by M Rizal Fadillah
Pemerintahan Jokowi baik periode pertama maupun kedua pantas disebut sebagai rezim investasi karena prioritas program adalah pembangunan, khususnya infrastruktur. Investasi dalam negeri tentu terbatas, karenanya berharap pada investasi asing. Untuk itu segala sarana disiapkan demi datangnya para investor tersebut, termasuk kemudahan peraturan.
Omnibus Law menjadi fenomenal. Aturan yang memudahkan investasi ini mendapat penentangan keras. Tetapi tetap dipaksakan. Kongkalikong dengan DPR melalui pengesahan “hantu” malam hari. Buruh dan mahasiswa meradang. Walaupun dikemas dengan bingkai cipta kerja namun pada hakekatnya mencekik pekerja. Harapan yang diimpikan adalah datang berbodong-bondong investor asing.
Rezim investasi semestinya menciptakan stabilitas politik dalam rangka membangun kepercayaan. Ini syarat utama agar siapapun mau dan aman untuk berinvestasi. Tanpa adanya stabilitas omong kosong untuk datang investor berbondong-bondong.
Pemerintahan Jokowi adalah rezim gaduh. Sejak dilantik periode kedua kegaduhan demi kegaduhan terus terjadi. Dari soal revisi UU KPK, RUU HIP-BPIP, Omnibus Law, hingga pembantaian 6 anggota Laskar FPI dan penahanan HRS. Reshuffle kabinet pun gaduh lagi. Kemampuan mengelola negara yang rendah dan terkesan disetir banyak kepentingan.
Jika rezim ini semakin represif, seenaknya menghukum lawan-lawan politik, politisasi pandemi Covid 19, serta menyinggung isu keumatan yang sensitif, maka rezim gaduh dan nekad ini melangkah menuju kebencian rakyat. Jika kepemimpinan Jokowi bekerja tanpa akal sehat dan bijak, maka dipastikan kenekadan menimbulkan kritik dan perlawanan.
Ketika investasi tidak mencapai target maka jalan Menteri Keuangan adalah tebar proposal untuk hutang luar negeri. Total hutang Pemerintah dan Swasta menurut INDEF mencapai 7000 Trilyun. Untuk kuartal 1 tahun 2021 Sri Mulyani membuat target hutang 342 Trilyun. Besarnya hutang bukan cermin dari kepercayaan tetapi “debt trap” yang dapat membangkrutkan.
Rezim bergerak menuju negara gagal. Majalah “Fund for Peace” dan “Foreign Policy Magazine” menempatkan Indonesia di urutan 61 dari 177 negara gagal. Menurut Fragile Stated Index Amerika, pada tahun 2019 Indonesia berada pada urutan 91 dari 178 menuju negara gagal. Itu tentu belum ditambah pengaruh pandemi Covid 19.
Pilihan hanya dua, pertama melanjutkan budaya kekuasaan monolit yang tak peduli dengan aspirasi, melabrak nilai keadilan, dan tetap absolut patuh pada paradigma investasi, atau kedua, menciptakan harmoni dengan membangun konsensus baru untuk menentukan prioritas pembangunan bangsa dan negara. Seluruh elemen duduk bersama membuat butir butir konsensus.
Pilihan kedua tentu bijaksana jika diambil. Persoalannya adalah maukah rezim mundur selangkah ? atau memang sudah tanggung “maju terus pantang mundur”. Pesawat yang tak mungkin kembali ke bandara “point of no return”. Jika demikian maka terpaksa pilihan adalah menunggu momentum. Momentum perubahan.
“Momentum is coming for change. In the near future”.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
4 Januari 2021