ilustrasi

AMUK DIGITAL

Di luar akun Jonru, menjelang Pilpres 2014 silam, ada sebuah akun yang jika posting apapun, termasuk yang asal dan remeh-temeh, selalu disukai oleh beratus-ratus hingga beribu-ribu orang. Tentu saja bahan postingnya selalu terkait dengan tokoh kita yang kala itu masih berkantor di gedung gubernemen Batavia dan kini telah pindah ke istana.

Namun sesudah Pilpres, sepertinya akun itu tidak lagi laku. Jumlah penjempolnya defisit drastis, di bawah puluhan orang.

Sebagai gantinya, kini melesat akun baru, dimana posting-postingnya, yang mengomentari berbagai persoalan penting tapi dengan logika ‘common sense’ yang tentunya tidak selalu akurat, selalu jadi viral dan dijempoli oleh ribuan orang. Kali ini bahan postingnya juga adalah tokoh yang sedang menghuni kantor gubernemen Batavia dan berkali-kali sesumbar akan segera pindah ke istana.

Kedua akun itu, menariknya, diikuti oleh jumlah pengikut yang kurang lebih sama, dengan akun-akun penggemar fanatik yang juga sama. Lakon yang sedang dipentaskannya memang sama, hanya saja aktor utamanya kini telah diganti.

Sebagaimana halnya dengan akun Jonru, yang berupa fanpage itu, akun-akun tadi isinya sebenarnya sama saja, sekadar kampanye untuk menyukai dan/atau membenci sesuatu tanpa perangkat penalaran yang bisa mendorong orang untuk berpikir lebih jauh atau lebih jernih. Bedanya, jika Jonru fokus di kulakan meme dan tautan, dua akun tadi sok membuat uraian naratif, tapi tetap dengan logika dan argumen sederhana yang, sekali lagi, jauh dari cukup dan apalagi akurat.

Jadi, apa sebenarnya yang membuat akun-akun semacam itu disukai banyak orang?

Banyak orang ternyata butuh katarsis untuk menyalurkan emosi purbanya, emosi yang dalam kehidupan nyata sanggup untuk melahirkan amuk.

Ya, amuk!

Hanya, karena kita kini hidup dalam dunia maya, amuk itu kemudian bermetamorfosis menjadi gelombang viral yang tak masuk akal tadi. Dan meskipun maya, tapi kemarahan yang diekspresikannya sebenarnya nyata.

Kita memang bangsa pemarah. Tak heran, kita mudah sekali terpesona pada berbagai ekspresi kemarahan, sebagaimana yang kini jadi jualan tokoh kita itu.

Eh, bukan tokoh kita ding, tapi tokoh Anda.

sumber: Tarli Nugroho