Salamuddin Daeng, Pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)/IST

Oleh : Salamuddin Daeng

Baru baru ini pemerintah telah menyampaikan nota keuangan dihdapan DPR. Seperti biasa nota keuangan yang disampaikan berisi asumsi asumsi. Kebetulan semua asumsi yang disampaikan selalu salah alias jauh panggang dari api. ini kalau peramal, maka gelar pemerintah bisa dikatakan peramal palsu. Sebenarnya tidak punya kemampuan meramal, namun memaksakan diri.

Misalnya tahun 2022 pemerintah buat asumsi harga minyak 60 dolar per barel, faktanya harga minyal tembus 120 dolar per barel. Demikian juga asumsi nilai tukar juga salah telak jauh. Akibnatnya yang lain ikut salah. Nilai subsidi BBM salah, nilai subsidi listrik salah, dan lain sebagainya.

Sekarang pemerintah membuat lagi asumsi. Mari kita lihat asumsinya :

– Sejalan dengan harga minyak mentah global, ICP tahun 2023 diperkirakan berada pada kisaran US$90 per barel.
– Dengan berbagai tantangan dan peluang tersebut, secara umum rata-rata nilai tukar rupiah tahun 2023 diasumsikan akan bergerak pada kisaran Rp14.750 per dolar AS.
– Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 5,2 persen.
– Dengan berbagai faktor-faktor, laju inflasi 2023 diperkirakan mencapai 3,3 persen (yoy), berada dalam rentang sasaran inflasi 3,0 ± 1,0 persen.

Jika melihat asumsi di atas maka tampak sebagai karangan bebas. Bagaimana mungkin keadaan sangat dinamis, namun asumsinya normal normal saja, seolah dunia tidak sedang perang, tidak ada issue transisi energi, tidak ada climate change, semua normal wajar. Jika dilihat seharusnya asumsi tersebut tidak usah dibuat karena hanya mengacaukan pikiran mereka sendiri.

Sejak semula begitu pemerintah membuat asumsi, maka setelah itu langsung membuat kesalahan. Kesalahan pertama adalah menghitung subsidi BBM. Dikatakan bahwa perhitungan anggaran subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg tahun 2023 tersebut menggunakan asumsi dan parameter, antara lain: (1) nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan ICP; (2) subsidi terbatas minyak solar.

Kalimat berikutnya langsung salah. Membuat parameter subsidi terbatas terhadap solar. Nilainya sebesar Rp1000/liter. Pembuat angka subsidi solar Rp. 1000/liter pasti tidak tau dari mana angka Rp. 1000 rupiah per liter tersebut. Kalau menetapkan nilai subsidi Rp. 1000/liter, buat apa bertele telah membuat asumsi harga minyak mentah dan nilai tukar. Berapapun harga minyak mentah dan nilai tukar tetap saja subsidinya Rp. 1000/liter. Hampir pasti ini linglung.

Di atas kesalahan itu lalu dijalankan aksi lain yang lebih konyol adalah menghitung nilai subsidi yang diberikan. Mulai dari asumsi bahwa harga minyak naik menjadi 90 dolar per barel, nilai tukar Rp. 14.750/USD. Tapi subsidi BBM malah menurun dari Rp. 149 triliun menjadi Rp. 138 triliun. Sementara volume distribusi BBM meningkat.

Misalnya volume BBM jenis solar sebesar ditetapkan sebanyak 17,0 juta kiloliter dan minyak tanah sebesar 0,5 juta kiloliter; dan (4) volume LPG tabung 3 kg sebesar 8,0 juta metrik ton. Semuanya naik dibandingkan tahun 2022. Tetapi anggaran subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg dalam RAPBN tahun 2023 direncanakan sebesar Rp138 triliun atau lebih rendah 7,4 persen apabila dibandingkan dengan outlook tahun 2022 sebesar Rp149 triliun.

Ini sebetulnya bahasa sederhananya adalah mengurang subsidi cukup besar. Misalnya dari sisi volume saja sudah ngaco. Jika tahun 2022 subsidi 149 triliun untuk 70 juta KL BBM pada tingkat harga minyak 62 dolar per barel dan nilai tukar Rp. 14000/USD. Sekarang sisa subsidi 138 triliun untuk subsidi 75 juta KL BBM pada tingkat harga 90 dolar per barel dengan kurs Rp. 14750/USD. Memang ini menimbulkan kesan bahwa ini pengurangan subsidi hanya Rp. 11 triliun. Padahal pertanian digenjet menjual BBM lebih banyak. Faktanya saja seksrang sudah over kuota. Kuota BBM jebol!

Sebetulnya ini adalah pengurangan subsidi yang sangat besar, namun tidak mau dinyatakan secara terus terang. Kesan yang timbul subsidi turun 11 %, faktanya subsidi turun 14%. Jika dihitung berdasarkan harga minyak dan nilai tukar maka akan terjadi pengurangan subsidi BBB yang lebih besar lagi dalam APBN 2023 tersebut. Tapi sebetulnya percuma juga pake sistem subsidi toh nantinya kompensasi BBM bisa berlipat ganda dibandingkan subsidi itu sendiri. Jadi ini APBN konyol konyolan aja.***