Joko Widodo, Presiden RI dan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta / istimewa

OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Banjir di Kalsel salah siapa? Hujan! Banjir di Jakarta? Itu salah Anies! Begitulah bunyi sebuah meme yang beredar di medsos. Entah siapa yang buat, setidaknya itu ekspresi rakyat untuk mengingatkan logika yang seringkali terbalik.

Ada pihak yang kerjanya menyalahkan Anies. Di otak mereka, tak ada yang bener sedikitpun dengan Anies. Semua keliru!

Mereka menganggap semua penghargaan terhadap Pemprov Jakarta itu hasil gubernur sebelumnya. Tapi, semua masalah yang terjadi di DKI itu salah Anies. Tentu, logika ini tidak fair.

Ada penghargaan yang ikut andil di dalamnya gubernur-gubernur sebelumnya. Ini tidak dapat disangkal. Tapi, tak semua penghargaan dan kemajuan di Jakarta itu hasil investasi pemimpin terdahulu. Janganlah lebay!

WTP dari BPK, tiga penghargaan dari KPK, Top Digital Award 2020, Gubernur Terpopuler, penghargaan sebagai Pembina BUMD yang sukses, pembangunan fasilitas untuk kenyamanan para pejalan kaki dan pengguna sepeda, panorama kawasan Soedirman-Thamrin, penghargaan untuk transparansi dan keterbukaan publik, Jakarta Internasional Studion (JIS), pembangunan Museum Rasulullah, dan banyak lagi yang tidak terhubung sama sekali dengan gubernur-gubernur sebelumnya.

Jadi, kalau bilang Anies tidak bekerja, ini bertentangan dengan banyak fakta adanya berbagai kemajuan dan penghargaan untuk Pemprov DKI Jakarta.

Ruang persepsi publik kita memang sering dirusak oleh mereka yang dibayar untuk tugas itu. Orang menyebut mereka “buzzer rupiah”. Operasi mereka berhasil memprovokasi kelompok-kelompok fanatik yang memang suka dengan hoak yang diolah dengan narasi-narasi pejoratif semacam itu. Akibatnya, ruang publik kita menjadi tidak rasional. Merusak kecerdasan. Ini semua menyebabkan interaksi dan diskusi publik yang semakin tidak sehat.

Kemenangan Anies di pilgub DKI 2017 yang disusul dengan penyegelan “project raksasa ratusan triliun” bernama “reklamasi” memposisikan Anies sebagai tokoh yang seksi. Dan lebih seksi lagi ketika Anies punya kans cukup besar untuk maju di pilpres 2024.

Dalam posisi ini, Anies dianggap ancaman, sekaligus harapan. Ancaman, karena tak mudah berkompromi dengan project-project ilegal yang dianggap membahayakan eksistensi dan masa depan bangsa. Reklamasi dan Alexis adalah dua dari sekian banyak contoh bisnis yang melanggar aturan dan merugikan bangsa.

Disisi lain, Anies dianggap harapan. Ditengah bangsa yang sedang terbelah, maraknya pelanggaran hukum, arogansi oligarki, demokrasi yang hampir mati, ekonomi yang mengalami resesi, Anies memiliki kapasitas yang dianggap mampu menghadapi situasi itu.

Anies punya latar belakang pendidikan di bidang ekonomi dan kebijakan publik. Basic ekonomi akan sangat membantu mengatasi pertumbuhan ekonomi yang minus, dan problem resesi. Basic kebijakan publik memberi modal Anies untuk memahami dan merumuskan setiap persoalan bangsa.

Track record Anies yang selalu mengedepankan pola persuasi, merangkul bukan memukul, komitmennya soal hukum dan pemberantasan korupsi dengan berdirinya lembaga semacam KPK di DKI, kematangannya dalam merespon setiap kritik, bahkan lawan politik, ketegasannya menghadapi mafia kapitalistik, dan kemampuannya membuat terobosan-terobosan program yang tak biasa, bisa dinilai secara obyektif oleh publik sebagai harapan buat Indonesia. Ini tidak berlebihan, karena ada data dan fakta yang bisa dibaca.

Sebagai harapan, Anies mendapatkan banyak dukungan dari publik. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme publik ketika membicarakan Anies di media sosial. Sayang, jika satu dari 20 tokoh yang dianggap oleh majalah Foresight Jepang mampu memberi arah perubahan dunia ini tidak diberi ruang untuk membangun Indonesia kedepan.

Namun, sejumlah pihak yang menganggap Anies sebagai ancaman masa depan politik dan bisnis, mereka secara konsisten dan sistematis terus melakukan berbagai hal untuk menjegal Anies.

Tidak semua publik tahu upaya-upaya yang dilakukan mereka untuk menjegal Anies. Sebagian terpublis, tapi sebagian dilakukan di belakang kamera. Operasi yang kasar diliput media, operasi khusus lebih halus.

Terakhir, tapi mungkin bukan yang paling akhir, sejumlah kabel pompa air di Jakarta dipotong. Ada juga yang dicuri. Oleh siapa? Pasti jawabnya: “orang tak dikenal”.

Ini bukan aksi pengrusakan dan pencurian biasa, tapi sabotase! Setiap Januari-pebruari, Jakarta berhadapan dengan curah hujan yang lebat. Pompa air menjadi andalan untuk memperpendek durasi banjir. Jika dirusak aliran listriknya, ini akan menyebabkan pompa gak jalan dan banjir gak terkendali. Disinilah Anies, lagi-lagi, akan disalahkan dan menjadi bulan-bulanan media. Tujuan mereka satu: Anies dipersepsi gagal memimpin Jakarta. Dengan begitu, gak layak nyapres. Banjir seringkali dijadikan indikator yang paling berpengaruh. Isunya paling seksi. Khusus Jakarta. Tidak di kalsel, tidak juga di daerah lain.

Bagimana jika segala upaya penjegalan gagal, dan Anies tetap melaju ke pilpres 2024? Ingat! Mafia kapitalis dan elit politik adalah orang-orang yang rasional dan sangat pragmatis. Jika Anies tak juga bisa dijegal, tetap melaju ke pilpres 2024, maka mereka akan merubah strategi, yaitu kompromi. Demi posisi politik dan keamanan bisnis.

Mereka cukup piawai dan berpengalaman untuk melakukan penyesuaian-penyusaian, layaknya sutradara, sekaligus pemain drama. Begitulah panggung politik, ada intrik, kalau gagal, ya kompromi.

Rakyat berharap, apapun judul dan sekenario drama yang sedang dan akan ditawarkan, Anies harus tetap konsisten memperjuangan kepentingan bangsa dan negara dalam artikulasi yang sesungguhnya.

Jakarta, 21 Januari 2021