Oleh Imam Wahyudi*)

HARI ini, 23 tahun silam. Hari ini, 23 tahun usia Partai Amanat Nasional (PAN). Hari ini serba 23. Hari Minggu, bertepatan 23 Agustus 1998 yang lalu — PAN menghentak bumi Ibu Pertiwi. Ekspresi berdemokrasi.

Pada 23 tahun lampau, deklarasi pendirian PAN berlangsung cukup meriah di Istora Senayan, Jakarta. Sejumlah tokoh pionir di pentas kelahiran partai anyar ini. Antara lain M. Amien Rais, AM Fatwa, Abdillah Toha, M. Hatta Rajasa, Verawati Fajrin, Bambang Sudibyo, Soenoto, Mulfachri Harahap, M. Najib, Sandra Hamid, Joko Santoso HP dan Putra Jaya Husein.

Ya, 23 tahun lalu — PAN lahir, demi menjemput asa demokrasi bagi Indonesia. Partai yang terlahir dari rahim Gerakan Reformasi 1998. Puncak gerakan yang dipelopori mahasiswa ditandai pernyataan Soeharto pada 21 Mei 1998 pk 09.05 Wib. Menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Keterlibatan M. Amien Rais tercatat dalam sejarah tumbangnya rezim orba selama 32 tahun. M. Amien Rais menjadi “lokomotif” gerakan yang semula pada koreksi ekonomi dan praktik KKN (kolusi, korupsi, nepotisme). Puncaknya dilanda badai moneter.

Masa itu, harga sembako naik tajam dan keberadaannya pun langka. Gerakan dipicu dengan terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden RI lewat Sidang Istimewa MPR RI pada 10 Maret 1998. Adalah jabatan ke-tujuh kali. Soeharto menjabat presiden sejak 12 Maret 1967, dan berakhir 21 Mei 1998 (selama 32 tahun). Masa sangat panjang itu pula yang menginspirasi tampilan logo PAN, karya Joko Santoso HP.

*Refleksi*

Usia 23 tahun, hendaknya menjadi bahan refleksi keberadaan PAN di pentas politik. Momentum 23 tahun lalu membuka kehadiran partai baru pascareformasi. Bahwa parpol merupakan fondasi demokrasi. Dengan parpol pula, bisa mengantar kadernya duduk di parlemen. Selanjutnya berperan dalam aktualisas dan perjuangan agregasi kepentingan rakyat. Pada gilirannya, membuka ruang “portofolio” dalam pemerintahan. Antara lain berkontribusi memimpin kementerian, lembaga tinggi negara dan sekurangnya dubes.

Sejarah PAN tak lepas dari sosok Amien Rais sebagai “lokomotif” Gerakan Reformasi 1998. “Saatnya, Kita Bebas Bicara”. Selama lebih tiga dekade — kehidupan demokrasi dibungkam. Hak berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat di muka umum — praktis ditenggelamkan.

PAN tak serta-merta lahir. Bermula dari langkah Majelis Amanat Rakyat (MARA). Sebuah gerakan bersama grup diskusi PPSK Yogyakarta, sejumlah tokoh Muhammadiyah dan Kelompok Tebet. Usai Gerakan Reformasi, sedianya M. Amien Rais (MAR) ingin kembali ke induk Muhammadiyah. Tapi juga terpanggil, dan bersama 49 orang kawannya itu berketetapan perlunya melanjutkan cita-cita reformasi dengan mendirikan partai baru. Boleh jadi sebagai wadah aspirasi politik warga Muhammadiyah.

Sebelum bernama PAN, muncul nama Partai Amanat Bangsa (PAB). Akhirnya PAN jadi keputusan final. Partai Amanat Nasional. MAR langsung memimpin partai debutan PAN, sebagai ketua umum. Posisi sekjen Faisal Basri.

PAN harus “ngebut” untuk ikut pemilu pertama pascareformasi pada 07 Juni 1999. Praktis persiapan kurang dari delapan bulan. Terlebih tidak berbekal pengalaman untuk itu. Sementara MAR tiada hari tanpa sosialiasi atau “kampanye” ke berbagai daerah. Pada masa jelang akhir pendaftaran pemilu, saya bersama rekan Tjatur Sapto Edy menemui MAR ke Cirebon. Membawa tumpukan dokumen para caleg yang harus ditandatangani. Dokumen itu disiapkan Putra Jaya dkk di “pos komando” kawasan Dharmawangsa, Jakarta Selatan.

MAR kembali memimpin DPP PAN lewat kongres pertama di Yogyakarta tahun 2000. Sekretaris Jenderal terpilih Hatta Rajasa (HR), menggantikan Faisal Basri. Kongres PAN 2005 di Semarang, menetapkan Soetrisno Bachir (SB) sebagai ketua umum dan sekjen dijabat Zulkifli Hasan. Pada Kongres PAN 2010 di Batam, giliran HR terpilih ketua umum dan Taufik Kurniawan di posisi sekjen. Selanjutnya Kongres PAN 2015 di Nusa Dua, Bali, menghasilkan Zulkifli Hasan (ZH) sebagai ketua umum dan sekjen Eddy Soeparno. Duet ini kembali memimpin PAN periode sekarang, setelah kongres 2020 di Kendari.

Selama dua dekade terakhir, PAN ikut memberikan tapak sejarah berbangsa dan bernegara. Perjalanan naik-turun, tak kecuali dinamika internal yang jamak diketahui.

Sebuah refleksi presisi perlu dilakukan — saat terurai kebuntuan ruang demokrasi negeri ini. Mengingat reformasi yang bermakna perubahan terhadap sebuah sistem yang berlangsung pada satu masa. Tak kurang, pada era hanya tiga parpol peserta pemilu. Pascafusi parpol, kita hanya mengenal PDI, Golkar dan PPP. Selama lima pemilu sejak 1977 hingga 1997 atau dua dasawarsa. Sebelumnya dilakukan multi partai. Pemilu perdana 1955 diikuti 52 partai. Terakhir sebelum fusi menjadi trio partai, yakni pemilu 1971 melibatkan 10 parpol.

Pemilu pertama pascareformasi atau tahun 1999, melibatkan 48 partai. Selanjutnya ada yang “bubar jalan” dan kehadiran partai baru, yang kekinian sangat dimungkinkan. Tercatat 24 parpol peserta Pemilu 2004. Bersamaan debut Pilpres, yang tak lagi melalui MPR. Lima tahun kemudian, kembali bertambah menjadi 38 parpol pada Pemilu 2009. Lantas 12 parpol plus tiga parpol lokal di Aceh untuk Pemilu 2014. Terakhir pada Pemilu 2019 diikuti 16 parpol peserta.

Peringatan milad bagai mengurai kembali masa titik balik negeri ini dalam mengendalikan pemerintahan. Sebuah perubahan “drastis” untuk perbaikan utamanya bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya (sosekpolbud). Adalah masa pemberangkatan menuju perubahan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Semoga.*

*) Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jabar.