JAKARTASATU – Kisruh sampah Jakarta terus berlanjut dan semakin terlihat lucu karena Gubernur DKI Jakarta Ahok cenderung bersikap emosional—sementara warga Jakarta setiap hari terus menghasilkan sampah. Pada Kamis ini (12/11), misalnya, bagai sikap majikan kepada buruhnya, meminta, PT Goedang Toa Jaya (GTJ) bersiap memindahkan semua perlengkapan pengolahan sampahnya dari Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
GTJ dinilai Ahok wanprestasi dan belum melakukan perbaikan hingga sekarang. Pemprov DKI dipastikan memutus kontrak dengan Goedang Toa dan mengambil alih pengelolaan TPST Bantargebang. “Kalau kamu enggak mau angkut mesin-mesin punya kamu, nanti kami kenakan charge,” ujar Ahok di Balai Kota DKI.
Ia juga kembali mengingatkan Goedang Toa mengenai hal yang membuat DKI mempertimbangkan kelanjutan kerja sama. Segala investasi teknologi pengolahan sampah sebesar Rp 700 miliar seharusnya telah diselesaikan pada tahun 2011. Namun, hingga saat ini tidak semua mesin, seperti pembangkit listrik hingga fasilitas pengomposan, terbangun sesuai klausul kerja sama.
Yang juga dipermasalahkan Ahok adalah adanya addendum (perubahan kontrak kerja sama) beberapa kali. Addendum tidak diteken Gubernur DKI, namun pejabat dinas kebersihan dengan pihak Goedang Toa. Hal tersebut menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit Laporan Keuangan DKI Jakarta Tahun 2014. “Penambahan pasal itu salah. Harusnya dilakukan oleh gubernur, bukan kepala dinas kebersihan. Jadi ada apa gitu?” ujar Ahok.
Sebelumnya, Dinas Kebersihan DKI di bawah kepemimpinan Kepala Dinas Kebersihan Isnawa Adjie telah melayangkan Surat Peringatan Pertama (SP 1) pada September 2015. Surat peringatan tersebut meminta Goedang Toa memperbaiki setidaknya sembilan kinerjanya yang dianggap wanprestasi. Jika kesembilan kinerja itu tak kunjung diperbaiki, Dinas Kebersihan DKI akan melayangkan SP hingga SP 3. Kontrak pengelolaan Goedang Toa di TPST Bantargebang diperkirakan berakhir pada 11 Januari 2016 jika tak kunjung ada perbaikan kinerja.
Rencananya, Dinas Kebersihan DKI akan mengambil alih pengelolaan. Di APBD DKI 2016, dinas itutelah menganggarkan pembelian 352 truk sampah. Anggaran tipping feemaksimal sebesar Rp 400 miliar yang biasanya dibayarkan ke Goedang Toa akan dialihkan sebagian untuk keperluan swakelola.
Menurut Ahok, swakelola merupakan solusi terbaik. Daripada DKI terus merugi karena bekerjasama dengan pihak ketiga, lebih baik DKI mengelola sendiri. Selain itu, dari luas lahan Bantargebang sebesar 110,8 hektare, 90 hektare yang dijadikan TPST adalah lahan dengan sertifikat milik DKI. “Kalau tanahnya bukan punya DKI, baru masalah,” tuturnya.
Namun, menurut kuasa hukum Goedang Toa Jaya, Yusril Ihza Mahendra, semua fasilitas yang ada tersebut dibangun di atas lahan milik kliennya, bukan milik Pemprov DKI Jakarta. “Pak Ahok tidak paham kalau seluruh fasilitas instalasi pengolahan milik PT GTJ terletak di lahan milik mereka sendiri, bukan milik DKI yang 108 hektare, untuk menumpuk sampah. Sebagian digunakan PT NOI untuk landfill guna menghasilkan gas metan,” kata Yusril, Kamis.
Jika Ahok memaksa untuk melakukan itu, Yusril menegaskan, persoalan ini bisa menjadi tindakan pidana. “Kalau Ahok memaksa PT GTJ memindahkan mesin-mesin dari lahannya sendiri, tindakan Ahok adalah melawan hukum dan sewenang-wenang,” tuturnya.
Yusril juga menilai, Ahok tidak memahami seluk beluk perjanjian antara Pemda DKI dengan Goedang Toa Jaya dan Navigat Organic Indonesia (NOI) Joint Operation. Karena ketidakpahaman Ahok itu, menurut Yusril, Ahok kerap mengumbar pernyataan yang tidak terkontrol. “Kalau DKI memutus kontrak sepihak, konsekuensinya pemda harus membayar ganti rugi investasi Rp 379 miliar untuk peralatan yang dibangun PT GTJ. Bukan GTJ yang disuruh siap-siap angkat fasilitas pengolahan sampah dari sana,” ujar Yusril lagi.
Mengenai addendum atau perubahan kontrak kerja sama, Yusril menjelaskan memang dulu ditandatangani oleh Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Menurut Yusril, itu tidak perlu lagi dipersoalkan karena telah diatur dalam perjanjian. BPK pun sudah memahami setelah diklarifikasi. “Bukankah surat peringatan 1 yang sekarang dikeluarkan Pemda DKI juga diteken oleh Kadin Kebersihan, bukan oleh Pak Ahok sebagai gubernur? Apa surat peringatan ini perlu diabaikan saja karena dianggap tidak sah karena bukan diteken sama Pak Ahok?” kata Yusril.
Dengan begitu, ancaman Ahok yang mengaku sudah mengeluarkan surat peringatan, menjadi janggal kalau yang dipersoalkan juga surat kerja sama yang diteken Kadin Kebersihan DKI Jakarta. “Kalau memang begitu, ya, bagus juga. Jadi, surat peringatan dianggap tidak ada saja,” ujarnya.