JAKARTASATU.COM – Forum Ekonomi Politik Prof Didik J Rachbini melalui lini masa Twitter Space  dengan tema “Melihat Indonesia dari Perspektif Sastra dan Kebudayaan” pada tanggal 13 Oktober 2021 dengan narasumber Guru Besar Universitas Paramadina Prof Abdul Hadi WM. Dari ruang ini 10 ada catatan menarik dan sangat sublim dari ceramah Prof Abdul Hadi WM. 

Berikut isinya lengkapnya:

1. Kebudayaan itu sesuatu yang luas, tidak hanya bicara aspek kesenian dan adat istiadat. Pencapaian-pencapaian Iptek, filsafat, teknologi adalah juga rangkuman dari kebudayaan. Dengan adanya pembelahan sosial akibat melulu hanya membicarakan politik kekuasaan sekarang, maka yang terancam adalah persatuan kita. Kebhinekaan merupakan realitas tidak terancam tetapi karena kebhinnekaan tidak dijaga maka persatuan kita terancam karena pengingatnya melulu politik, buka kebudayaan. Jadi sekarang masalahnya adalah bagaimana memberdayakan kembali kebudayaan agar kuat dan memperkuat persatuan. Seperti Jepang kebudayaannya kuat dan menjadikan negara itu kuat.

2. Memberdayakan kembali kebudayaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia bisa melalui jalan Pendidikan. Selama ini yang diberikan dan dipehatikan hanya mata pelajaran matematika, fisika, kimia atau juruan IPA. Tetapi kita lupa memperhatikan untuk mengembangkan kebudayaan dalam alam pikiran masyarakat Indonesia. Mata Pelajaran yang membahas sisi antropologi, seperti seni sastra, Bahasa, dikurangi secara masif. Akibatnya segala tingkah laku masyarakat, cara berpikir, cara pandang tidak lagi mencerminkan kebudayaan unggul. Hal itu merupakan tanggungjawab sosial dari Pemerintah dan masyarakat sipil secara umum.

3. Kebhinekaan masyarakat Indonesia sudah ada sejak lama sekali dan mempunyai latar belakang sejarah dan kebudayaan yang panjang. Sejarah kehidupan kenegaraan Indonesia baik ketika masa orde lama pada 1959 – 1965, lalu masa 32 tahun orde baru semua salah mengartikan idiom “persatuan dan kesatuan” karena semua diseragamkan melalui cara tindak dan berpikir hanya melalui kacamata politik semata.

4. Sistem ekonomi pun hanya mengambil satu sudut kapitalisme saja dan dijalankan di semua pelosok Indonesia. Padahal kehidupan sosial ekonomi perdesaan kita sejak dulu tidak mengenal sistem ekonomi liberal.

5. Begitu pula penyeragaman sistem perundang-undangan, yang juga dipaksakan dan tidak mengikuti alur budaya masyarakat lokal. Suku Dayak dan Madura baku hantam di Kalimantan dulu antara lain disebabkan oleh masalah lahan yang diatur lewat peraturan perundangan soal pertanahan yang tidak mengikuti alur kearifan budaya lokal. Begitu pula soal tata laksana pemerintahan desa yang harus mengikuti pola pemerintahan di Jawa, Bupati, lurah, camat, padahal di Minangkabau yang dikenal hanya sistem Nagari, begitu pula contohnya di Aceh (Mukim dan lain-lain) dan Papua yang berbeda dalam memandang tata budaya pemerintahan wilayah desa masing-masing. Jadi tidak bisa diseragamkan.

6. Bahasa dan kebudayaan, Bahasa lokal kita pun “dibunuh”. Sejak zaman penjajahan Belanda, kemampuan berbahasa kita hanya diperkenalkan dengan huruf latin, padahal budaya dan Bahasa kita sejak lama hanya mengenal empat Bahasa, Bahasa Arab, Bahasa Melayu, Arab Melayu dan Bahasa Jawa pada kesusasteraan dan tinggalan warisan kerajaan-kerajaan di Jawa sebagai lingua franka (Bahasa pengantar). Ada kecenderungan Bahasa daerah “dibunuh” sedemikian rupa sehingga tidak lagi menjadi basis pengantar Bahasa di daerah. Padahal akan menarik sekali ketika misalnya temuan-temuan ilmiah kita di daerah disampaikan dalam Bahasa Madura misalnya.

7. Belajarlah dari kebudayaan orang Jepang yang amat memperhatikan perkembangan Bahasa. Restorasi Meiji di Jepang justru memulai dengan memuliakan kebudayaan dan perkembangan Bahasa Jepang. Sehingga saking kuatnya mempertahankan kebudayaan dan Bahasa maka masyarakat di Jepang dari atas hingga ke kalangan bawah mempunyai cara pandang yang sama dalam menghadapi arus perubahan atau modernisasi. Berbeda dengan bangsa kita yang gampang sekali larut atau berubah kepribadian gara-gara arus kebudayaan modern barat yang masuk dan tidak ada filter penyaring kebudayaan, terpokok melalui pertahanan Bahasa unggul.

8. Kita hendaknya tidak meremehkan perihal pertahanan budaya melalui Bahasa, juga Kesusastraan. Substansi Bahasa ada dalam Sastra. Kalau Bahasa bisa dipertahankan dengan baik, maka kemampuan berbahasa anak bangsa bisa digunakan dengan baik untuk berekspresi dan berpikir. Karya-karya sastra unggul jaman dulu lahir dari kemampuan berbahasa yang tinggi dari para pendahulu kita. Tentu saja budaya literasi tidak hanya bicara masalah budaya tulis yang memang harus ditingkatkan kembali tapi juga budaya Literasi menjadi baca dan tulis. Hal itu merupakan tanggung jawab lembaga Bahasa dan keseimbangan dalam lembaga pendidikan. Ulama-ulama Nusantara dulu menulis kitab-kitab unggul dalam 4 bahasa. Bahasa Arab melayu, Persia, Jawa dan Madura. Ulama di Madura bisa menterjemahkan Al Quran dalam bahasa Madura.

9. Sayang perkembangan Bahasa kita tidak diakomodasi oleh lembaga-lembaga pendidikan kita. Pelajaran Mengarang, Tatabasa, Membaca buku sebanyak-banyaknya dalam cerita-cerita rakyat bagi anak-anak, membaca informasi di surat kabar dan lain-lain adalah bagian dari strategi pertahanan melalui Budaya Literasi. Jadi tidak seperti sekarang yang melulu bicara spectrum politik dalam setiap sendi kehidupan sehingga pembelahan masyarakat kita semakin parah. Bahasa Inggris yang diajarkan dan dikuasai bangsa kita juga bahasa Inggris tidak bermutu dan kacau, bukan Bahasa Inggris kelas ilmiah yang meninggikan martabat berbahasa.

10. Masa depan tidak bisa diprediksi dengan tepat. Masa depan bisa dimengerti dengan melihat masa lampau. Intipati kebudayaan itu selalu kreatif dan ada 3 intipati yakni 1. Kecerdasan. 2 Kebajikan, 3. Kreatifitas.                                                                  Selama itu dipelihara oleh bangsa kita maka kita akan bisa bersaing menjadi bangsa besar. Bijaksana dengan mengambil pelajaran dari masa lampau, pelajari sastra dan apa yang berkembang di masyarakat. Kisah Mahabharata dikenal secara luas dalam masyarakat Indonesia, tidak hanya suku Jawa. Tapi Mahabharata memang menjadi modal budaya Jawa. Hal itu justru harus dijadikan pijakan moral sebagaimana bangsa Jepang juga mempertahankan dan mengembangkan Kebudayaan dan bahasanya.*** (AME/JAKSAT)