Kerjasama Tiongkok Indonesia Boncos, Rizal Ramli: Jokowi Tinggal Setahun Kok Cawe-cawe Pererat Hubungan ke Depan?
JAKARTASATU.COM – Hubungan antara negara merupakan hal yang biasa. Karena itu wajar jika negara besar seperti China dan Indonesia memiliki hubungan kerjasama bisnis sebagaimana dengan negara-negara lain. Namun kita harus kaji dulu apakah kesepakan-kesepakatan baru dan hubungan itu menguntungkan Indonesia apa tidak? Apakah memperkuat integritas wilayah kita? Begitu diingatkan Rizal Ramli mengomentari perkembangan hubungan Indonesia dengan China sekarang ini. Demikian disampaikan Pakar Ekonomi Senior DR Rizal Ramli di MedcomID bertajuk “Ke China Bulan Juli, Jokowi Bawa Upeti?”.(30/7/2023)
Rizal mengajak kita melakukan flash back pada sejarah. Semisal adanya konfrensi KTT nonblok tahun 1955 antar negara-negara dunia. Diantara tokoh-tokoh utama dari KTT Non Blok tersebut ada Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana Kwame Nikrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno dan Presiden Yugoslavis Josip Broz Tito. Mereka adalah tokoh-tokoh besar negara berkembang yang baru lolos dari kolonialisme dan sepakat untuk terus memperjuangkan kemerdekaan negara-negara terjajah di Asia-Afrika, sekaligus memperjuangkan anti kolonialisme baru.
Lebih lanjut Rizal mengingatkan bahwa saat itu RRC masih miskin sekali dan merupakan bagian dari negara KTT Non Blok. Tetapi dalam waktu beberapa puluh tahun RRC menjadi negara no 2 di dunia. Negara kuat secara ekonomi juga secara militer yang akhirnya menjadi negara berpengaruh, sehingga RRC menjadi blok sendiri. Justru sekarang konflik dunia ini yang tadinya multipolar banyak pemain akhirnya hanya bipolar yaitu China bersama Rusia dan Amerika, Eropa di tengah-tengah.
Karena China sudah bukan non blok lagi dan merupakan blok kuat tersendiri maka wajar saja jika China mampu mengurangi kemiskinan negaranya. Namun China mulai agresif di dalam bidang kebijakan politik luar negerinya. China punya keinginan ekspansi teritorial misalnya seperti di Laut China Selatan.
Menurut Rizal, saat dirinya mejadi menteri Jokowi pada periode pertama pemerintahannya, Laut China Selatan diganti menjadi Laut Natuna Utara. Nama Laut Natuna Utara didaftarkan ke PBB. “Kita minta bahan-bahan pendidikan kita diganti dengan itu, wajar dong itu kan laut kita. Tapi China secara resmi menulis nota diplomatik kepada Presiden Jokowi tidak terima pemberian nama itu. Jokowi dan para menteri sempat goyah,” kenangnya.
“Saya katakan, ini hak kita. Karena ini wilayah kita. Dan kita diakui oleh PBB. Tidak ada hak China ganti nama tergantung keinginannya China. Tetapi mereka masih mengakui nan dot ang titik wlayah China selatan,” tegas Rizal.
“Setelah saya tidak menjadi menteri Jokowi, ternyata pejabat seperti Mahfud MD, Luhut Binsar Panjaitan bolak-balik kembali menggunakan nama China Laut Selatan. Harusnya para pejabat konsisten tetap dengan nama Laut Natuna Utara,” imbuhnya.
Lagi-lagi Rizal memperingatkan bahwa hal itu penting soalnya jika menyangkut kesepakatan laut untuk perikanan Plan Briding Budi Daya Laut. “Hati-hati itu China sangat ingin kekayaan laut, sumberdaya laut ikan dll,” ujarnya.
Agresi dan ekspansi China
Menurut Rizal, sejak China menjadi negara superpower, China memiliki terirorial ambition di Laut Natuna Utara, juga di negara Afrika. Caranya meminjamkan uang secara tidak lazim di dalam dunia keuangan, kuasai tanahnya, memindahkan penduduknya ke negara yang ingin dikuasainya.
Negara kreditur yang memberikan pinjaman berharap uangnya kembali dari negara peminjam dan dapat bunga sehingga mereka tidak mau dari negara peminjam itu jumlah dimana negaranya tidak akan mampu membayar. Tetapi RRC menggunakan teknik lending to own yang artinya kasih pinjaman supaya bisa kuasai aset. Misalnya dengan negara Sri Langka, China berikan pinjaman dengan membangun pelabuhan besar sekali yang dari awal tahu bahwa hal ini tidak visible, tidak mungkin bisa dibayarkan kembali. Volume, traffic, sistem kontainer sebesar itu. Akhirnya Sri Langka tidak mampu bayar, kenudian akhirnya diubahlah kontrak konsesi dimana China bisa menaruh angkatan laut nya di pelabuhan itu yang tadinya 10 tahun maka konsesi ditambah 60 tahun.
“Apakah termasuk proyek kereta cepat bisa disebut sandera seperti pelabuhan Sri Langka? Jika tidak mampu bayar maka ada asetnya,” tanya Rizal.
Kereta cepat itu own to own, dimana China tahu proyek ini meskipun China melakukan unfair bisnis praktek dari awal China bilang bahwa project kereta cepat lebih cepat daripada bisnis dengan Jepang. Ternyata meningkat terus mark up-nya. Makin membesar overcostnya, akhirnya kepemilikan saham ini bergeser ke BUMN China.
“Jadi, ini teknik-teknik yang disebutkan sebagai new rent yaitu kamu meminjam dengan tujuan ingin menguasai aset yang bersangkutan (si peminjam),” tegasnya. “Dalam hal ini pemerintah Indonesia apakah kita naif atau bagian dari permainan patgulipat pejabat antara pejabat Indonesia dengan pejabat China? Saya tidak mengerti,” akunya bingung.
“Kereta cepat yang melakukan misi start misalnya pihak China yang menjanjikan bakal sekian lama selesai, biayanya sekian. Kenudian tiba-tiba biaya melambung dan waktunya mundur 2 tahun. Harusnya pemain utamanya dikenakan sanksi dong. Kamu sewa kontraktor, kamu mestinya tanya dong dua tahun yang lalu harusnya sudah jadi ini malah mundur 2 tahun. Kamu harus bayar pinalti. Biaya kalau naik 10% wajarlah konstruski. Ini malah naik besar sekali, harusnya kena pinalti. Ini Indoensia tidak punya nyali untuk memberikan sanksi admistratif financial kepada partnernya di dalam kereta api cepat ini,” urainya.
Rizal mempertanyakan apakah hubungan baik ini akhirnya dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari Indonesia. “Saya khawatir itu yang terjadi dalam bisnis kereta api cepat pejabatnya terima sogokan BUMN China. Nah BUMN China ini sudah menyogok juga kepada negara lain. Pejabat Chinanya sudah dipenjarakan dalam kasus negara lain bukan dalam kasus negara Indonesia.”Kalau Jokowi sudah selesai memimpin, kita buka semua kita proses secara adil,” harapnya.
“Misalnya China kan menawarkan untuk ditandatangi untuk membangun pelabuhan di Medan dengan skala besar sekali volumenya dengan proyeksi traficnya ga nyambung. Artinya bahwa bakal tidak bisa bayar lagi,” lanjut Rizal.
Motifnya RRC menurut Rizal tidak hanya bisnis tapi strategis. Di Malasyia, China berusaha untuk menguasai Johor membuat pelabuhan besar di jamannya perdana menteri Najib. Nah China mau terapkan di Medan. Kalau China berhasil pegang Johor dan Medan, maka Selat Malaka kejepit. Kalau terjadi perang melalui jalur selat Malaka. Siapa yang kuasai Selat Malaka maka jadi pemenang. Jadi motif RRC dengan motif proyek uang sangat mahal di Medan ini motifnya strategis dan politis bukan bisnis. Masa saya kudu ngajarin Luhut Panjaitan soal-soal kayak begini,” paparnya yakin.
Terjadi di Srilangka juga masuk di Bangladesh dll
Rizal percaya saat ini China punya strategic of objektif untuk pelabuhan-pelabuhan. China berikan pinjaman secara jor-joran karena tahu negara yang diberi pinjaman tidak akan mampu membayar hutang. Sehingga kontrak kerja bisa diperpanjang sebagaimana kereta cepat yang harusnya 2 tahun maka kemudian diperpanjang kontraknya. Ini lebih jahat dibandingkan kasus Inggris dengan China, ongkosnya hanya 90 tahun.
“Nah China terhadap negara-negara yang punya kepentingan strategic menginginkan konsesinya 200, 300 tahun. Itu penjajahan model baru. Jokowi ini kan tinggal 1 tahun lagi, kok sok cawe-cawe mau mempererat hubungan China untuk ke depan. Kita mestinya mau berhubungan dengan senua negara tapi aqual basic, jangan dengan basis subordinasi bawahan dengan atasan. Dalam konteks itu ada hal-hal penting berkaitan bisnis dengan China. Memang dulu China krisis tetapi sekarang sudah surplus. Tapi itu kebanyakan gara-gara komoditi. Kalau dikurangi komoditinya, manufaktur, industri ya kita defisit,” sesal Rizal.
Seharusnya menurut Rizal komoditas tambang itu tinggal gali saja. Tapi banyak transaksi yang terjadi di dalam bisnis ini yang di sistem keuangan Indonesia tidak masuk. Akhirnya dibeli oleh China dengan harga murah. Biji nikel mentah dibawa lalu diproses di sana sehingga mereka yang mendapat nilai tambahnya. Alhasil yang terlihat volume perdagangan yang hasilnya besar namun keuangan masuk ke negara kecil.
Lebih sensitif lagi jika menyangkut soal tenaga kerja. Belum pernah dalam sejarah investasi dan hubungan dagang Indonesia, ada negara yang mengirim penduduknya banyak sekali ke Indonesia untuk mejadi pekerja mulai dari pekerja kasar maupun staf kecuali negara Tiongkok.
Indonesia sudah puluhan tahun menjalin kerjasana ivestasi dengan nagara-negara seperti Jepang, Amerika, Perancis dan lainnya. Mereka hanya membawa 10-20 orang di staf-staf dan sisanya orang Indonesia. Berbeda dengan yang dilakukan Tiongkok. Mereka membawa banyak warganya untuk di tempatkan sebagai pekerja di Indonesia. Hal ini tejadi di Jaman pemerintahan Jokowi. Di jaman sebelumnya tidak terjadi. Tidak berani.
“Di Mayasia pernah terjadi jamannya Pak Najib dimana pegawai dari RRC beli real estste, pekerja tidak dibatasi. Kemudian Pak Najib sudah tidak memimpin lagi diganti Mahathir. Kemudian Mahathir melakukan negosiasi dengan Jin Ping yaitu maksimum tenaga kerja dari RRC 5 % dari total tenaga kerja yang boleh. Kemudian Real estate di Johor yang sangat besar sekali seperti BSD kota Baru, warga China tidak boleh beli yang boleh beli warga melayu. Pemimpin yang tangguh yang memperjuangkan hak-hak rakyatnya tidak akan mau dibanjiri rayat China bekerja di negaranya,” ujar Rizal.
“Jika infrastruktur itu mamang bermanfaat, pasti ekonomi tumbuh 8%. Tapi yang terjadi ekonomi tumbuh nyaris 6%. China selama 14 tahun tumbuh rata-rata 13-14%. Indonesia mentok di 6%. Proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan pemerintah saat ini kebanyakan merupakan proyek berbayar. Yang sebelumnya macet dibayar oleh BUMN-BUMN yang kaya. Pada saat pembangunannya dilakukan mark up minimum 30%. Jadi setelah dibangun proyek ini nyaris bangkrut lalu dijual dengan discount 30%. Negara rugi 60%. Siapa yang menanggung yang 60% ini? Yaitu rakyat lewat APBN. APBN ini menyuntik BUMN-BUMN kaya,” sesal Rizal memungkasi. |Yoss-Jaksat