Adhie Massardi /IST

Adhie Massardi : Koalisi, Harusnya Bukan Seperti Ini Tetapi Milih Orang yang Bisa Pikirkan Bangsa

JAKARTASATU.COM– Alasan yang biasanya menyebabkan pembentukan koalisi ialah karena tidak adanya partai yang secara sendirian dapat dapat mencapai mayoritas di parlemen. Selain itu, sebuah pemerintahan koalisi mungkin juga dibentuk dalam masa kesulitan atau krisis nasional, misalnya selama masa perang, untuk memberikan kepada pemerintah tingkat legitimasi politik yang tinggi.

Menurut Adhie Massardi mantan jubir DR. K.H. Abdurrahman Wahid Presiden keempat Indonesia. Di era pasca reformasi karena kita tidak memiliki konsep memilih calon pemimpin nasional. Beda dengan ketika awal kemerdekaan, memilih presiden yang bisa mempersatukan rakyat yang majemuk itulah yang ada pada Soekarno. Kemudian ketika krisis politik 65 rakyat merasa perlu secara fisik, politik, militer lahirlah figur Soeharto. (Jakarta 13 April 2023)

Begitu juga kata Adhie ketika ada ketegangan antara kelompok Islam dan Nasionalis, hadirnya Gus Dur sapaan akrab KH Abduurahman Wahid, masyarakat memerlukan figur yang bisa mendamaikan dan bisa diterima di fihak Islam dan Nasionalis.

Setelah masa itu kata Adhie, kita tidak memiliki lagi konsep orang atau figur seperti apa untuk menjadi seorang presiden. Muncullah pada pilihannya adalah orang yang bisa dipilih. Dari sini muncul koalisi-koalisi, seharusnya bukan seperti ini tetapi memilih orang yang bisa memikirkan bangsanya.

Kemudian lanjut Adhie, seharusnya ketika kita menempatkan pemimpin harus dilihat orang yang akan ditempatkan seperti apa, apa persoalan bangsa ini dan apa yang dibutuhkan rakyat. Misalnya persoalannya kebangsaan kita ini A B C D E, maka kita harus memilih orang yang mempunyai kualifikasi A B C D E. Tidak semua calon pemimpin memiliki kualifikasi A B C D E atau hanya sebagian yang dimilikinya.

Di dalam koalisi-kolasi sekarang ini tidak muncul figur dengan kualifikasi tadi itu. Maka berlomba-lomba membesar-besarkan koalisi agar bisa terpilih. Dalam konteks ini muncullah figur yang paling populer.

“Yang dibutuhkan itu bukan yang populer, yang populer itu malah dalam prakteknya sering mengalami drop. Sama halnya dengan dunia pop, politik kita itu sedah memasuki dunia pop. Populer di dunia tik tok, media sosial maka ini dianggap layak jadi presiden. Maka tidak bertemu dengan persoalan-persoalan bangsa ini dalam urusan ekonomi, keadilan, politik, ketatanegaraan. Persoalan-persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan oleh figur populeritas. Kita sampai hari ini mengalami dunia pop,” jelas Adhie

Dengan koalisi yang dibangun Joko Widodo kata Adhie, tidak mengasilkan untuk menghadapi, mengatasi persoalan-persoalan kebangsaan. Juga SBY yang popuer tidak menghasilkan sebagaimana adanya persoalan-persoalan kebangsaan. Apakah kita akan mengulangi lagi ?.

Untuk tidak terjadi koalisi-koalisi jalannya menghilangkan PT 20.

Ia juga mengatakan tidak semua masyarakat mengharapkan pemimpin pilihannya yang ada di dalam koalisi. Persoalan PT 20% agar di nol-kan dan hal itu ternyata tidak bisa diterima oleh partai-partai dengan berbagai alasan. Padahal kalau PT 20% itu dihilangkan mereka menjadi susah berkoalisi. 50% partai yang ada kan sebenarnya tidak menginginkan calon presidennya berasal dari pilihan koalisi.

“Sejauh berkoalisi masih hanya untuk menang-menangan maka tidak akan mencapai kepemimpinan yang memiliki kualitas, integritas,” ujarnya

Bilakah terjadi reshuffle apa dampak kepada partai koalisi?

Menurut Adhie sampai hari ini yang nampak seakan-akan sudah matang dari koalisi 3 Partai yaitu Nasem, Demokrat, PKS yang mencalonkan Anies Baswedan. Sementara di luar partai-partai tersebut tidak menginginkan Anies. Ada yang dengan cara kriminalisasi, dipersoalakan oleh KPK, menggembosi partai yang ada di koalisi pengusung Anies.

Dalam perkiraannya, cara menggembosinya ada dua macam pertama dengan ditarik, dibayar untuk meninggalkan koalisi. Dibayar itu dengan diberi uang atau jabatan. Jika ada resuffle diberi jabatan untuk meninggalkan koalisi. Padahal kan itu hanya 1 tahun saja. Apakah cara ini benar?. Padahal kan kalau konsisten, jika Anies goal bisa punya jabatan 5 tahun. Kedua, yaitu merusak di dalam salah satu partai yang ada di koalisi. Diadudomba, dipermasalahkan secara politik sehingga tidak bisa ikut dalam pemilu.

“Saya melihatnya kemungkinan ini terjadi pada Partai Demokrat. Seolah-olah ada dua partai Demokrat kemudian KPU akan minta mana yang legal, atau didamaikan dulu. Damainya sampai kapan ? Bisa juga dua-duanya didiskualifikasi,” kata Adhie.

Ia melihat politik hari ini bukan dasar kecintaan kepada rakyat sehingga pemimpin yang dipilih yang dibutuhkan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat, memperjuangkan kepentingan rakyat.

Menurutnya, politik sekarang memilih karena kebencian. Karena benci kepada di A maka memilih si B. Politik menumpahkan kebencian bukan dasar kecintaan. Setelah reformasi ini politik kebencian. Sudah pasti dasar seperti ini tidak sehat dan tidak akan menghasilkan apa-apa buat bangsa ini. Terus aja gaduh karena sibuk menumpahkan kebencian.

“Kita berdarah-darah, mengabiskan uang hanya untuk memilih pemimpin yang akan ditumpahi kebencian, disumpah serapahi kebencian. Jadi demokrasi kita ini demokrasi yang hanya memilih pemimpin untuk dimaki-maki. 2014, 2019 seperti itu, baik itu di DPR, legislatif, yudikatif itulah yang selama ini ini terjadi. Apakah kita mau mengulang di 2024 ?,” kata Adhie

Menanggapi isue bahwa Megawati memilih Ganjar dan itu hanya pendapat para politisi bukan resmi dari ketua Umum PDIP Megawati.

Menurut Adhie Massardi partai-partai tidak memiliki konsep pemimpin yang berkualitas, integritas, hanya memilih berdasarkan elektabilitas padahal yang elektabilitas itu bisa dibuat. Yang penting itu bukan siapa yang dipilih Megawati tapi apa yang dipilih Megawati, untuk apa yang dipilih Megawati.

“Untuk menghindari calon pemimpin yang hanya untuk ditumpahi kebencian, perlu ada pembenahan partai politik. Persoalannya apakah partai politik mau dibenahi ?,” tanyanya

Dalam pandangan Adhie, Civil society tidak kompak, bersatu.

“Kalau civil sociaty bersatu, partai politik masih bisa diajak bicara. Misalnya, Parpol yang anti gender, kalau civil society bersatu maka parpol bisa menempatkan gender berperan di politik. Ada undang-undangannya 30% untuk perempuan punya peran. Juga kesempatan anak muda punya peran. Civill society bisa meminta parpol agar tidak mencalonkan politisi busuk.”

“Kalau civil society kompak kita bisa menekan parpol agar memilih pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan bangsa,” tandasnya

Menurut Adhie tokoh seperti Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo luput dari perhatian parpol, tokoh ini mengerti dan tahu kebutuhan bangsa. Harusnya parpol menawakan tokoh ini kepada publik yang bisa memenuhi kebutuhan bangsa bukan memenuhi kebutuhan partai.

Ia mengadaikan adanya kekompakan di masyarakat , teman-teman civil Society. Kalau civil society kompak, sebenarnya partai politik akan takut terhadap civil society. Celakanya civil society terjebak dalam euporia eleltabilitas. Seharusnya kita beropeintasi kepada kualitas, kapabilitas, integritas.

“Dampak dari pemimpin berdasarkan elektabilitas, produk pemilu yang menekankan elektabiltas bukan kapabilitas, kualitas, integritas yang akhirnya menempatkan orang-orang di berbagai sektor berunsur korupsi, tidak sehat karena tidak bertugas sesuai konstitusnya. Mereka dipilih tidak sesuai kebutuhan bangsa,” pungkasnya.

Yoss/Jaksat