CAWE-CAWE TRADISI NEGARA KUNO
Al Ghozali Hide Wulakada
(Pengajar Filsafat Hukum Universitas Surakarta)
Saya menyimak Sujiwo Tejo mengabstraksikan cawe-cawe Joko Widodo dengan sikap seorang ayah yang turut campur terhadap pola asuh sepasang suami istri terhadap anak mereka. Sang ayah beralasan demi keselamatan cucu padahal sebenarnya demi mengatasi kekwatiran dan ketakutan dirinya.
Menurut Saya, ada dua hal yang meletarbelakangi sikap cawe-cawe sang ayah yaitu : Pertama, karena merasa pengalaman di masanya paling benar tentang cara merawat anak. Kedua, karena anaknya percaya bahwa pola asuhan mereka paling benar sesuai arahan dokter. Ayah dan anak dalam soal tersebut menjadikan cucu sebagai objek orientasi, tetapi keduanya sama-sama tidak secara tuntas memahami kepentingan dan kenyamanan cucu. Hermenuitik terhadap cawe-cawe Joko Widodo ialah menempatkan Pemilu sebagai cucu dan para capres sebagai anak, sedangkan Joko Widodo sebagai ayah.
Realitas cawe-cawe Joko Widodo mengingatkan kita pada pandangan Plato tentang negara kuno yaitu negara adalah sang pemimpin atau sang ayah dalam konteks cerita Sujiwo Tejo yang kemauannya menjadi benar. Tesis Plato tersebut sebagai bentuk protes keras terhadap tindakan penguasa Athena yang menjatuhi hukuman mati atas Aristotales lantaran perjuangan untuk keadilan dan kebijaksanaan. Plato mampu memberikan arah gagasan bagi negara berkemajuan dengan demokrasi, maka lahir lah antitesanya bahwa negara adalah dokter yang titahnya dilingkari oleh pembuktian ilmu pengetahuan. Demokrasi bukan lagi tentang kehendak soerang Presiden tetapi tentang aturan yang menempatkan di mana Presiden dan di mana rakyat saling berperan terhadap kebaikan dan keselamatan Pemilu atau cucu dalam konteks cerita Sujiwo Tejo.
Joko Widodo dan beberapa presiden sebelumnya dilahirkan oleh demokrasi formil yang elitis. Maksud dari demokrasi elitis ialah keterpilihan mereka karena boyongan Partai politik. Elitis tersebut dipayungi dengan konstitusi yang menyatakan bahwa Partai politik sebagai peserta Pemilu DPR-DPRD sekaligus sebagai pengusung Presiden dan Wakil Presiden. Demokrasi elitis telah meracuni jiwa dan fikiran para politisi dan para pemimpin di semua jenjang yang senantiasa berfikir dan bertindak demi dan untuk kepentingan Partai politik masing-masing.
Setelah selesai Pemilu maka semua Partai politik secara alami mengelompokan diri menjadi tiga yaitu Partai pemenang, Partai koalisi dan Partai oposisi. Pada situasi demikian, Presiden dan Wakil Rakyat yang terpilih seharusnya tidak lagi menjadi bagian dari ketiganya. Jika Presiden Joko Widodo dalam banyak kesempatan memberikan endorce terhadap Ganjar Pranowo dan sedikit pada Prabowo Subiyanto dan sama sekali tidak kepada Anis Baswedan maka, terjawablah pola kepemimpinan Joko Widodo masih dalam tradisi negara kuno.
Ada dua pandangan terhadap endorcer Joko Widodo yaitu elit politik dari Partai pemenang dan Partai koalisi membenarkan kemudian mendukung. Sementara itu elit politik dari oposisi menyalahkan kemudian menolak. Merujuk pada abstraksi Sujiwo Tejo tampak lah anak-anak saling berselisih lantaran sikap sang ayah. Jadi, jika sang ayah dalam hal tersebut terus melakukan cawe-cawenya maka bukan hanya mengganggu keselamatan cucu nya atau Pemilu dalam konteks cerita Sujiwo Tejo. Lebih dari pada itu, menimbulkan sentiment negative hingga perkelahian di antara anak-anaknya atau Partai politik dalam konteks cerita Sujiwo Tejo.
Budaya kekuasaan kita harus dirintis secara demokrasi morality yang tidak sekedar dibentuk oleh aturan tetapi dibentuk oleh kesadaran. Sadar tentang masa tua jabatan Presiden ialah dua tahun sebelum berakhirn kekuasaannya (10 tahun) maka, istirahat. Pernah mendengar lirik lagu Iwan Falks berjudul Pak Tua “Pak Tua”, pada bait terakhir terbaca “Pak Tua… sudahlah, Engkau sudah terlihat lelah..O yaa !, Pak Tua… sudahlah, Pak Tua…..Oh..Oh …Oh……