarga almarhum Kiai Maemoen Zubair yang selama ini menjadi icon PPP di kalangan warga Nahdhiyin. Harus dirangkul.

Semua putra almarhum Kiai Maemoen Zubair, juga hampir semua santri dan para alumni santri Sarang berafilisai politiknya ke PPP. Adalah Muhammad (Gus) Wafi dan Gus Yasin yang selama ini merawat komunitas para alumni tersebut. Kabarnya, Kiai Maemoen sudah mewakafkan kedua putranya ini untuk “nguri-nguri” PPP.

Belakangan ada Gus Rojih, cucu Kiai Maemoen Zubair yang sekarang menjadi anggota DPR dari PPP. Namun, Gus Rojih masih dianggap sebagai pendatang baru. Soal popularitas dan pengaruh masih jauh dari kedua pamannya yaitu Gus Wafi dan Gus Yasin. Kedua tokoh yang disebut belakangan lebih senior dan lebih lama berkiprah di PPP. Wajar jika Gus Wafi dan Gus Yasin lebih besar pengaruhnya.

Publik mengetahui, kedua tokoh inilah yang dianggap mewarisi icon politik Kiai Maemoen Zubair, setelah Sang Kiai kharismatik itu wafat. Ini bisa dilihat saat pilgub Jawa Tengah tahun 2018 yang lalu. Hadirnya Gus Yasin mendampingi Ganjar Prabowo memberi suara yang cukup menentukan dalam menentukan kemenangan. Artinya, pengaruh Gus Yasin cukup besar. Ini tak bisa dipungkjiri.

Jika PPP tidak mengakomodir kedua putra Kiai dari Sarang Rembang ini, maka besar kemungkinan akan berdampak serius pada dukungan alumni santri Sarang dan Muhibbin Kiai Maemoen Zubair terhadap PPP. PPP bisa ditinggalkan oleh alumni Sarang dan para murid K. H. Maemoen Zubair.

Jakarta, 31 Desember 2020