ALAT SADAP PEGASUS ANCAMAN BAGI DEMOKRASI DI INDONESIA

JAKARTASATU.COM— Liputan Indonesialeaks yang mengangkat masuknya alat sadap Pegasus ke Indonesia. Penggunaannya tidak hanya untuk kejahatan luar biasa seperti terorisme, narkoba, tetapi juga untuk kepentingan lain. Sementara alat ini diduga dapat dimiliki banyak lembaga, tanpa kejelasan akuntabilitasnya.

Kondisi ini sungguh membahayakan bagi demokrasi. Karena setiap kelompok atau lembaga dapat melakukan penyadapan pada siapa pun tanpa ada pengawasan dan pertanggungjawabannya.

Pada beberapa kasus, seperti penolakan Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK, Akses Informasi di Papua, jelang KTT G20 dll, sebagian aktivis mengalami gangguan digital seperti peretasan pada gawai mereka.

“Ada dua cara spyware ini menyadap. Pertama dengan mengklik link yang dikirimkan (operator) kepada pemilik ponsel, kedua dengan zero click, yaitu dengan menggunakan dan menghubungi nomor ponsel orang yang menjadi target,” ujar Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Ika Ningtyas dalam konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (20/6/2023).

Masuknya Pegasus ke Indonesia terungkap dari hasil investigasi Konsorsium IndonesiaLeaks yang antara lain beranggotakan Tempo bersama jaringan jurnalisme global Forbidden Stories serta Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).

Hasil investigasi ini mengungkap bahwa Spyware Pegasus telah masuk Indonesia sejak 2018, karena Situs Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mencatat Kepolisian RI pernah dua kali membeli perangkat lunak “zero click intrusion system” yang hanya dimiliki oleh Pegasus pada tahun 2017 dan 2018.

Selama ini spyware disebut-sebut digunakan untuk kepentingan penanganan terorisme, peredaran dan kasus-kasus extraordinary lainnya, namun hasil investigasi  menunjukkan kalau software ini digunakan untuk kepentingan lain karena digunakan untuk menyadap ponsel jurnalis, aktivis, politisi, dan lain-lain.

Ika mngungkapkan berdasarkan laporan Forbidden Stories dan Amnesty International, diketahui kalau penyalahgunaan Pegasus terjadi di 18 negara.

“Ditemukan alat ini menargetkan 50 ribu nomor, dan sebagian besar nomor-nomor telepon tersebut bukan milik orang-orang yang terlibat kejahatan, tapi sebagian besar justru human right defender, kemudian para oposisi politik, jurnalis, dan juga kelompok kritis lainnya,” kata dia.

“Bahkan bisa membahayakan kehidupan  si target operasi bukan hanya pada dirinya, bisa yang dijadikan target antara pada keluarganya misalnya anaknya, suaminya atau istrinya. Selain itu jika targetnya media, jurnalis juga narasumbernya. Orang-orang yang kerap kritis, membongkar korupsi dll,” terang Ika

Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan Indonesian Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan masuknya pegasus alat sadap ini memunculkan dugaan kalau peretasan akun media sosial milik sejumlah aktivis dan tokoh oposisi yang kritis terhadap pemerintah, juga gangguan digital saat aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK, Akses Informasi di Papua, jelang KTT G20 dan lain-lain, terkait dengan penggunaan Spyware Pegasus itu.

“Pengadaan alat ini harus menjadi perhatian polri, negara harus terbuka,” ujarnya

“ICW akan highlights dari dua aspek, aspek anggaran dan juga dari aspek pengadaannya, tapi paling yang lebih umum sebenarnya dua konteks ini akan saya bingkai dalam kerangka demokrasi. Bagaimana kemudian ternyata alat sadap ini juga menjadi salah satu masalah besar dalam kerja-kerja penguatan demokrasi di Indonesia,” tuturnya.

Menurutnya, alat pegasus bisa saja  digunakan untuk melakukan pencurangan Pemilu 2024, tetapi alat itu dapat digunakan untuk men-doxing (menyebarkan data-data pribadi secara ilegal) politisi, khususnya dari kalangan oposisi, untuk menjatuhkan citra dan elektabilitasnya.

“Pegasus berpotensi memengaruhi kerja-kerja kelompok masyarakat sipil, bahkan jurnalis,” pungkasnya

Yoss/Jaksat