Garuda Indonesia Luncurkan Livery Pesawat `Bermasker` dalam rangka mendukung gerakan`Ayo Pakai Masker` untuk upaya pencegahan dan penanganan wabah Covid-19 di Indonesia.(Foto:Istimewa)

Oleh Imam Wahyudi *)

Tragedi! Sapaan pas Garuda Indonesia hari-hari ini. Terkesan ada yang ditutupi. Tapi sudah tak bisa lagi. Tragedi yang tampak tak mudah beroleh solusi. Malah potensial meledakkan bola api.

Bagai dramaturgi yang tiba-tiba menganga ke permukaan. Publik bengong. Seolah hendak “ngajak” memikul beban bersama. Ya, lantaran maskapai plat merah itu bermodal dengkul. Giliran merugi, lantas dramatisasi megap-megap — tinggal menengadah tangan. Ada spasi Penyertaan Modal Nasional (PNM). Tradisi tanpa solusi. Uenaaakk tenan.

Atasnama alasan pandemi, berteriak merugi. Pada gilirannya menjadi beban utang. Tak tangung-tanggung. Merugi alias utang sudah mencapai lebih Rp 70 Triliun. Selimut pandemi dimaklumi, dianggap lebih bisa dimengerti. Sementara pihak, malah menduga terpapar korupsi. Tak semata pandemi yang memang memicu dampak merugi. Slot penerbangan terbatas. Jumlah penumpang pun minus drastis.

*

Sekali lagi, tragedi! Kabar merugi bin utang, berlanjut skenario. Garuda Indonesia terancam pailit. Lantas mau drop dan berganti nama Pelita Air. Sependek itu tak ada suara pihak yang mesti bertanggungjawab. Sebutlah jajaran direksi, bahkan komisaris. Terkesan cuma menumpuk berkat bulanan. Jauh dari kepatutan. Ya, tadi — lantaran sumber dana relatif “mudah”.

Penulis rasanya tak perlu menukik jauh. Tak setingkat analisis kaliber Alvin Lie, sang pengamat penerbangan itu. Cukuplah menyoal aspek profesional yang berlangsung di ruang manajemen Garuda Indonesia. Betapa pun “biaya tinggi” operasionalnya.

Garuda Indonesia adalah segmentasi gengsi. Tak soal harga tiket berlipat mahal. Jangan bandingkan maskapai lain yang notabene “swasta”. Terlebih penerbangan “low cost carrier”.

Biaya operasional pesawat, konon mencapai 70 prosen dari pendapatan. Meliputi biaya (tinggi) sewa pesawat, perawatan (maintenence) dan bahan bakar. Plus sistem layanan yang berbeda. Alhasil profit dari penumpang tak lebih dari 5 prosen. Selebihnya dari aktivitas kargo.

Apa pun, Garuda Indonesia kadung babak belur. Tak kecuali, menghadapi perkara hukum. Berupa gugatan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dari sejumlah mitranya. Pengadilan (masih) menolak gugatan yang berpotensi dinyatakan pailit.

Lolos gugatan berkonsekuensi utang membengkak. Sudah lebih Rp 7 (tujuh) Triliun. Andai berujung pailit, sangat berdampak pada reputasinya. Adalah Garuda Indonesia sebagai “national flag carrier”. Sebelumnya Garuda Indonesia Airways (GIA). Garuda Indonesia sudah berkibar 36 tahun, sejak 1985. Kini, bak “hidup segan mati tak mau”. Senada, “maju tatu, mundur ancur”. Berat alias sekarat. Stadium akut yang perlu penanganan level ICU (intensive care unit). Setingkat di atas UGD (unit gawat darurat). Butuh penyelamatan.

Lantas, skenario berganti nama. Belum tentu pas. Pilihannya menjadi Pelita Air, anak perusahaan Pertamina. Mirip men”cangkok” tanaman. Mendongkrak dengan cara merangkak. Bersamaan itu, reputasi Garuda Indonesia pun sirna. Mirip crash landing. Tragedi!

*) Wartawan senior di Bandung.