Ari Kuncoro saat menjabat Komisaris Utama Bank BNI, sejak November 2017/Annula Report BNI 2018

By Imam Wahyudi *)

Mundur! Menyusul “blunder” Jokowi. Akhirnya, Ari Kuncoro mundur dari jabatan wakil komisaris utama Bank BRI. Rektor Universitas Indonesia (UI) ini terjebak rangkap jabatan. Tak seharusnya dilakukan abdi perguruan tinggi.

Mundur dapat dikonotasikan “damai” untuk sebuah perkara. Mengingatkan pernyataan polisi terhadap sebuah kasus. Meski para pihak sudah berdamai, namun proses hukum berlanjut. Lantaran bukan delik aduan. Begitu, kerap kita dengar. Pas diberlakukan terhadap kasus Ari Kuncoro. Meski sudah menyatakan mundur, mesti pula tak serta-merta menghentikan kasusnya. Bukan delik aduan.

Secara awam, sudah dapat diklasifikasikan telah terjadi pelanggaran. Bab etika, moral dan hukum. Maka terkait hukum harus ditindaklanjuti. Demi preseden baik bagi penegakkan hukum dan peradilan. Rangkap jabatan tak pantas disebut wajar, selain melanggar.

Ari pernah menjabat Komisaris Utama Bank BNI, sejak November 2017. Jabatan tunggal. Tak ada masalah. Selanjutnya menjadi Rektor UI mulai Desember 2019. Periode hingga 2024. Pelantikan itu merujuk Peraturan Pemerintah (PP) no. 68/2013 tentang Statuta UI. Serupa Anggaran Dasar Perguruan Tinggi (baca: UI). Adalah acuan perencanaan, pengembangan program dan penyelenggaraan kegiatan fungsional perguruan tinggi. Dalam Statuta UI itu, ditegaskan — Rektor UI dilarang merangkap jabatan, termasuk di perusahaan resmi negara.

Baru dua bulan menjabat rektor, Ari diangkat Wakil Komut Bank BRI. Sejak Februari 2020. Terjadilah rangkap jabatan. Diharamkan oleh statuta tadi. Semula, terasa adem ayem selama lebih setahun. Boleh dikata, nyaman rangkap jabatan. Tak semata kedudukan, juga pendapatan. Itu pasti. Tak ada urusan sikap empati masa pandemi. Pokoke “uenaak tenan..”. Tak terduga, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI menayangkan poster “Jokowi: The King of Lip Service”. Di akun twitter@BEMUI_Official pada Sabtu, 26 Juni 2021. Mengalir dan viral. Heboh, deh.

Esok harinya Minggu (baca: hari libur), 27 Juni 2021 terbit surat pemanggilan dari Rektorat UI. Ditujukan kepada BEM UI. Berdalih dalam rangka pembinaan bab kemahasiswaan. Tak terhindarkan, menuai banjir kritik. Betapa, telah berlangsung “conflic of interest”. Konflik kepentingan dari sebuah jabatan. Jelas, sebagai akibat rangkap jabatan. Menjadikan sikap mengabdi kepada majikan. Sang pemberi jabatan.

Kapasitas rektor yang menuntut fokus pada keilmuan semata, kali ini — tergadaikan. Pada gilirannya, mencoreng reputasi perguruan tinggi ternama itu. Komunitas intelektual yang senantiasa menghormati hak warga negara, luntur seketika. Gerakan mahasiswa yang mestinya dimaknai sebagai cerminan berdemokrasi. Secara universal, senantiasa lahir dari kampus perguruan tinggi. Langkah rektorat yang menegaskan “conflic of interest”, sekali gus “bumerang”. Setara “senjata makan tuan”. Si tuan itu bernama Ari Kuncoro.

“Blunder” Jokowi

Pada kesempatan pertama, kita boleh “menghormati” keputusan mundurnya Ari. Bahkan mengabaikan “pembelaan” dari sang majikan. Serupa “tegen prestasi” dari langkah “conflic of interest” yang sejatinya “bumerang” tadi.

Presiden Jokowi menerbitkan PP no. 75/2021 tentang Statuta UI. Tertanggal 02 Juli 2021, setelah gonjang-ganjing. Sebutlah berupa revisi atau perubahan terhadap statuta yang termaktub dalam PP 68/2013. Mengganti peraturan sebelumnya. Kali ini, disebutkan bahwa rangkap jabatan hanya dilarang untuk jabatan direksi. Terkesan sebuah respons ambivalensi. Cenderung emosional. Malah terjebak ambigu. Sederet perubahan klausul, bersifat pembenaran. Di sini pula “blunder” kadung mencuat.

Bagi Ari Kuncoro, sangat mungkin bertambah beban. Dilema meningkat akut. Bagai “buah simalakama”. Maju “tatu”, mundur ancur. Perubahan statuta tak bermakna untuk tetap rangkap jabatan. Sebaliknya, andai tanpa revisi aturan. Lantas memutuskan mundur, tentu fokus lensa kamera melulu ke Ari. Tak lanjut berbagi dua obyek.

Perubahan lewat PP 75/2021 dimaklumi tidak berlaku surut. Bahwa pelantikan Ari sebagai Rektor UI berlandaskan PP 68/2013. Dengan kata lain, ada atau tiada perubahan statuta — telah terjadi pelanggaran rangkap jabatan. Sekurangnya dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran hukum. Mungkin saja, beliau tak membuat pengecualian. Mundur pula dari jabatan rektor. Setidaknya secara etika dan moral sudah terjawab.

Setidaknya dalam kurun 17 bulan, mendapatkan penghasilan dari jabatan wakil komut BRI. Terhitung sejak Februari 2020. Akibat pelanggaran rangkap jabatan itu, sejumlah penghasilan dimaksud wajib dikembalikan ke kas negara. Lazimnya tak menggugurkan dugaan tindak pidana korupsi. Sampai di sini pula tulisan ringan ini. Kini, giliran aparat penegak hukum yang bicara.*

*) Wartawan senior di Bandung