Kajian Etika dan Peradaban (KEP) ke-21 | Yoss-Jaksat
Kajian Etika dan Peradaban (KEP) ke-21 | Yoss-Jaksat

JAKARTASATU.COM— Paramadina Institute of Ethics and Civilizations (PIEC) bekerjasama dengan Yayasan Persada Hati menyelenggarakan Kajian Etika dan Peradaban (KEP) ke-21 dengan tema, “Strategi Pembangunan Berorientasi Manusia Berbudaya” secara hibrid di Auditorium Prof. Firmanzah Universitas Paramadina Jakarta dan secara daring, Rabu, 13 September 2023.

Acara tersebut dihadiri oleh Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D, Ketua PIEC dan Dr. Sunaryo, Dosen Paramadina Graduate School of Islamic Studies (PGSI) selaku narasumber, serta Tri Wahyuti, M.Si., Kaprodi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina sebagai moderator.

Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D, yang juga hadir, mengapresiasi terselenggaranya acara ini. Dalam sambutannya ia menyampaikan bahwa tema yang diangkat dalam diskusi relevan dengan tujuan penyelenggaraan negara, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan umum.

“Dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, peningkatan sumber daya manusia juga penting untuk diperhatikan, sebab tanpa adanya pembangunan berorientasi manusia, kekayaan dan pengelolaan sumber daya alam akan menjadi kutukan dan krisis.” Kata Didik J Rachbini.

Kemudian, Didik menambahkan bahwa dalam meningkatkan sumber daya manusia, perlu juga adanya budaya atau mentalitas kerja yang baik, sebab dengan dua hal tersebut, pembangunan dapat tercapai dengan baik.

Pada kesempatan pertama, Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D memaparkan konsep pembangunan manusia berbudaya. Ia menyadari bahwa konsep pembangunan yang diterapkan di negara-negara di dunia umumnya berorientasi pada pembangunan fisik atau material.

“Namun demikian, perlu juga mempertimbangkan faktor manusia dan alam yang merupakan bagian dari lingkungan hidup dalam konsep pembangunan nasional.” Ujarnya.

Ia menambahkan bahwa model pembangunan fisik saat ini perlu dikritisi, sebab manusia tidak dapat direduksi ke dalam aspek-aspek ekonomi. Tujuan yang lebih luas adalah kesejahteraan manusia dan hak asasi manusia.

Pipip merujuk pada Amartya Sen dan Martha Nussbaum dengan konsep capability, “Konsep kualitas hidup yang berorientasi pada kemampuan dan fungsi seseorang dalam mencapai sesuatu. Kualitas hidup manusia tercapai ketika prinsip capability tersebut dapat dilaksanakan.” jelasnya.

Tidak kalah penting juga dalam mewujudkan pembangunan berorientasi manusia adalah pengertian tentang masyarakat yang beradab. Masyarakat yang beradab, menurutnya, mampu bersikap rasional dan berperilaku wajar dalam menghadapi peristiwa.

“Manusia yang beradab mempunyai sistem sosial dan cara hidup yang baik dalam kehidupannya. Apabila mengacu pada konsep masyarakat beradab, maka konsep pembangunan harus merujuk pada etika, yakni proyek pembangunan yang beradab dan berbudaya. Dengan kata lain, pembangunan yang beretika tidak bisa disertai dengan tindakan perusakan alam, pelanggaran konstitusi, atau mengorbankan kebebasan” terangnya.

Dengan demikian, pembangunan beretika tidak bisa dilakukan dengan tujuan yang ekonomis semata, tetapi juga perlu memperhatikan aspek-aspek keadilan dan kemakmuran masyarakat sebagai tujuan.

Sejalan dengan pemaparan di atas, Dr. Sunaryo menambahkan konsep kualitas hidup manusia kaitannya dengan model pembangunan berorientasi manusia dan budaya. Dalam pejelasannya, Dr. Sunaryo memberikan tiga parameter kualitas hidup manusia berdasarkan teori capability.

“Pertama, adanya akses (the ability to achieve). Contohnya pada kasus kelaparan terjadi bukan karena tidak ada makanan, melainkan tidak adanya akses masyarakat pada sumber-sumber makanan. Kendala mencakup kendala politik, ekonomi dan lain-lain.”

Kemudian lanjut Sunaryo, nilai (value). “Kapabilitas adalah keinginan orang untuk meraih nilai, di mana hal ini adalah hal yang sering diabaikan dalam pembangunan. Masyarakat mempunyai nilai yang berbeda, dan hal tersebut mempengaruhi apa yang dianggap berharga bagi setiap orang. Dalam pembangunan, perlu diperhatikan pluralitas nilai dalam masyarakat. Sejalan dengan ini, Sen menyatakan bahwa demokrasi harus inheren dalam pembangunan,” lanjutnya.

Aspek kualitas terakhir menurutnya adalah aspek reasoning. “Nilai bukan hal yang selalu diterima apa adanya, sebab ada kapasitas reasoning yang mencakup penalaran dan daya kritis. Oleh karena itu, apabila nalar dan kritik dibungkam, maka pembangunan kapabilitas tidak dapat berjalan dengan baik,” tuturnya.

Menutup pemaparan dari dua narasumber, Dr. Handi Risza Idris, Wakil Rektor Universitas Paramadina menanggapi bahwa memang saat ini terjadi pergeseran dalam konsep pembangunan. “Pembangunan dan aktivitas ekonomi bertumpu pada sumber daya manusia, teknologi, kebudayaan. Pentingnya pembangunan berbasis manusia juga perlu diimbangi dengan nilai-nilai agama atau spiritual. Tantangan yang saat ini dihadapi adalah mencari model pembangunan yang berbasis pada nilai-nilai negara, manusia, dan agama,” pungkasnya. |Yoss-Jaksat