JAKARTSATU.COM – Pameran Tunggal Bukan Fiksi[E] Tapi Fakta karya seniman rupa Kana Fuddy Prakoso menarik di Rolling Doors Art Gallery, Jl Durian no 47, Jagakarsa, Jakarta. Sebuah pameran yang membedah konsep sepeda secara estetika dalam simbol sebagai human power yang mempunyai perspektif estetis.

Masyarakat pengguna sepeda, hari ini, dapat memilih sepeda masam apa yang hendak mereka gunakan untuk kehidupan sehari-hari. Bentuk dan material rangka sepeda menunjukan strata sosial pengguna. Terakhir merk atau pabrikan sepeda juga menentukan.

Pameran yang berlangusng dari 6-17 Agustus 2021 (kini diperpanjang sampai akhir Agustus) ini dikuratori Frigidanto Agung. Tulisan kurator membawa kekuatan sebagai pengantar, Ada visual yang lepas dan total. Meski karyanya sketsa Kana dibuat diatas kardus. Kana, melalui berbagai sketsa sepedanya mencoba menghadirkan bagaimana sepeda menjadi cara pandang konseptual dalam membuat diskursusnya. Melalui katarsis subyek dan benda yang digerakan. Kana melihat dari permukaan bentuk sepeda dari sketsa-sketsanya lalu masuk ke dalam wilayah apresiasi bagaimana perkembangan sepeda dicatat.

Tulisan Bukan Fiksi[E] Tapi Fakta merunut pikiran diatas. Sebenarnya saya mengambil dari kata fixie, biar terlihat kenyataan yang ada dan terlihat serta mencuri perhatian saya tulis Fiksi[E], mempercayakan kata dalam pergumulan keseharian yang sedang tidak jelas ini. Sebuah pilihan harus diambil, supaya berpikir dan sehat pikiran. Menghadapi Fakta yang jelas bukan Fiksi[E].

Naik sepeda butuh mengayuh kehidupan agar lebih jelas gerak ke arah mana. Tanpa sepeda tidak akan cepat sampai, pakai motor terlalu diam tubuh kita, tak berkeringat. Kayuh nasib, biar terlihat masa depan. Sepeda seperti simbol percepatan gerakan, ini bukan fiksi tapi fakta. Kayuhan pada pedal akan mempercepat sepeda sampai tujuan dengan memotong waktu jalan kaki.

“Material kardus untuk memperjelas eksperimen wacana estetika seni, sehingga terbaca dalam ruang. Ini menjadikan kekayaan penciptaan bahwa kardus yang semula barang bekas menjadi bungkus berbagai benda pabrikan, termasuk sepeda, dapat dijadikan medium dalam karya seni,”pungkas Kana Fuddy Prakoso.

Kana, melalui berbagai sketsa sepedanya mencoba menghadirkan bagaimana sepeda menjadi cara pandang konseptual dalam membuat diskursusnya. Melalui katarsis subyek dan benda yang digerakan. Kana melihat dari permukaan bentuk sepeda dari sketsa-sketsanya lalu masuk ke dalam wilayah apresiasi bagaimana perkembangan sepeda dicatat oleh para penulis.

 

Kana Fuddy Prakoso menjabarkan itu diatas material kardus untuk memperjelas eksperimen wacana estetika seni terbaca dalam ruang material lain. ini menjadikan kekayaan penciptaan bahwa kardus yang semula menjadi bungkus berbagai benda pabrikan, termasuk sepeda, menjadi medium dalam karya seni. Mungkin itulah yang terbaca pada permukaan diskursus ini.

Sepeda sebagai human power dalam tatanan produksi yang berhubungan langsung dengan manusia adalah teknologi awal, bagaimana produksi pabrik meningkat.
Mulai dari sanalah sepeda dikembangkan lalu diproduksi dan digunakan secara massal. Khususnya di wilayah yang industrinya berkembang pesat, terutama wilayah Eropa saat itu. Hubungannya dengan penggunaan tenaga manusia sebagai awal untuk membantu subyektivitas manusia berkembang, yang menjadikan human power sebagai inti pemikiran sepeda tersebut.

Tenaga manusia menjadi perlengkapan kerja pertama kali ketika revolusi industri bergejolak. Bagaimana menambah tenaga manusia dalam waktu tertentu untuk produksi. Baik produksi dalam ruang atau pabrik-pabrik, produksi luar ruang dalam distribusi hasil pabrik. Pertanyaan menggema di kalangan industriawan saat itu. Karena dominasi tenaga manusia sudah tidak menguntungkan pabrik dalam jumlah produksi.

“Munculnya roda gendeng, begitu istilah pekerja mekanik. Membawa anging segar bagi kaum industriawan ,khususnya yang punya pabrik, mereka segera memasang roda gendeng, bentuknya adalah roda besar dan roda kecil yang tersambung dengan kulit sebagai penggerak dua roda iru. Ketika roda besar bergerak maka roda kecil ikut bergerak dan menggerakan mesin seluruh pabrik. Awal digerakan oleh manusia dengan mendorong roda besar,” tulis Agung

Ketika roda besar bergerak maka roda kecil meneruskan bergerak dengan gerakan lebih cepat dari putaran roda besar. Karena jari-jari roda berbeda. Hal inilah yang membuat produksi barang bertambah jumlahnya. Saat itu juga kekuatan mekanik roda menjadi sumber bagi pabrik-pabrik tempat produksi barang menjadikan sebagai alat andalan. Jika dijabarkan seperti sepeda pertama kali ditemukan, roda gendeng, tersebut.

     Agung juga membedah dengan membaca subtansi saoal sepeda. Satu roda besar yang terdapat alat untuk mengayuh supaya berputar, disambungkan dengan roda kecil supaya putaran itu cepat. Sambungan itu awalnya menggunakan kulit binatang, bukan rantai. Inspirasi percepatan produksi inilah yang menjadi gambaran terciptanya sepeda saat itu. Sekitar 1830, Thomas McCall, di Skotlandia memulai bagaimana sepeda bisa digerakan dengan keseimbangan pengayuhnya.

“Mulai saat itulah ketika keseimbangan orang naik sepeda dapat dipelajari secara personal, maka tiap wilayah, pada daratan Eropa berkembang pesat orang menggunakan dan mengembangkan sepeda bagaimana seharusnya sepeda menjadi alat transportasi utama. Sehingga orang yang mampu membuat dapat memiliki dan menggunakan dijalanan,” jelasnya.

Kutipan-kutipan tentang sepeda yang ditulisnya di atas kardus merupakan cara mengungkap bagaimana perkembangan sepeda secara personal direkam oleh masing-masing subyek secara kesejarahan. Tahun ke tahun penikmat sepeda yang mempunyai intelektualitas lebih dan bekerja pada penulisan membuat referensi penulisan tentang sepeda.

Hal itu direkam Kana ulang untuk membentuk secara tertutup serta mempermudah memasukan dalam karya instalasinya. Catatan referensial ini yang membantu bagimana sepeda mendapat apresiasi dari tahun ke tahun. Menunjukan perkembangan sepeda dalam pemakaian sehari-hari. Sebenarnya catatan ini juga penanda bahwa sejarah sepeda tidak berhenti hingga hari ini.

Kana adalah pelukis yang lahir di Kudus 9 Desember 1973 lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sejumlah pameran telah ia ikuti baik bersama maupun tunggal. Sejumlah pameran pernah diikuti di beberapa negara selain  tanah air. Ia juga pemilik Ruang Garasi, Jakarta.

Jika kita melihat karyanya inilah sebuah karya yang menarik dari proses Kana dalam membaca sepeda dan sketsa yang tulus. Ia merespon benda dan membangun narasi gambar dengan kedekatan konteks kekinian. Selamat. !!! | sumber SENIINDONESIA