PPMI Sebut Partai Buruh Tidak Sejalan dengan Perjuangan Buruh
JAKARTASATU.COM – Partai Buruh yang menjadi basis suara buruh dalam perpolitikan yang dipimpin oleh Said Iqbal, diperkirakan akan gagal sebagaimana partai-partai buruh sebelumnya.
Demikian pendapat Daeng Wahidin Presiden Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) saat bincang santai di Islamic Center Majalengka, Jawa Barat, Rabu (10/5/2023) malam.
“Awalnya, kita menyambut positif pendirian Partai Buruh sebagai langkah objektif dan maju, karena saat ini kan buruh tidak punya saluran politik yang dapat digunakan untuk memperjuangkan kesejahteraan buruh,” kata Daeng.
Namun, lanjut dia, dalam perjalanannya Partai Buruh ternyata tidak sesuai ekspektasi, bahkan melenceng dari arah perjuangan dan harapan buruh. Hal itu karena Partai Buruh menyatakan mendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai Capres di Pemilu 2024, tetapi di sisi lain tetap menyatakan menolak UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
“Akhirnya, yang kita lihat saat ini dari Partai Buruh adalah adegan-adegan yang tidak bisa kita percaya,” katanya.
Daeng menyebut ada tiga alasan mengapa kebijakan Partai Buruh mendukung Ganjar tidak sejalan dengan perjuangan buruh.
1. Ganjar adalah kader PDIP, partai pengusung utama UU Cipta Kerja;
2. Ganjar diendors oleh Presiden Jokowi, figur yang menerbitkan Omnibus Law yang kini berlaku UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja; dan
3. Ganjar termasuk kepala daerah yang patuh melaksanakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan produk turunan UU Nomor 11 Tahun 2020 yang telah ditetapkan inkonstutisional bersyarat oleh MK.
“Akibat kepatuhan Ganjar dalam melaksanakan PP 36, upah minimum di Jawa Tengah pada 2023 ini termasuk yang terendah di Indonesia, karena UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) tertinggi hanya Rp3,06 juta di Kota Semarang, dan yang terendah Rp1,97 juta di Kabupaten Sragen,” terangnya.
Menurut Daeng, kalau Ganjar memang peduli pada nasib buruh, dia seharusnya melakukan terobosan.
“Karena melakukan terobosan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh kan bukan pelanggaran,” katanya.
Daeng mengakui kalau saat rapat pleno DPP PPMI beberapa waktu lalu, anggota telah diinstruksikan agar tidak Golput saat Pileg dan Pilpres 2024, tetapi juga telah disepakati untuk tidak memilih partai yang mendukung UU Cipta Kerja dan juga tidak memilih Capres yang partai pengusungnya merupakan pendukung UU Cipta Kerja.
“Tapi kalau nanti ternyata dari semua Capres yang berkontestasi di Pilpres 2024 tidak ada yang clear dari partai pendukung UU Cipta Kerja, kami sarankan pilih yang mudharatnya paling kecil,” katanya.
Ketika ditanya soal kekuatan Partai Buruh versus konfederasi dan federasi yang tergabung dalam Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) di mana PPMI juga bergabung, Daeng mengatakan sangat jauh.
“Yang saya tahu ada tiga konfederasi yang bergabung dengan Partai Buruh, yaitu KSPI, ORI yang merupakan representasi KSPSI Andi Gani Nena Wea, kemudian KPBI dan petani. Jumlah konfederasi di KSPI Andi Gani kalau tidak salah ada 9 atau 11,” jelas Daeng.
Sementara itu, konfederasi dan federasi yang tergabung dalam KSPSI pimpinan Jumhur Hidayat ada 30 lebih, antara lain PPMI, SPSI ’92, GOBSI, SPRI, Serikat Pekerja Nusantara, Gaspermindo, dan lain-lain.
“Jadi, kalau mau dihitung dalam jumlah massa pun, jumlah massa AASB jauh lebih banyak,” tegas Daeng.
Partai berbasis buruh mulai muncul setelah Orde Baru tumbang pada 1998. Salah satunya adalah Partai Buruh Nasional (PBN) yang dibentuk pada 28 Agustus 1998, dan diketuai Mochtar Pakpahan. Ketika mengikuti Pemilu 1999, partai ini gagal masuk parlemen karena hanya meraih 111.629 suara.
Lima tahun kemudian atau pada 2004, PBN berganti nama menjadi Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), tapi juga gagal masuk parlemen karena hanya mendapat 636.397 orang atau hanya 0,56%.
PBSD kembali gagal masuk parlemen karena pada Pemilu 2009 hanya mendapat 265.203 suara, jauh di bawah perolehan suara Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) yang mendapat 745.625 suara. l Mat