JAKARTASATU.COM – Presiden Joko Widodo telah resmi menghapus limbah batu bara dari kategori B3, yakni dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam PP tersebut limbah batu bara berupa FABA (Fly Ash dan Bottom Ash) dikategorikan menjadi limbah non B3 yang sebelumnya dikategorikan sebagai limbah B3 pada PP 101/2014.
Pada penjelasan pasal 459(3) huruf c PP 22/2021 disebutkan bahwa “Pemanfaatan Limbah non B3 sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan Limbah non B3 khusus seperti fly ash batubara dari kegiatan PLTU” yang mana sebelumnya pada penjelasan pasal 54(1) huruf a PP 101/2014 limbah batu bara berupa fly ash tersebut merupakan limbah B3.
Hal ini sebelumnya diusulkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menyuarakan usulan untuk mengeluarkan FABA dari limbah B3, karena menurutnya berdasarkan hasil uji menyatakan FABA bukan limbah B3. Kemudian hal tersebut dikabulkan oleh terbitnya PP 22/2021 yang menyebutkan FABA adalah limbah non B3.
Akibatnya, hal tersebut menimbulkan pertanyaan dan pro-kontra pada kalangan pegiat lingkungan.
Sebetulnya ada apa dibalik itu semua kebijakan pencabutan?
Namun demikian di samping limbah FABA yang telah dikategorikan menjadi limbah nonB3 bukan berarti proyek batu bara dalam hal pemanfaatan energi fosil dapat dikatakan ramah terhadap lingkungan, mengingat bahwa PLTU batu bara menjadi salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim, yakni mngeluarkan emisi CO2 pada proses pembakarannya ke udara.
“Penghapusan FABA dari limbah B3 bukan berarti dapat diartikan, bahwa limbah batu bara tidak mempunyai dampak terhadap lingkungan,” kata Manager Advokasi dan Kampanye KAWALI Nasional, Fatmata Juliansyah dalam rilisnya yang diterima redaksi (11/03/21).
Ditambah kemudian bukankah perlu diingat bahwa selain dari pada energi dari fosil terdapat juga Energi Terbarukan (ET) yang merupakan energi bersih dan minim terhadap dampak lingkungannya?
“Indonesia sebenarnya memiliki potensi ET (Energi Terbarukan ) sebesar 417,8 GW, namun baru dimanfaatkan sebesar 10 GW hingga kini diantaranya berasal dari gelombang laut, panas bumi, bio energi, angin, air, dan matahari,”beber Fatma.
Masih kata Fatma bahwa pengembangan energi terbarukan selain dalam rangka memenuhi kebutuhan energi dalam negeri namun juga berkontribusi pada pencapaian target penurunan emisi Indonesia. Energi terbarukan merupakan modal pembangunan dalam mendorong sistem ekonomi hijau, berkelanjutan, dan rendah karbon.
“Pertimbangkan tentang seberapa besar manfaat dan seberapa minim mudharatnya kepada lingkungan, adalah hal utama yang harus difikirkan untuk keberlangsungan hidup dan keselamatan rakyat Indonesia,” tandasnya.(JAKSAT/RHE)