IG@masbutet
IG@masbutet

Tersentak membaca posting laman fB milik Diro Aritonang. Sahabat jurnalis yang dikenal pula penyair kaliber di tatar Jabar. Puisi Butet bak mani yang tak muncrat ke rahim. Begitu ungkapnya.

Lagi-lagi, keseharian seniman yang doyan kiasan. Diro seolah mengatakan, persetubuhan yang tanpa kesan. Liar hingga tersesat jalan. Gagal membuahi sel telur.

Ekspresi Diro Aritonang yang tak biasanya. Di ruang publik (baca: medsos). Selama ini bersahaja. Apa pun tampilan di facebook, Diro senantiasa unjuk berkesenian. Ragam narasi pendek seputar seni dan budaya. Kali ini berbeda. Dia pun berbeda dalam menilai performa Butet Kartaredjasa. Tidak lagi dalam bingkai berkesenian.

Sesama seniman yang kali ini bersilang. Butet melabrak rambu dan marka jalan. Mengumbar “kebencian” yang tak seharusnya. Abai sebutan seniman dan berkesenian. Bukan malah unjuk partisan. Ada apa gerangan dengan Butet?

Butet mengesankan kepepet, demi (isi) dompet. Tak perlu menduga-duga siapa yang mendorong performa memalukan itu? Tak perlu pula memaknai sebagai adegan “bunuh diri”. Mirip harakiri. Butet pantas dihakimi. Padahal dia dikenal seniman monolog nan sukses. Suaranya yang khas, mahir menirukan suara tokoh nasional. Juga dalam bentuk satir yang sarat pesan dan sindiran.

Kali ini, ia membacakan puisi satir yang menuai banjir nyinyir. Alih-alih sindirin terhadap penguasa yang lazim sebagai alat kritik. Butet kali ini terbilang kepepet. Lantas menyerempet. Tak terduga dan tak biasa. Toh, tampak sengaja. Menyerang di ruang benderang. Seniman yang terjerat prilaku partisan. Seketika membuyarkan kesan. Bukan Butet yang dulu. Tak lagi Butet yang seniman.

Butet bagai memilih jalan pintas di keriuhan GBK, Jakarta. Merangkul yang satu jalan. Menyesatkan dua jalan lainnya. Bahkan cenderung menistakan. Hal yang tak sepantasnya diumbar seniman sekaliber Butet. Betapa pun untuk panggung itu, dia beroleh bayaran. Bahkan sejumlah nominal yang lebih dari pantasya. Seniman di mana pun, hendaknya tetaplah seniman. Dalam karya dan performa.

Publik maklum, paket panggung politik itu sarat pesan. Tak kecuali tampilan Bimbo (Syam, Acil, Iin dan Jaka). Lewat lagu Bung Karno yang diciptakan khusus untuk acara Bulan Bung Karno itu. Sekali pukul, duit mumbul. Tapi tak harus memukul. Sebaliknya, Butet kadung dinilai “menggadaikan” asensi berkesenian. Mencerabut ruh hingga akarnya.

Tak harus kadar seniman yang menilai. Sebatas awam pun faham soal ketidakpatutan yang dipertontonkan Butet.

Di sini semangat meneruskan, di sana maunya perubahan. Oh begitulah sebuah persaingan.

Di sini nyebutnya banjir, di sana nyebutnya air yang markir. Ya, begitulah, kalau otaknya pandir.

Pepes ikan dengan sambel terong, semakin nikmat tambah daging empal. Orangnya diteropong KPK, karena nyolong — eh lha kok, koar-koar mau dijegal.

Jagoan Pak Jokowi rambutnya putih, gigih bekerja sampai jungkir balik. Hati seluruh rakyat Indonesia pasti akan sedih, jika kelak ada presiden hobinya kok menculik.

Begitu ungkapan satir Butet. Lagi, bukan perkara bak kepepet isi dompet. Cukuplah dengan: Butet, Oh Butet..!

* imam wahyudi (iW)
jurnalis senior di Bandung