Oleh : Salamuddin Daeng
Ini yang ditakutkan pemerintah. Menyongsong G20 awal Desember nanti, yang salah satu agenda utamanya adalah transisi energy. Bagaimana Jokowi G20 Presidency mau membanggakan diri dalam tema transisi energy kalau dia sendiri masih memberikan subsidi energy fosil sangat besar.
Subsidi yang paling mencolok adalah subsidi BBM dan LPG. Nilainya bisa menembus 500 triliun rupiah lebih. Hampir separuh penerimaan pajak pemerintah atau hampir dua kali lipat dari penerimaan PNBP atau hampir 3 kali penerimaan PNBP sumber daya alam. Ini akan membuat Pemerintah Indonesia kehilangan muka.
Ini tentu belum ternasuk subsidi energi fosil batubara dalam masalah listrik. Sementara di listrik sendiri 70 persen kapasitas pembangkit nasional disupply dari pembangkit batubara. Ditambah lagi dengan skema wajib beli (TOP) oleh PLN atas pasokan pembangkit batubara. Bagaimana menjelaskan kepada dunia bahwa transisi ini relevan.
Apakah pembicaraan dalam G20 yang akan dipimpin Indonesia akan menjadi omong kosong saja. Ini adalah agenda yang menyedot anggaran negara, menggunakan APBN, bagaimana mungkin membuang buang uang untuk makan enak sambil omong kosong (meok). Apakah agenda transisi energi itu adalah agenda menipu orang atau agenda menipu diri sendiri?
Padahal sejak COP 26 Paris Indonesia telah membangun komitmen besar kepada global akan pengurangan emisi. Ini erat kaitanya dengan sumangan global sebesar 100 miliar USD bagi pemulihan iklim dengan agenda penurunan emisi global. Uang ini akan diarahkan bagi investasi iklim, penciptaan lapangan kerja baru, pertumbuhan ekonomi baru dalam tema _green growt_.
Bagaimana uang 100 miliar dolar nanti akan digunakan oleh presiden Jokowi untuk mensubsidi BBM. Apakah bisa Indonesia menipu dunia dengan pencitraan di media, namun faktanya subsidi energi fosilnya adalah bagian terbesar dari seluruh uang yang bisa dialokasikan bagi pembangunan dan pemgentasan kemiskinan.
Bagaimana Indonesia akan dihormati sementara belum pernah dalam sejarah mengalokasikan uang sebesar Rp. 500 triliun rupiah bagi kaum miskin. Tapi mengalokasikan uang sebesar itu untuk mensubsidi pengusaha sawit dan tambang pengguna subsidi dan memfasilitasi perdagangan solar gelap dan solar palsu karena adanya disparitas harga yang besar dengan solar subsidi.
*Kalau begitu agenda G20 sebaiknya dijadikan sebagai agenda Meok saja. Agenda makan enak omong kosong, ngalor ngidul gak ada juntrungannya.. Jangan jangan agenda transisi energi G20 Indonesia Presidency ini tidak menakutkan, hanya memalukan saja.*