M Rizal Fadillah /Foto by AME Jaksat

By M Rizal Fadillah

BAMBANG Soesatyo Ketua MPR yang berpidato pengantar acara Sidang MPR 16 Agustus 2021 membuat hentakan dengan menyatakan MPR akan mengagendakan amandemen terbatas Pokok Pokok Haluan Negara ( PPHN). Soal PPHN awalnya dikira sudah menjadi kesepakatan seluruh anggota MPR. Faktanya tidak. Antar Partai Politik ternyata masih pro dan kontra.

Bambang offside karena terburu-buru menyampaikan agenda PPHN. Ia menyebut amandemen terbatas ini untuk menghindari amandemen meluas yang dikhawatirkan menjadi kotak Pandora. Bambang terlalu yakin PPHN aman, padahal kotak Pandora itu bisa jadi adalah PPHN itu sendiri. Gejalanya sudah ada. Rakyat tidak mudah diyakinkan untuk menerima pembahasan agenda yang kontroversial ini.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengingatkan bahwa PPHN adalah gagasan PDIP yang merupakan salah satu putusan Kongres V PDIP di Bali tahun 2019. Tentu PDIP sangat berkepentingan untuk suksesnya PPHN ini. Hanya anehnya setelah Bambang Soesatyo serius melempar di arena Sidang MPR, justru PDIP mengendorkan perjuangannya dengan alasan pandemi. PDIP menyatakan “slowing down” soal amandemen.

Hasto menegaskan amanat Ketua Umum PDIP “Ibu Ketua Umum Ibu Megawati Soekarnoputri terkait dengan amandemen sudah menegaskan bahwa kebijakan PDIP adalah slowing down terkait amandemen UUD 1945. Karena dalam upaya membantu rakyat mengatasi pandemi diperlukan suasana kehidupan politik kondusif”. Hasto memahami bahwa pembahasan PPHN dapat menjadi hangat bahkan panas.

Badan Kajian MPR sendiri meragukan dapat menyelesaikan draft PPHN pada awal tahun 2022 sebagaimana ditargetkan Bambang. Anggota Badan Kajian yang juga anggota DPR fraksi Golkar Zulfikar Arse menyinggung keberadaan UU No 17 tahun 2007 tentang RPJPJN 2005-2025 yang dinilai memadai. Bawono Kumoro dari “The Habibie Center” menyatakan gagasan PPHN merupakan sesat pikir di kalangan elit “gagasan tersebut berpotensi membawa kemunduran reformasi”.

Masih kuatnya tarik ulur agenda PPHN di internal MPR sendiri maupun di kalangan publik menunjukkan bahwa PPHN adalah gagasan mentah. Karenanya lemparan Bambang Soesatyo jelas-jelas giringan bola offside. Adakah PDIP sang penggagas merasa disalip oleh Golkar sehingga kemudian “slowing down” ? Atau bola PPHN memang ditendang oleh PDIP kemudian sengaja dioper ke Bambang Golkar agar offside ?

MPR setelah tidak menjadi lembaga tertinggi bagai lembaga yang kehilangan pekerjaan. Bambang menemukan pekerjaan berupa mainan PPHN dan lucunya pro kontra bisa dianggap prestasi. Orde Baru Golkar bisa dihidupkan, sementara PDIP Orde Lama ikut digaungkan. PPHN menjadi sarana kolaborasi Orla dan Orba untuk membunuh reformasi.

Tahun 2020 Bambang Soesatyo menggagas pembentukan Mahkamah Kehormatan Majelis (MKM) untuk mengadili anggota yang melanggar etik. Bambang ingin lembaganya menjadi tauladan bagi pelaksanaan Tap MPR No VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Andai saja MKM kini telah terbentuk, maka Bambang Soesatyo semestinya duduk di kursi pesakitan karena offside. Mengingat Bambang adalah Ketua MPR maka sanksinya tentu harus keras, Out !
Kotak Pandora telah terbuka dan Bambang Soesatyo adalah pembukanya.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 7 September 2021