JAKARTASATU – Diskusi foto bertajuk ‘Fotografi Alam Liar” yang diadakan oleh Mahasiswa Universitas Nasional bersama WWF memenuhi Loop Station, Jl. Mahakam No 1, Jakarta Selatan pada (22/9) lalu. Lebih dari 60 peserta yang datang dari para mahasiswa, pelajar, dosen, beberapa media dan para undangan lainnya menyimak diskusi yang cukup menghipnotis para partisipan ketika menikmati foto-foto dan video yang ditampilkan. Fotografer kawakan Alam liar, Alain Compost, yang berkebangsaan Perancis namun fasih berbahasa Indonesia itu, telah banyak merekam satwa liar dan dan hewan langka seperti Badak di Indonesia.
Badak adalah salah satu spesies langka yang dilindungi pemerintah dan menjadi konservasi dunia. Sebelum masuk pada acara diskusi untuk trend issue yang ‘seksi’, sore itu, CEO WWF, Efransyah membuka dengan lebih dekat memperkenalkan Badak melalui ciri-cirinya. Penggambaran tubuh padat, berkulit tebal dan kasar, berbadan besar dan berat yang mencapai antara 1000kg -2000kg. Badak termasuk dalam keluarga mamalia, berkuku ganjil dengan ciri khasnya mempunyai tanduk di hidung yang disebut cula. “Badak lebih aktif di malam dan pagi hari, memiliki sifat pemalu, soliter dan tidak suka kawin. Sehingga sulit untuk menambah populasinya untuk berkembang biak. Badak juga sulit mengenali lingkungannya sehingga sering tersesat, satu-satunya sebagai penanda melalui air kencingnya. solidaritas kita diperjuangkan. Untuk ,konservasi. Saat ini ada 60 ekor di ujung kulon dan 140 ekor di taman Nasional Lauser, Aceh,” jelasnya .
Dekan fakultas Biologi Unas, Imran SL Tobing mengatakan, kekayaan kita banyak yang punah termasuk Badak Jawa yang merupakan 1 dari 5 spesies yang terancam di dunia. Karena langkanya hewan ini ditambah tidak suka kawin dalam kurun 5,5 tahun (dari tahun ’60) pertambahan populasinya hanya sekitar 9 ekor saja melahirkan anak Badak. “ Saya berharap bertambah karena memang bertambah populasinya dan bukan dikarenakan banyaknya ancaman, seperti yang terjadi di Sumatra, karena habitatnya yang rusak dan sudah ter-spot spot karena ulah manusia, Kita harus dapat pertahankan habitatnya dengan baik agar dapat berkembangbiak” ujar Imran yang meneliti kencing dan tahi Badak pada tahun ’73.
Diskusi yang akhirnya mengetengahkan Alain Compost diperkenalkan oleh Pemimpin Redaksi Nasional Geographic Indonesia, Bayu Dwi Ardhana. Pria berambut gondrong itu pernah berhari-hari tak mandi karena ingin dapat memotret Badak. Konon diyakini, kalau mau memotret badak dianjurkan berbau badan tak sedap alias tak mandi. Alain Compost menyampaikan, Kelangsungan hidup Badak di Sumatera, jauh lebih mengkhawatirkan dibandingkan yang ada di Ujung Kulon. Meskipun ada cagar alam, namun para pemburu Badak bisa masuk untuk memburu. Hal inilah yang menyebabkan kenyamanan Badak berkurang disamping kebakaran hutan terjadi di mana-mana yang membuat habitat badak terusik. Namun sanctuary (suaka) memang dirasa penting buat Badak namun tak menjamin juga akan terjadi perkawinan di sana.
Pergumulan Badak kawin ditandai dengan adanya musim cempedak di hutan. Aroma harum wangi buah cempedak yang jatuh membuat para Badak bertina dan jantan berkumpul dan makan bersama. Buah cempedak yang kaya nutrisi dan protein ini memberi rangsangan bagi Badak jantan dan betina menjadi birahi yang menyebabkan mereka kawin. “Tapi kalau sekarang ini, mana ada tempat bagi mereka untuk bertemu di alam liar dalam keadaan damai dan tenang,” Tanya Alain Compost. Sebelum menjadi fotografer, ia sempat bekerja sebagai pengurus inatang di kebun binatang Perancis. Saat melihat Badak, ia merasa kasihan karena terkurung di dalam kandang. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk alam dan diputuskan untuk ke Indonesia pada tahun 1978, dan menjadi fotografer untuk bisa memberikan kontribusi. Badak Jawa menjadi tantangan baginya karena tidak berinteraksi.
Saat Alain membidik Foto badak yang menyeruak di kehijauan dedaunan Ia harus menunggu berjam-jam bahkan berhari-hari lamanya. Foto yang didapatkan adalah buah kesabarannya menunggu selama 11 hari di Ujung Kulon dengan menggunakan FM2 nikon film slide 125 F28 lensa asa 400 dengan film fuji di tahun ‘86. Bersama dengan 5 orang timnya, ia juga berhasil membuat film dokumenter saat hujan deras pada waktu pagi hari. Dikejauhan 6-7 meter dengan menggunakan perahu karet, film berdurasi lebih kurang 30 menit itu merekam seekor Badak yang berusia sekitar 15-20 tahun yang sedang mandi dan berendam dalam lumpur. Ia terus berkubang hingga selesai dan berusaha naik ke atas namun merosot jatuh kembali ke kubangan karena licin, dan berusaha naik lagi. Tontonan apik dan segar itu membuat tertawa siapa saja yang melihatnya.
“ Untuk memotret Badak ada hal yang harus diperhatikan, kita harus dapat mengikuti arah mata angin. Jangan terlalu dekat dengan objek karena jarak antara 15-20 meter, Badak bisa mendengar, sehingga kita akan kehilangan objek kita dan Badak tak mau datang lagi. Perhatikan saat memotret badak, usahakan jangan berisik karena mereka mudah terganggu, kalau merasa terancam, dia akan lari meskipun tidak jauh dari tempat semula. Intinya, jangan sampai kita membuat kedamaiannya terganggu,” jelasnya memberikan tips memotret Badak.
Untuk mendapatkan foto dan film itu Alain berada di lokasi selama 3 minggu lamanya. Badak memiliki mata yang rabun dan kurang awas penglihatannya, tapi penciumannya sangat tajam. Indonesia memiliki warisan dunia yang tiada tara nilainya. Kita boleh berbangga Fotografer kawakan berkebangsaan Perancis yang menetap di Indonesia ini mencurahkan perhatian dan kecintaannya pada flora dan fauna Indonesia dengan alam liarnya. Semoga dengan melihat karya-karyanya, mengilhami masyarakat Indonesia khususnya para fotografer menjadi Alain Compost baru yang lahir dari orang pribumi Indonesia. Di tanah hijau yang mulai tandus dan meranggas ini, ketika habitat alam liar perlahan musnah. (SUN/GE)