by M Rizal Fadillah

MUNGKIN FR itu Briptu Fikri Ramdhani dan MYO adalah Ipda Yusmin yang bersama IPDA Elwira ketiganya mengawal 4 anggota laskar FPI dalam kendaraan mobil Xenia Silver B 1519 UTI. Ipda Elwira dinyatakan sudah meninggal akibat kecelakaan. Ipda Yusmin adalah pengemudi mobil Xenia tersebut. Keempat anggota laskar FPI menurut versi polisi ditembak dalam kendaraan itu karena melakukan perlawanan saat dibawa ke Polda Metro Jaya.

Kasus penembakan ini sudah dinyatakan lengkap sesuai keterangan dari Kejaksaan Agung P-21. Tinggal penyerahan perkara dari Mabes Polri kepada pihak Kejaksaan. Sementara kedua tersangka baik FR maupun MYO sampai kini masih bebas dan berdinas. Suatu yang sangat tidak lazim untuk orang yang berstatus tersangka dari sebuah kasus pembunuhan. Enam bulan sejak peristiwa terjadi baru sekarang P-21.

Apapun motif atau disain yang menjadi sebab lambatnya proses penyidikan akan tetapi dengan telah P-21 maka jelas FR dan MYO bersiap siap untuk memasuki agenda persidangan. Masyarakat berharap persidangan dapat berjalan transparan dan berorientasi penuh pada penegakkan hukum Bukan drama hukum atau penyesatan fakta dan kebenaran.

FR dan MYO mengemban beban super berat karena harus mampu menjelaskan peristiwa penembakan enam laskar FPI dengan sebenarnya, antara lain :

Pertama, ia berada di mobil bersama empat anggota laskar yang masih hidup. Ia tentu mengetahui dua anggota laskar yang ditembak terlebih dahulu. Siapa yang membunuh dua anggota laskar lainnya itu. Tentu penembaknya tidak bisa bebas begitu saja dari pertanggungan jawaban hukum.

Kedua, bagaimana bisa semua korban ditembak tepat di dada sebelah kiri, sementara mobil sedang berjalan dan konon ada perlawanan, situasi yang tidak nyaman untuk menembak. Benarkah keempatnya dibunuh di dalam mobil ?

Ketiga, siapa yang mengomando semua aktivitas sehingga mobil B 1519 UTI bergerak ke arah Polda Metro jaya dan bagaimana komunikasi yang terjadi dengan atasan operasi. FR dan MYO adalah aparat atau pertugas yang bergerak di bawah komando bukan bekerja sendiri.

Keempat, FR dan MYO harus mampu menjelaskan adanya luka bekas “penyiksaan” pada berbagai bagian anggota tubuh keenam korban. Jaksa dan Hakim diuji untuk mengejar dengan gigih.

Tentu banyak lagi pertanyaan yang harus terjawab oleh tersangka. Tentang surat tugas, jumlah pengintai, mobil B 1519 UTI yang rusak disana sini, padahal tidak ikut dalam proses “serempetan” di luar tol Karawang Barat, pejabat yang ada di Land Cruiser hitam, dan lainnya.

FR dan MYO harus jujur dan membuka apa adanya. Mengingat tersangka adalah aparat kepolisian maka Kejaksaan yang masih bagian dari proses pemeriksaan pasca penyidikan Polisi, harus independen. JPU akan bekerja dalam pengawasan dan kecurigaan tinggi dari masyarakat. Begitu juga integritas Hakim akan sangat terlihat bukan semata dari Putusan tetapi proses pemeriksaan yang terjadi di depan persidangan.

Penyidikan Kepolisian adalah tindak lanjut dari Laporan Komnas HAM yang menyimpulkan terjadinya “unlawful killing”, sementara Komnas HAM sendiri mendapat kritik tajam publik atas bobot kasus yang dinilai dikecilkan sebagai pelanggaran HAM biasa, bukan pelanggaran HAM berat.

Persidangan kasus ini akan menjadi perhatian besar rakyat Indonesia bahkan dunia, karenanya keterbukaan proses persidangan menjadi tuntutan publik.
Moga tidak menjadi peradilan sesat lagi atau pertunjukan sandiwara besar di ruang hukum. FR dan MYO jangan dikorbankan untuk melindungi penjahat sebenarnya.

Republik Indonesia adalah negara hukum bukan negara lawakan atau negara main mainan. Nyawa manusia bukan sampah yang bisa dibuang atas nama kekuasaan. Enam orang yang tak berdosa telah dibunuh dan diperlakukan dengan biadab. Oleh aparat.

*) Pengamat Politik dan Kebangsaan

Bandung, 27 Juni 2021