Oleh Radhar Tribaskoro
Pembegalan Partai Demokrat oleh Moeldoko dkk melalui KLB Sibolangit semakin membuktikan betapa rendah kualitas demokrasi Indonesia. Tanpa hujan dan angin, tanpa mempedulikan AD/ART, segelintir kader menggelar KLB dan menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum menggantikan AHY yang baru terpilih setahun lalu.
Para pelaku KLB mendasarkan perbuatannya kepada dalil “penguasa tertinggi partai adalah DPC” untuk mengelak dari kewajiban memenuhi syarat-syarat KLB sesuai AD/ART partai. Tetapi sekalipun kehadiran DPC di KLB Sibolangit sangat minim mereka tidak berkeberatan meneruskan niatnya.
Publik menyaksikan dengan mata telanjang bahwa apa yang tersurat tidak selalu sama dengan apa yang tersirat. Pelaku KLB mengklaim bahwa tujuan mereka adalah “melawan tirani” dan “membangun demokrasi”. Tetapi publik bisa menilai bahwa kekuatan mereka bukan pada tujuan itu melainkan kepada kekuasaan yang berada di belakang tokoh yang mereka angkat menjadi Ketum: Moeldoko.
Ideal-ideal yang mereka serukan itu hanya omong kosong, sejatinya mereka hanya peduli kepada perebutan kekuasaan. Moeldoko, dengan kekuasaan yang dimilikinya selaku Kepala Staf Presiden, memberi mereka keyakinan akan menang dalam perebutan kekuasaan itu.
Moeldoko sendiri bukan pejabat yang sekadar didaulat. Ia adalah pelaku utama pembegalan Partai Demokrat. Publik sejak sebulan lalu telah mendapat informasi keterlibatan dirinya dalam persiapan KLB. Moeldoko berulangkali menyangkal keterlibatan itu, tetapi keterpilihan dirinya sebagai Ketum membuktikan bahwa penyangkalan itu kebohongan belaka.
Moeldoko adalah “orang istana” pertama yang secara terbuka dan terang-terangan mengambil-alih kepemimpinan suatu partai. Soeharto dulu, melalui asisten pribadinya Ali Murtopo, juga aktif mengangkat dan mengganti pemimpin-pemimpin partai, namun semua dilakukan melalui operasi tertutup. Apakah Moeldoko seperti halnya Ali Murtopo, hanya pion dari penguasa tertinggi?
Mensesneg Pratikno sebulan yang lalu mengesankan bahwa Presiden Jokowi tidak tahu-menahu persoalan KLB Partai Demokrat. Ia menjawab surat Ketum AHY menanya keterlibatan KSP Moeldoko dalam KLB dengan lisan, “Itu murni persoalan internal Partai Demokrat”. Namun terpilihnya KSP Moeldoko sebagai Ketum dalam KLB mengungkap jawaban sebaliknya. Langkah KSP Moeldoko, tangan kanan presiden, menerima jabatan Ketum Partai Demokrat tidak bisa dianggap urusan personal. Itu adalah urusan negara yang presiden wajib tahu dan menyetujuinya.
Kegagalan Demokrasi Internal Partai
Pemerintahan Jokowi memiliki rekam jejak “membesarkan anjing hutan di hadapan singa”. Dalam persaingan politik Aburizal Bakrie vs Agung Laksono di Golkar, Agung mendapat angin dari pemerintah sehingga akhirnya Aburizal harus mundur untuk membuka jalan bagi “orang Jokowi”, Airlangga Hartarto, menggantikannya.
Demikian pula terjadi di PPP. Konflik memisah Ketum Suryadharma Ali dengan sekjennya Romahurmuziy. Konflik berawal dari dukungan Suryadharma kepada Prabowo dalam pilpres 2014, sementara Romy mendukung Jokowi. Konflik tersebut berkepanjangan bahkan setelah Djan Faridz menggantikan Suryadharma. Seperti diduga, pemerintahan Jokowi memenangkan kubu Romy dengan secara sepihak mengesahkan kepengurusan PPP di bawah pimpinan Romy.
Intervensi pemerintah yang berlebihan terjadi juga di tubuh Partai PAN dan Berkarya. Kongres PAN di Kendari tahun lalu dibanjiri oleh ribuan polisi untuk meloloskan Zulkifli Hasan menjadi ketua umum yang baru. Partai Berkarya juga beralih kepengurusan melalui munaslub yang disahkan Menkumham Yasona begitu saja.
Semua peristiwa pendongkelan kepengurusan di atas menyiratkan bahwa demokrasi di Indonesia, khususnya demokrasi di partai, tidak berjalan. Aturan internal partai tidak dipatuhi sehingga demokrasi partai gagal mengatasi konflik. Kegagalan itu membuka jalan bagi penguasa untuk mengintervensi. Keharusan bahwa kepengurusan suatu partai disahkan oleh Menkumham menjadikan pemerintah memiliki kartu truf yang bisa digunakan untuk mendiktekan kemauannya kepada partai-partai politik. Kartu truf itu mengakhiri demokrasi partai dan mentahbiskan dominasi elit yang ingin menegakkan negara kekuasaan.
Ketidakberdayaan demokrasi internal partai berkaitan langsung dengan sistem demokrasi yang berlaku. Secara formal Negara Republik Indonesia mengakui kedaulatan rakyat seperti disiratkan oleh Sila ke-4 Pancasila dan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yangmenyebutkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Namun sistem politik yang terbentuk berdasarkan perundang-undangan berlaku gagal mendudukkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Rakyat cuma diklaim saja. Seperti pelaku KLB Sibolangit, mengklaim dukungan DPC Partai Demokrat se Indonesia padahal yang datang hanya segelintir dan bukan pengurus. Begitu pula Agung Laksono di Golkar, Romahurmuziy di PPP, Zulkifli Hasan di PAN dan Muchdi PR di Berkarya. Celakanya, sistem berlaku memenangkan semua tukang klaim itu.
Demokrasi Indonesia dalam Ambiguitas
Kegagalan sistem demokrasi di Indonesia berhubungan erat dengan ambiguitas para pemimpin bangsa. Pemimpin paling ambigu adalah Soekarno. Ambiguitas Soekarno itulah yang memisahkan dirinya dari Hatta. Hatta tidak bisa menerima keinginan Soekarno untuk menjalankan Demokrasi Terpimpin.
Soekarno mengklaim bahwa semua aliran politik harus dan bisa disatukan. Maunya semua orang, baik yang berlatar-belakang nasionalis, agama atau komunis, bersatu-padu membangun negara di bawah satu bendera ideologi: Nasakom. Klaim itu tidak punya dasar empiris, tidak ada di dunia yang seperti itu. Andaikatapun Nasakom dianggap sebagai konsep idiosyncratic (istimewa, beda sendiri) yang tidak butuh bukti empiris, konsep itu tidak punya komprehensibilitas (tidak mungkin dimengerti). Padahal ideologi membutuhkan koherensi, sementara Nasakom berisi ide-ide yang saling bertabrakan.
Ancaman inkoherensi itulah yang menurut Soekarno membutuhkan konsep Demokrasi Terpimpin. Ia melihat demokrasi an sich menciptakan situasi pertentangan permanen di masyarakat. Oleh karena itu demokrasi membutuhkan pemimpin untuk menyatukan dan mengarahkan semua kekuatan politik ke satu tujuan. Soekarno melihat pemimpin itu adalah seorang figur, yaitu dirinya sendiri. Untuk tujuan menyatukan kekuatan politik itu, Soekarno membiarkan praktek kultus individu yaitu praktek mendewakan pemimpin seolah-olah tidak bisa berbuat salah.
Ambiguitas Soekarno dalam memahami demokrasi terjadi lagi pada diri Soeharto. Dalam tekadnya untuk menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen Soeharto, presiden kedua, mempraktekkan Demokrasi Pancasila yang juga idiosyncratic. Dalam demokrasi pancasila itu Soeharto memasukkan militer sebagai pelaku politik. Pelembagaan peran politik militer menyebabkan para pakar ragu menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi, kebanyakan menganggap Indonesia sebagai negara otokratis dengan kepemimpinan militer.
Namun berbeda dengan Soekarno yang mengijinkan kultus individu, Soeharto menolaknya. Soeharto bahkan menolak gelar doktor kehormatan yang akan diberikan oleh Universitas Indonesia. Satu-satunya gelar yang diterimanya hanyalah Bapak Pembangunan yang diberikan oleh MPR pada tahun 1983.
Di dalam wacana publik demokrasi pun sering ditanggapi secara ambigu, tidak dilarang tetapi tidak juga didukung. Tidak sedikit orang yang menganggap demokrasi sebagai produk asing. Lucunya kemudian ada diantara mereka menawarkan sistem khilafah, yang sama juga produk asing. Di sisi lain ada yang mengajukan “sistem demorasi asli” yang menyusun sistem politik ke dalam bentuk-bentuk perwakilan hirarkis dari RT/RW sampai ke tingkat nasional.
Sekarang ini ambiguitas itu justru semakin menjadi-jadi. Presiden Jokowi dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa “demokrasi Indonesia adalah demokrasi gotong royong yang tidak membutuhkan oposisi”. Dengan nada yang sama Prabowo, ketua umum Partai Gerindra, pernah pengatakan bahwa “dalam sistem presidensiil tidak ada oposisi”. Kedua tokoh itu jelas bersikap mendua terhadap demokrasi. Rocky Gerung mengritik keduanya dengan mengatakan bahwa hakekat dari demokrasi ada dalam sikap oposisi. Meniadakan oposisi sama artinya dengan menghapuskan demokrasi.
Apa yang dikatakan Rocky Gerung sesuai dengan apa yang dikatakan filsuf-filsuf politik terkemuka seperti John Stuart Mill, John Milton, Brandeis, Karl Popper dll. Gagasan utama mereka adalah bahwa pertentangan antar-gagasan dibutuhkan dalam pencarian kebenaran (process of seeking truth). Semakin intens persaingan itu semakin kuat dorongan orang untuk memperoleh kebenaran yang sebenar-benarnya. Holmes menggunakan istilah pasar bebas gagasan (marketlace of ideas) untuk menjelaskan persaingan gagasan. Semua pemikiran bersaing di dalam pasar dimana pada akhirnya ide terbaik akan muncul sebagai pemenang. Agar pasar tersebut berfungsi memberikan hasil terbaik (terefisien), harus dijamin adanya free flow of ideas. Artinya, di dalam rejim demokrasi tidak boleh ada pikiran-pikiran yang dibungkam.
Penutup
Di dalam situasi dimana para elit politik menggemakan keraguan kepada demokrasi, sikap dan kebijakan anti-demokrasi terutama dari sisi negara menjadi konsekuensi logisnya. Kudeta di Partai Demokrat adalah sebuah contoh bagaimana elit politik sama sekali tidak menghormati dan meninggalkan nilai-nilai demokrasi.
Tetapi ada satu hal yang berbeda dalam kasus kudeta demokrasi di Demokrat ini dibandingkan dengan apa yang terjadi di Golkar, PPP, PAN dan Berkarya. Kudeta Moeldoko pertama kali diungkap oleh grass root Demokrat sendiri. Mereka adalalah kader-kader Demokrat di tingkat DPC yang dibujuk untuk mendukung kudeta dengan iming-iming seratus juta. Mereka inilah yang melawan dengan membeberkan rencana kudeta tersebut kepada DPP Demokrat.
Moeldoko dkk tidak cuma menghadapi AHY dan SBY. Ia harus menghadapi grassroot demokrat, orang-orang di bawah yang sehari-hari menjadi mesin suara Partai Demokrat. Situasinya kurang lebih serupa dengan peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli 1996), ketika Soeryadi mengkup Megawati. Barisan akar-rumput PDIP bangkit dimana-mana memberikan perlawanan. Hampir semua organisasi masyarakat sipil memberikan dukungan kepada Megawati. Sejarawan Peter Kasenda menyebut momen itu sebagai Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018).
Apakah kudeta Moeldoko kepada AHY akan menjadi titik balik perlawanan terhadap penguasa, seperti 25 tahun yang lalu. Wallahualam bissawab.***