Drama Politik & Peluang ARB Menjadi Capres 2024

*MN LAPONG*
(Direktur LBH ForJIS)

Apa ada drama Copras-capres seheboh Anies Rasyid Baswedan (ARB)? Jawabnya tentu tidak ada. ARB adalah tokoh Copras-capres yang paling menyita perhatian publik dan fenomenal, karena dia bukan dari kalangan partai dan bukan dari koalisi pemerintahan yang berkuasa seperti PS dan GP. ARB adalah Copras-capres murni pilihan kaum oposisi, yang jelas bukan dari kader partai apalagi sebagai Bos’ partai.

Dramanya berjilid-jilid, belum selesai drama kasus korupsi BTS yang hinggap di tubuh NasDem sebagai partai terdepan pengusung ARB, yang dianggap oleh para pengamat berpotensi menggagalkan Pencapresan Anies?

Tiba-tiba muncul pernyataan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat memberikan ultimatum ke bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan yang tak kunjung menentukan dan mengumumkan cawapresnya. Demokrat mempertimbangkan untuk mengevaluasi dukungannya kepada Anies jika cawapres tetap tak diumumkan pada bulan Juni, ucap Kepala Bappilu DPP Demokrat Andi Arief yang dihubungi rekan wartawan pada Senin (5/6).

Sejak awal pencapresan Anies Rasyid Baswedan (ARB) sudah menyimpan potensi keraguan atas kendala-kendala yang bakal dihadapi, baik yang timbul dari posisi ARB sebagai “penumpang” (bukan kader partai), dan yang paling mengemuka adalah sosok ARB merupakan hasil diskursus politik pembelahan saat itu antara Cebong dan Kampret yang kemudian berkembang menjadi Kadrun vs Cebong.

Tidak bisa di pungkiri bahwa naiknya ARB mengalahkan Ahok adalah hasil determinasi politik identitas melawan Nasionalis-sekuler di DKI Jakarta yang dimenangkan oleh politik Islam Moderen Non Kultural, yang diawali demo berjilid-jilid dan puncaknya dirayakan di Monas dengan jumlah 7 juta orang kaum Muslim turun menentang Ahok dalam kasus pelecehan surah Al Maidah. Hasilnya Ahok kalah dan masuk penjara, dan ARB naik jadi Gubernur DKI.

Sejak itulah ARB dalam kapasitasnya sebagai Gub. DKI tetap membawa dendam pembelahan di masyarakat Indonesia khususnya warga Jakarta yang tidak usai sampai hari ini. ARB dinilai sukses menjadi Gubernur oleh pendukungnya, tapi yang mencaci dan dendam atas kekalahan Ahok membawa ARB keposisi sulit hingga kepada kasus Formula E yang terkesan dipaksakan.

ARB sejak purna tugas sebagai Gub. DKI, oleh pendukungnya kemudian menjadi sosok yang digadang-gadang sebagai sosok anti tesis Jokowi yang dinilai akan membawa perubahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air.

Kesuksesan ARB menjadi Gubernur DKI oleh pendukungnya sudah cukup menjadi bekal tiket untuk Copras Capres 2024. Dan tanpa dikomando para pendukung dan fans ARB diseluruh Indonesia berswakarsa membentuk relawan-relawan Anies Baswedan, sekalipun saat itu belum ada partai yang terlihat pasti mendukung ARB sebagai Capres.

Tadinya PKS diharapkan terdepan mendukung ARB mengingat suara-suara politisi PKS baik di Fraksi DPRD DKI yang dulunya jadi mitra ARB sebagai Gubernur dan tokoh-tokoh politisi PKS yang mendukung ARB, tapi tetap saja maju mundur, ragu tak jelas tidak kunjung mendeclair ARB sebagai Capres.

*Tantangan Capres ARB dan Inisiasi Peran Politik Dua Tokoh Nasional JK & SP*

Kedekatan Anies Rasyid Baswedan dengan Jusuf Kalla seniornya di HMI, sudah terjalin sejak di Yayasan Paramadina yang dikomandoi Jusuf Kalla setelah Cak Nur Meninggal Dunia. ARB adalah Rektor Universitas Paramadina yang dianggap sukses membawa kampus Paramadina dalam level yang diinginkan Jusuf Kalla (JK). Jadi Pencalonan ARB dan Sandiaga Uno dalam kontestasi politik Pilkada DKI, terus mendapat dukungan politisi senior tersebut yang tergolong sangat piawai dalam urusan menyelesaikan masalah di tanah air.

Alhasil ARB berhasil naik menjadi Gub. DKI bersama Sandiaga Uno sebagai Wagub. Mengalahkan Pasangan Ahok dan Pasangan AHY dalam Pilkada DKI 2017.

Dalam kebuntuan ARB belum mendapat sinyal partai yang akan mengusungnya, sekali lagi peran JK membuat terobosan “kongkow politik” tingkat dewa tiba-tiba bisa diselesaikan bersama Surya Paloh (SP), yang dikenal sohib kental JK sejak di GoLkar termasuk saat mendukung JK sebagai Capres melawan SBY dan Mega dalam Pilpres tahun 2009.

Kali ini eksprimen dua Tokoh Nasional, berupa eksprimen kebangsaan ala Saudagar dan ala Restorasi pun bertemu di sosok ARB yang mereka nilai sebagai tokoh muda perubahan masa depan bangsa yang lebih baik.

Melalui Partai Nasdem, SP pun mendeklarasikan ARB sebagai Capres 2024 dari Partai Nasdem, pro kontra pun muncul baik di kalangan partai NasDem, maupun dalam koalisi pemerintahan Jokowi, di mana Partai NasDem adalah pendukung pemerintah yang tidak sejalan terhadap Pencapresan ARB oleh Partai NasDem.

Entah setelah JK ketemu SBY yang menjadi pertimbangan? Pun kemudian Partai Demokrat mulus memberi dukungan kepada ARB sebagai Capres, dan sebelumnya PKS cawe cawe sudah lebih dulu memberi dukungan kepada ARB.

Setelah PDI-P mengumumkan Capres Ganjar Pranowo, maka konstelasi politik Copras Capres menjadi kemudian tiga (3) calon pasangan, yakni Pasangan PS, Pasangan ARB dan Pasangan GP.

Diantara ke 3 calon pasangan Capres ini. Mengapa ARB menjadi begitu seksi dalam proses pencapresan ini yang kemudian dinilai banyak pengamat dan politisi koalisi pemerintah di luar NasDem, menjadi ancaman bagi calon yang di gadang-gadang oleh PDIP dan yang dikaitkan dalam cawe cawe politik Jokowi?

Sebab, dalam hal ini ARB dianggap sebagai musuh bersama dalam kepentingan rezim pemerintah hari ini yang kebetulan pula bukan dari pakem Partai. ARB sosok independen di luar Partai dan dianggap berpotensi besar jika terpilih akan merubah pencapaian program pemerintahan Jokowi atau tidak melanjutkan proyek-proyek unggulan nasional Jokowi pasca presiden. Termasuk tentunya mengevaluasi kasus-kasus proyek bermasalah dalam lingkaran korupsi rezim era Jokowi.

Khusus posisi PS dianggap sekawan bahkan didukung Jokowi sekalipun Mega dibuat uring-uringan, sedang GP manut sebagai petugas Partai PDI-P yang tentu satu kolam dalam kepentingan politik Jokowi.

Sekalipun ARB pernah bekerja sama, sekolam politik dengan Jokowi namun pada perjalanan politik selanjutnya ARB dan Jokowi berada dalam nasab politik yang berbeda.

Dalam proses Copras Capres yang dibaca publik, aroma politik jegal menjegal sudah mulai kental terasa. Kasus BTS, Kasus Moeldoko ngotot menganeksasi PD dalam ranah Hukum, sampai simulasi Cawapres GP yang memasukkan AHY sebagai kadindat Cawapres, menjadi bacaan publik sebagai adu strategi selain issu jegal menjegal.

Hasil survey yang tidak memihak ARB, bahkan cenderung melorot membuat Pengamat dan pendukung pro ARB ribut soal jegal menjegal pencapresan yang diskenariokan cukup menjadi 2 Paslon saja, yakni PS Vs GP. Apalagi setelah Jokowi menegaskan cawe cawe politiknya akan diteruskan sebagai tanggung jawab moralnya menjaga situasi pilpres berjalan kondusif dan damai seperti yang diungkap dalam pertemuannya dengan Megawati dalam acara Rakernas III PDIP di Lenteng Agung.

Hal ini dilihat oleh publik khususnya pendukung ARB sebagai skenario kental untuk menjegal pencapresan ARB.

Namun MenkoPolhukam Mahfud MD menjawab suara-suara sumbang tersebut yang dialamatkan ke pemerintah khususnya Presiden Jokowi, dengan “mengatakan bahwa yang mampu menjegal ARB adalah ketidak kompakan Koalisi Perubahan itu sendiri.”

Apa yang dikatakan Mahfud MD seakan ingin memberi pesan kepada Koalisi Perubahan untuk (Kompak-istiqomah), sebab Logika regulasi Pemilu Copras-capres PT 20 % itu adalah mainded kepentingan partai politik sebagai alat wahana sumberdaya untuk mendapatkan Kader pemimpin bangsa baik di Legislatif maupun Top Eksekutif dalam pilpres, namun lebih dari itu tidak dapat dipungkiri juga ikut terselubung kepentingan oligarkhi dan cukongnya.

ARB hanya ibarat penumpang dalam kendaraan bos-bos partai yang menjadi penganten yang digadang-gadang sebagai Capres, dimana pemilik cuan/logistik menyediakan bensinnya untuk kendaraan politik pencapresan agar mesin politik semua bisa bergerak sampai di tujuan.

Dengan demikian, dalam eksplorasi logic yang sederhana dapat dilihat hubungan causal mengenai leta dan kepentingan politik berjamaah dalam pencapresan ARB, ada 3 hal pokok yang perlu difahami jika tidak ingin gagal mengusung ARB, yaitu :

1). Penumpang (Capres) yang diusung tidak mungkin menjadi bos dari pemilik kendaraan (partai), harus siap diatur dan berbagi tempat/kursi sesuai kepentingannya masing masing.

2). Si Cuan/logistik tidak mungkin bermaksud gratis memfasilitasi pemilik kendaraan (partai) dan penumpang (Capres) yang diusung. Tentu cawe cawe ikut mengatur.

3). Si Cuan/logistik adalah lebih dulu logic meyakini benar bahwa mereka tidak akan rugi memfasilitasi penumpang (Capres) yang diusung dengan prediksi akan memenangi Pilpres.

Mengapa ini perlu? Karena ARB dan Koalisi perubahannya merupakan fenomena unik dalam relasi politik Copras-capres, karena yang menjadi Capresnya bukan Bos’ Partai atau Kader Partai, sehingga menjadi kendala tersendiri dalam menggerakkan mesin politik partai termasuk mencari peminat untuk menjadi Si Cuan/logistik ARB, tentu tidak semudah dan seramai peminat Paslon PS dan GP yang lebih merasa sebagai pemilik rumah dan lebih simple mengaturnya dalam hubungan relasi politik pencapresan.

Sampai dimana ARB kemudian akan merasa aman tidak dijegal atau benar-benar Koalisi Perubahan Mengusung ARB sebagai Capres? Tentu bergantung sejauh mana Partai Pengusung Koalisi Perubahan Kompak dan istiqomah, plus kepiawaian ARB dalam berbagi kursi khususnya menentukan (Cawapres) dengan partai kendaraan pengusungnya, serta sejauh mana cuan logistik aman bisa dipenuhi dalam kontestasi copras capres koalisi perubahan di 2024. Tantangan yang mengemuka dalam soal Capres ARB akan lebih krusial dalam tarik menarik kepentingan, dibanding pesaingnya Capres PS dan Capres GP.

Disinilah peran penting dari itu semua, bahwa suatu keniscayaan yang tidak bisa dinafikan dalam Politik perjalanan Copras-capres ARB adalah hadirnya dua tokoh Politik yang piawai dalam pencapresan ARB, yakni Pengusaha Nasional, Mantan Ketua Umum Golkar/Mantan Wapres 2 priode berbeda M Jusuf Kalla, dan Tokoh Ketua Umum dan Pendiri Partai NasDem – pengusaha sukses Media Nasional Bang Surya Paloh.

Kedua Tokoh tersebut akan sangat menentukan dalam mengurai benang kusut maju tidaknya ARB dalam pencapresan Koalisi Perubahan. Peran penting kedua tokoh politik nasional ini akan sangat berkaitan dengan tiga (3) hal pokok di atas dalam relasi politik yang lebih luas dan menentukan dalam soal pencapresan ARB.