by Tarmidzi Yusuf
Pengamat Politik dan Sosial
Penulis belum lahir ketika banyak orang bilang, hidup di alam sekarang serasa hidup di tahun 1964-1965.
Kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul terancam. Ditambah adanya ‘kendaraan’ politik baru, bukan esemka lo. Kendaraan tersebut bernama ‘covid-19’. Hidup jadi terkekang, nyawa pun bisa terbang.
Saat sekolah dulu ada mata pelajaran PMP, Pendidikan Moral Pancasila dan PSPB, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Potret kehidupan tahun 1964-1965 tergambar dengan jelas.
Sayangnya, pasca reformasi kedua mata pelajaran wajib tersebut dihapus. Akibatnya, generasi yang lahir pasca 1998 tidak mengetahui kekejaman dan kejahatan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Banyak para ahli dan pelaku sejarah mendeskripsikan kondisi Indonesia hari ini seperti hidup di era orde lama. Masa dimana sebelum terjadinya tragedi nasional. Pemberontakan G 30 S/PKI.
Sebulan lebih sedikit. Tepatnya, 7 Desember 2020 kita dikejutkan oleh peristiwa pembunuhan enam syuhada laskar FPI di rest area KM 50 tol Jakarta – Cikampek. Seolah mengingatkan kita dengan peristiwa tahun 1965. Enam jenderal Angkatan Darat dibunuh dengan sangat kejam dan sadis oleh PKI.
Tahun 1964, pemerintah memenjarakan Buya Hamka rahimahullah selama 2 tahun 4 bulan. Semua sumber pendapatan Buya Hamka rahimahullah diblokir oleh rezim ketika itu.
Hari ini pun, kita menyaksikan hal yang sama. HRS ditangkap dan ditahan. Juga terancam nyawanya. Tidak itu saja, istri dan menantu HRS ditetapkan sebagai tersangka.
Kita pun mencium aroma tak sedap. Kasus kerumunan waterboom Lippo Cikarang diduga by design. Dua karyawannya telah ditetapkan sebagai tersangka. Dengan adanya kasus kerumunan waterboom Lippo Cikarang, tidak ada alasan bagi pihak HRS membangun narasi diskriminasi dan kriminalisasi. Kita pun membacanya sebagai upaya mengelabui publik.
Konon kabarnya rekening FPI, petinggi FPI dan keluarga HRS diblokir. Persis apa yang dialami oleh Buya Hamka rahimahullah 57 tahun silam.
Sejarah kembali berulang. Masyumi tahun 1960 dibubarkan atas provokasi PKI. Tahun 2020 FPI dibubarkan, kabar burung diprovokosi taipan cukong dan jenderal hitam.
Sebelumnya 2017, HTI telah dibubarkan lebih dulu. Anak PKI boleh jadi anggota DPR. Sementara anggota HTI dipecat dari Wakil Dekan FPIK Universitas Padjajaran.
Tragisnya FPI disamakan dengan PKI. Ormas FPI dan partai PKI terlarang. Segala atribut FPI dilarang layaknya PKI. Padahal, FPI tidak pernah melakukan kejahatan politik dan kejahatan kemanusiaan seperti yang dilakukan PKI. FPI dikenal publik sebagai pahlawan kemanusiaan saat tsunami Aceh tahun 2004 dan bencana alam lainnya di Indonesia.
Mulai pula ada suara sayup-sayup untuk membubarkan MUI dan PKS. MUI tidak segarang dulu. Sekarang melunak. Setidaknya saat Ahok melakukan penistaan agama, MUI berada digarda terdepan. Sementara PKS konsisten sebagai oposisi.
Kita pun hari ini menyaksikan seperti era orde lama. FPI dibenturkan dengan Banser. Ulama diadu dengan ulama. Ustadz dibully oleh ustadz. Ormas Islam diobok-obok sesama ormas Islam.
Aktivis dakwah dan petinggi KAMI dipenjara. Ruang gerak pejuang kebenaran dan keadilan dipersempit. FB dimonitor. Sebentar lagi WhatsApp.
DPR dan partai tak berkutik. Pembahasan RAPBN pun tak kita dengar lagi pasca disahkannya Perppu No 1/2020 tentang corona menjadi UU. Hukum dipelintir. Aparat diperalat.
Kondisi sekarang diduga sudah sangat mencekam bagai menjelang September 1965. Mungkinkah diawali isu dewan jenderal polisi? Dulu dewan jenderal AD. Entahlah, hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
1 Jumadil Tsani 1442/15 Januari 2021