Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.
Rizal Ramli saat menjabat Menko Maritim dan Investasi pernah meluncurkan istilah “Peng-Peng” singkatan dari “Penguasa Merangkap sebagai Pengusaha”. Akibat statement Rizal tsb akhirnya terjadi “benturan” antara dia dan Wapres JK. Karena JK memang disamping menjabat sbg Wapres Jokowi juga sebagai Pengusaha antara lain dibidang IPP Listrik Swasta. Dan bahkan semenjak ybs menjadi Wapres SBY periode pertama.
Karena benturan dng Wapres tsb Rizal Ramli di “copot” dan digantikan Luhut Binsar Panjaitan , yang sama2 satu Ideologi dng JK yaitu sama2 sebagai “Peng-Peng” juga.
Di lingkungan PLN hal semacam ini di perlihatkan dng jelas oleh Dahlan Iskan. Dia disamping sbg DIRUT PLN juga sebagai pengusaha pembangkit IPP. Sehingga sbg Dirut PLN menjadi pembeli stroom dari IPP nya. Ibaratnya uang mengalir dari kantong kiri ke kantong kanan (kok enak banget ? Itulah “Peng-Peng” dng praktek “conflict of interest” itu) dan konon ada seorang karyawan PLN level Kepala Divisi terkait jual beli stroom IPP terpaksa mengundurkan diri krn tdk mampu melaksanakan pesanan sang “boss” dalam mengatur kontrak listrik nya.
Jaman dulu praktek “sapi perah” thd BUMN ini dilakukan secara “cash” oleh oknum Menteri/Parlemen dsb thd BUMN. Kemudian sang oknum Direksi BUMN terkait yang “mengatur” nya (biasanya dng mar up). Shg banyak kasus oknum Direksi BUMN terpaksa “sekolah” akibat hal diatas.
Namun dng dirubahnya Ideologi BUMN dari entitas Infrastruktur (Perum PLN) menjadi Komoditi yaitu menjadi PT. PLN (PERSERO) maka para oknum pejabat pemburu rente diatas langsung bisa lakukan manuver sbg “Peng-Peng”. Karena untuk “obok2” PLN lebih gampang mengingat PT. PLN (Persero) sesuai UU No 40/2007 ttg PT tdk berbeda dng PT “Dapur Ngebul” biasa.
Dan akhirnya mulai 2020 kemarin kelistrikan Jawa-Bali sdh dimiliki oleh Kartel Listrik Swasta yg terdiri dari Shenhua, Huadian , Chengda, Chinadatang, CNEEC, General Electric, Mitsubishi, Tommy Winata, Prayoga Pangestu dan Taipan 9 Naga lainnya (dng menggunakan kekuasaan JK,Luhut, Erick Tohir, Dahlan Iskan). Yang akhirnya kelistrikan Jawa-Bali mulai 2020 berlangsung mekanisme pasar bebas (MBMS).Dimana salah satu indikasinya adalah tender pengadaan stroom pembangkit dengan komponen “C” (bahan bakar).
Dari kejadian diatas, maka benar apa yang di prediksi dalam Sidang MK ttg JR UU No 20/2002 ttg Ketenagalistrikan, yaitu tarip listrik akan “liar” bila terjadi MBMS. Dan faktanya pada 8 Nopember 2020 Repelita Online mengutip statemen Kemenkeu bahwa subsidi listrik akan menjadi Rp 200,8 triliun (400% dari sebelumnya saat masih dikelola PLN).
Meskipun akhirnya PLN pada 24 Mei 2021 mengumumkan bahwa PLN justru untung Rp 5,99 triliun untuk 2020 . Tetapi dng adanya angka subsidi yg di umumkan Kemenkeu Rp 200,8 triliun, maka terjadi perbedaan angka yg “jomplang” ! Dan mestinya DPR RI Komisi VI dan VII tanggap akan kejadian ini, dengan memanggil Menteri Keuangan, Menteri BUMN, MenESDM sekalian PLN. Mengapa terjadi sinyalemen yg berbeda ? Meskipun yang dari Kemenkeu masih berupa data sekunder ( dari Media Masa) tapi ingat sesuai UU Pers media juga berperan dlm pengawasan.
Selanjutnya DPR RI perintahkan BPK untuk lakukan audit. Apalagi ada kerugian PLN sebesar Rp 500 triliun.
Dan perlu diketahui yang bertindak sbg Akuntan Publik LK PLN 2020 adalah Price Waterhousecoppers (PWC) yg dipakai IFIs dalam konteks LOI 1997 guna menggiring Privatisasi PLN !
KESIMPULAN :
1. BUMN (khususnya PLN) menjadi semakin parah krn jurus Peng – Peng para oknum pejabat diatas. Krn berakibat terjadinya “conflict of interest”. Dan berakibat naiknya tarip listrik mulai Juli 2021.
2. Kalau DPR RI tdk berani perintahkan BPK audit PLN secara keseluruhan berarti DPR RI juga sudah masuk dalam Oligarkhi Kekuasaan !
3. Kalau sudah spt ini jangan salahkan rakyat bila berujung Revolusi Sosial spt Kamerun sekitar tahun 2000.
MAGELANG, 16 JUNI 2021.