Salamuddin Daeng, Pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)/IST

OLEH SALAMUDDIN DAENG

1. Dengan program B30 saja Pertamina akan menyerap 10 juta ton minyak sawit nilainya sekarang 170 triliun rupiah lebih. Sebuah pasar yang bersifat pasti karena bersifat wajib dan ditetapkan melalui regulasi pemerintah. Apalagi Pertamina banyak sekali duitnya. Pertamina juga punya program global bond hingga 20 miliar dolar atau sekitar 500 triliun rupiah.

2. Para taipan sawit tidak perlu membangun industri pengolahan biodisel sendiri atau menjual minyak goreng campur Solar sendiri. Ada Pertamina yang akan membelinya. Dengan demikian melalui penguasa Pertamina bisa ditekan membeli dengan harga berapapun. Beres ini barang.

3. Bayangkan pasar minyak sawit campur Solar versi Indonesia Jokowi Pertamina ini adalah agenda transisi energi versi Jokowi Pertamina. Pasar ini bersifat captive karena disediakan oleh negara.

4. Ini agenda bisa sekaligus dalam rangka menyelamatkan para taipan sawit dari gempuran pemboikotan pasar Eropa dan negara lainnya. Sehingga sepanjang oligarki Indonesia masih kuat bertarung menghadapi agenda climate change maka pasar minyak sawit Indonesia akan berjaya.

5. Pasar ini akan naik nanti karena Jokowi Pertamina akan menyerap lebih dari 35 juta ton minyak sawit untuk program B100. Kalau dikalikan dengan harga sekarang maka nilainya mencapai 521 triliun rupiah. Itu sama dengan separuh pendapatan pajak negara Republik Indonesia.

6. Jika bisa dihindari jangan sampai ada harga DMO minyak sawit dalam negeri maka Pertamina harus tetap membeli dengan harga pasar. Dengan demikian maka sebagai trader sawit mener tidak perlu menanggung resiko.

7. Dengan pasar senilai 500 triliun lebih yang sangat pasti yakni dibeli Pertamina maka bisa perusahaan trader sawit langsung IPO maka akan ada aliran duit gede dari pasar keuangan. Selain itu bisa menambah utang dalam jumlah besar dan dipercaya pemberi utang karena pasar bersifat pasti.

8. Sebagai trader sawit juga bisa meminta bagian dana subsidi iuran sawit yang sekarang dikumpulkan pemerintah untuk pembinaan pengusaha sawit. Maka selain dapat pasar yang captive juga mendapatkan subsidi dari negara.

9. Karena trader sawit bersifat oligopolistik maka bisa mengatur harga. Jadi sudah bisa mengatur pendapatan dan secara keuangan menjadi nol resiko. Bisnis semacam ini hanya butuh biaya ngopi ngopi dengan pembuat kebijakan.

10. Ke depan bisa membangun industri otomotif yang khusus menyerap BBM jenis solar campur Minyak Goreng ini. Karena konon mesin yang ada sekarang agak kurang cocok dengan jenis BBM ini. Tinggal pake regulasi maka bisnis otomotif ini akan bisa segera berjaya.

11. Maka dengan pembangkit listrik Jokowi 70 persen Batubara, ditambah nanti pertamina beli 100 juta ton Batubara untuk ganti LPG, dan sawit 30 juta ton untuk solarisasi sawit. Sehingga ini nanti pertemuan G20 kalau bisa di lokasi IKN yang baru mudah mudahan sudah terbangun, supaya Jokowi bisa pamerkan Batubara dan sawitnya pada dunia sebagai penopang energi nasional.

12. Walaupun uni eropa sudah secara tegas menyatakan bahwa pencampuran minyak goreng dengan solar atau Bio Diesel bukan merupakan agenda transisi energi dan bukan energi terbaharukan, cuek ajalah, nanti uni eropa tidak usah dibagikan uang 100 miliar dolar biaya climate change yang sekarang di bawah penguasaan dan pengelolaan Indonesia.

13. Memang mega proyek Solarisasi Sawit ini akan membuat Pertamina buntung, sebab jika di dalam biodisel B30 maka ada 30 persen minyak goreng, maka berarti ada Rp. 6000 didalam solar biodisel, kalau harga bio diesel Rp. 9000 maka Pertamina mensubsidi Rp. 2700 atau bahasa lain Pertamina rugi Rp. 2700. Nah kalau kebutuhan minyak sawit Pertamina 10 juta KL maka Pertamina rugi 27 triliun. Tapi ini gampang, jika Pertamina bangkrut, maka tinggal disuntik dana dari APBN. Toh sekarang kata Sri Mulyani penerimaan pajak melampoi target. Benar?

Ngono Sinuhun.